Tadi malam anak sulung saya yang kelas IV SD menangis diam-diam di balik selimutnya sebelum tidur. Ketika saya tengok dia, bulir-bulir air mata menetes di sudut matanya. Saya tanya pelan, kenapa nangis?
Dia diam saja.
“Kalau kamu ngerasa sedih, cerita yuk? Mungkin Bu’e bisa bantu,” kata saya.
Dia masih diam. Saya membujuknya lagi, sampai akhirnya saya mau beranjak meninggalkan dia, barulah si Kakak bicara. Rupanya, ada ucapan teman sekolah yang menjadi beban pikirannya.
Sebetulnya bukan perkara yang serius banget, atau berpotensi konflik gitu. Tapi saya mencoba melihat dari kaca mata anak yang sudah masuk usia pra-remaja, dimana peer-approval alias komentar positif teman sepermainan itu penting banget.
Teman sekolahnya ada yang bilang, “Kamu serius nggak sih jualan slime?”
Ucapan itu terlontar lantaran si Kakak belum bisa memenuhi pesanan slime temannya di hari yang dijanjikan, yaitu hari ini, karena cup plastik kecil-kecil yang dia pesan di online shop terlambat sampai di rumah. Slime-nya sudah jadi, tapi wadahnya belum ada. Akhirnya kami geratakin dapur mencari barang yang bisa dijadikan wadah 100 cc slime. Dan baru kali ini saya menemukan toples bekas selai senengnya kayak nemu harta karun!
Maka si Kakak berangkat sekolah dengan riang gembira membawa toples kecil isi slime. Lega!
Masalahnya terdengar sepele ya? Tapi buat si Kakak ini penting, dan saya sempat terhenyak karena si Kakak yang biasanya ramai berceloteh, semalam enggan bicara soal apa yang mengganggu perasaannya. Ini baru perkara wadah slime, gimana nanti kalau udah ada cowok yang naksir dia? Hmmm….
Saya jadi teringat obrolan dengan mbak Ratih Ibrahim, psikolog ternama, yang bilang kalau sebuah survey menunjukkan sekitar 80% orang Indonesia itu suka sharing, suka ngobrol dan bercerita tentang hal remeh-temeh. Tapi, hasil survey yang dilakukan lembaganya Mbak Ratih bersama SariWangi itu juga menunjukkan bahwa kebanyakan keluarga di Indonesia tidak terbuka dalam komunikasinya. Sebanyak 2 dari 3 responden menyatakan alasan kurangnya keterbukaan adalah menghindari konflik. Nah lo…
Jadi nampaknya, senangnya sharing, bercerita, ngobrol, itu tidak dibarengi dengan keberanian untuk bicara apa adanya, khususnya hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik. Padahal, memiliki kesempatan bicara yang mendalam di keluarga termasuk untuk hal-hal yang sulit diungkapkan, dapat membangun relasi yang hangat dan intim antar anggota keluarga, membuat keluarga lebih bahagia dan mencegah adanya risiko depresi pada seseorang.
Untuk memulai pembicaraan yang sulit, setiap individu harus melepaskan hasrat untuk menghakimi (judging) dan berusaha memiliki empati untuk menerima perbedaan. Selain itu, suasana hangat dan akrab sambil minum teh hangat juga membantu anggota keluarga untuk bicara lebih terbuka.
Hal inilah yang diusung SariWangi sejak 2008 dengan tag-line Mari Bicara, yang mendorong keluarga-keluarga Indonesia untuk berkomunikasi dengan lebih terbuka dalam suasana santai, hangat dan nyaman, seperti yang ditunjukkan dalam video kisah kegalauan Mona Ratuliu ini.
Dalam keluarga, ibu memiliki peran penting sebagai fasilitator untuk memulai percakapan. Setelah memulai percakapan dengan nada yang hangat, peran ibu berikutnya adalah mendengarkan apa yang disampaikan anggota keluarga lain. Nggak kebayang kalau dalam sebuah keluarga ibunya dominan, cerewet, dan kalau udah ngomong nyerocos susah disela. Bagaimana mau berkomunikasi lancar dan terbuka?
Mbak Ratih Ibrahim menambahkan, ibu juga berperan sebagai emotional supporter dalam memberikan dukungan dan kehangatan dalam keluarga. Jadi sebagai ibu perlu bersikap tenang dan mampu melihat masalah dalam perspektif yang tepat. Apa jadinya kalau dalam sebuah keluarga sang ibu emosional, gampang marah, mudah tersinggung, dan dikit-dikit nangis?
Memang keterbukaan dan cara berkomunikasi sangat menentukan pola hubungan sebuah keluarga. Saya sendiri juga masih terus belajar agar bisa menjadi ibu dan teman bicara yang menyenangkan bagi kedua putri saya. Sejalan dengan ajakan SariWangi bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk berbagi pengalaman atau cerita di media sosial dengan menggunakan hashtag #BeraniBicara yang sekarang sedang berlangsung.
Kalau kamu, topik-topik apa saja yang bisa membuatmu ragu untuk #BeraniBicara pada keluarga?
Ping-balik: Wisata Rumah Ibadat: Cara Seru Kenalkan Keberagaman Bagi Anak | BLOG Swastika Nohara
Mei 19, 2017 pukul 3:03 pm
Yang jelas, aku nggak akan bicara “kegilaan kegilaanku” dengan keluarga deh. Hahahaha…bisa repot 😀
Mei 22, 2017 pukul 10:41 am
hahaha… ya mungkin perlu difilter yaaa…
Mei 16, 2017 pukul 8:33 pm
aku koq kepikiran karena anakku senengnya KPOP dan bundanya ini masih aja seneng lagu rock dan metal. duh, jadi kita sering ribut-ributan karena aku ledekin favoritnya dia yang dia sih emang ikut-ikutan temennya katanya. tapi kami bisa dengerin coldplay bareng-bareng dan dia ngledekin aku karena gak nonton konsernya kemaren, haha.
Mei 17, 2017 pukul 8:39 am
hahaha… COLDPLAY ini memang penengah! Aku dan anakku juga dengerin coldplay bareng2. Kenapa kemarin gak nonton konsernya? Kalo anakku lebih ke hiphop, aku pop-ballads. Dia masih mau dengerin Adele sih 😀
Mei 15, 2017 pukul 6:55 am
Sekarang anak jadi temen ya. Walaupun awal pembicaraan cuma nanya group KPOP ke anak, tapi kemudian jadi pembicaraan panjang.
Mei 15, 2017 pukul 11:22 am
Nah ini dia… cara jitu utk membuka obrolan dengan nanyain hal-hal yang disukai anak. Keren mbak Terry! 🙂
Mei 14, 2017 pukul 6:45 am
Ibu itu memang intel paling oke deh. Dengan melihat gelagat anaknya saja, dia sudah bisa tahu kalau sedang terjadi apa-apa. Aku baru bisa cerita bebas sama ortu itu semenjak dewasa ini, di saat kami semua satu rumah. Sewaktu tinggal terpisah, aku di Jakarta, ibu ikut ayah tugas ke mana-mana, hampir nggak pernah. Paling nelpon sambil mewek.
Duh, semoga si kakak pas cerita soal pacarnya yang nggak bikin dia mewek ya, kak. Yang bikin dia happy gitu. Biar cerita ke kamunya menggebu-gebu. Sambil tea time gitu. #azg
Mei 15, 2017 pukul 11:23 am
Ibu itu intel paling oke, tapi kalau ngelamar kerja di BIN paling orang BIN cuma bakal rolling eyes 😀
Mei 13, 2017 pukul 9:16 am
Aku pernah ngomong ke teman, ibu adalah center of everything kayanya. Ibu semacam manusia multi talent pun. Membaca cerita kak Tika membuatku makin merasa tanggung jawab ibu semakin bertambah (in a good way, pastinya). Semoga semakin banyak ibu yang menjadi lebih baik untuk setiap keluarganya. AAmiin
Mei 13, 2017 pukul 7:28 pm
Amin amin amin!!! Mari singsingkan lengan baju kita Buk!
Mei 16, 2017 pukul 12:19 am
Mari, *lalu pamer otot* ;p
Mei 16, 2017 pukul 8:59 am
Otot sebelah mana nih? Otot lengan, perut, paha? *ehm*
Mei 13, 2017 pukul 2:03 am
*Peluk Sabai*
Aku termasuk yang tertutup sih ke orang tua, jadi lebih sering dicurhatin malah sama Mamah. hahaha.
Tapi pas udah punya anak, aku nggak pengen cuma aku doang nanti yang cerita ke dia, pengennya dia juga terbuka ke aku.
Semoga bisa!
Mei 13, 2017 pukul 7:30 pm
Amin! Semoga bisa! Kurleb aku pun begitu, tertutup dan jaraaaaang banget cerita ke Mama kalau nggak penting! So yeah, I feel you!
Mei 12, 2017 pukul 3:19 pm
Ciri khas orang Indonesia banget ya mbak ngeteh sambil ngobrol, sampai sekarang saya dan keluarga masih jalanin tradisi ngeteh ini setiap pagi dan sore.. keluarga jadi tambah akrab
Mei 12, 2017 pukul 3:23 pm
Duh maaf kok login nya beda yg keluar akun lama ini ya..maaf ya mbak
Mei 13, 2017 pukul 7:31 pm
Eh nggak apa-apa… tenang aja 🙂
Mei 13, 2017 pukul 7:32 pm
Wah kamu beruntung loh masih punya tradisi ngeteh sama keluarga. Nggak banyak keluarga yg terus (punya waktu untuk) melakukannyaz
Mei 12, 2017 pukul 2:01 pm
Waaah, makasi banget sharing-nya mba Tika.
Iya nih anakku jg kelas 4 SD hadeeehhh drama pre-ABG vs emak sih kalo dirikuuuh hahahaha
Mei 13, 2017 pukul 7:33 pm
Hahaha… kayak apa dramanya?
Mei 12, 2017 pukul 1:40 pm
Persoalannya mungkin terdengar sepele, tapi sikap sekecil ternyata luar biasa, dia mulai belajar arti tanggung jawab dan commitment. Salute….
Mei 13, 2017 pukul 7:33 pm
Thank you. I am glad she learnt something indeed.
Mei 12, 2017 pukul 1:26 pm
thanks for sharing kak tika. masih jadi PR ku nih sebagai orangtua supaya anak2 lebih berani bicara. apalagi karakter anakku yang kecil itu pemalu dan cenderung ga banyak bicara
Mei 13, 2017 pukul 7:34 pm
Iya, ini PR yg sedang aku garap juga 🙂
Mei 12, 2017 pukul 12:28 pm
Ternyata masalah hidup jadi ibu tidak berhenti di belajar ngomong aja *garuk-garuk kepala*
Perjalanan masih sangat panjang ya kak Tika 😅, thank you for sharing, jadi kebayang nanti apa yg akan aku hadapi pada masa pre-teen. Semangatttt 🙏
Mei 12, 2017 pukul 12:38 pm
Hahaha… usia toddler kita ajari ngomong. Abis itu gedean dikit bakal ngoceh mulu sampe kita pegel dengerinnya. Abis itu usia pre-teen ngomongnya udah mulai selektif, giliran kita puyeng ngoreknya :)) Lifet-ime Journey of being a mom ya?
Mei 12, 2017 pukul 12:24 pm
sesudah aku punya anak, juga concern masalah ini. padahal nih bocah masih kecil ya :))
ini karna kemaren2 kepikiran kalau aku dan siblings ternyata gak terlalu terbuka sama nyokap, aku merasakan ada efek yg oke. malah sama bokap kita lebih leluasa kalau ngomong. dan aku gak mau Hisham merasakan hal yang sama nantinya. Mudah2an aku bisa menerapkannya 😀
Mei 12, 2017 pukul 12:25 pm
*efek yg gak oke
#fixed
Mei 12, 2017 pukul 12:26 pm
*noted
Mei 12, 2017 pukul 12:26 pm
Amin! Hahaha.. sama banget Cit, punya anak juga membuatku mikirin hal-hal yang (yang tampak) remeh dan sebelumnya taken for granted 🙂
Mei 12, 2017 pukul 12:20 pm
Masih harus belajar banyak soal tarik napas dan mendengarkan. Kadang terburu-buru pingin nyela dan kasi solusi padahal curhatnya aja belum selesai.
Nice post, kak. ^^
Mei 12, 2017 pukul 12:23 pm
Thank you Re, bener banget. Kadang keinginan menyela pembicaraan orang lain ini yg agak susah ngeremnya 🙂