Posting ini dimuat di Majalah Femina edisi terbaru.
Publik pecinta film terhenyak ketika sebuah film bisu dirilis di tahun 2012, apalagi kemudian menang Oscar sebagai The Best Picture setelah sebelumnya mendapat sederet nominasi di berbagai kategori. The Artist, film yang ditulis dan disutradarai Michel Hazanavicius ini memang luar biasa. Bagi kita yang biasa menonton film dengan aktor dan aktrisnya berdialog, disertai suara-suara lain penunjang cerita film yang dengan canggihnya memanjakan telinga kita, mungkin akan bertanya-tanya, apa sih enaknya nonton film bioskop yang sama sekali tidak ada suaranya?
Sejak awal film, penampilan Jean Dujardin sebagai aktor utamanya sudah mencuri perhatian penonton. Secara ringkas, The Artist berkisah tentang George Valentin, seorang aktor kenamaan yang tengah berada di puncak popularitasnya sebagai aktor film bisu. Film ini settingnya Hollywood tahun 1924 hingga 1929, sebuah era dimana teknologi belum memungkinkan merekam gambar dan suara secara bersamaan atau syncronized dalam sebuah film. Ketika itu, film masih berupa rangkaian gambar bisu dan saat diputar di bioskop diiringi oleh sebuah orkes simfonik yang bermain secara live di depan deretan kursi penonton bioskop. Orkestrasi ini mengisi efek-efek suara yang diperlukan untuk mengiringi adegan film. Sementara dialog-dialog pendek aktor dan aktrisnya disampaikan dalam bentuk tulisan yang memenuhi layar bioskop. Nah, di era itulah George Valentin menjadi aktor ternama yang dipuja.
Namun karir George berada di ujung tanduk ketika tahun 1929 mulai diproduksi film bersuara yang kala itu populer dengan sebutan talkies. George yang tidak cakap berdialog tentu merasa terancam karirnya. Sementara itu Peppy Miller (diperankan dengan apik oleh Berenice Bejo), seorang aktris muda yang merintis karirnya dengan menjadi figuran, mencuri perhatian George saat Peppy mendapat kesempatan menjadi figuran di filmnya George. Bedanya, Peppy sangat siap menghadapi era film dengan dialog, sehingga karirnya menanjak dengan cepat. Peppy yang pada awal film diperlihatkan sebagai fans George yang rajin mengunjungi premier film untuk berjumpa pujaannya itu, digambarkan sebagai perempuan muda yang berani bermimpi dan berusaha keras untuk mewujudkan mimpinya. Peppy datang ke Hollywood naik bis, lalu ikut casting berbagai film bermodal kemampuannya menari. Lalu perempuan muda ini bekerja keras melatih kemampuan vokalnya karena dia menyadarai masa depan film bisu sudah akan segera berakhir.
Karakter Peppy yang adaptif dan pekerja keras ini berlawanan dengan George. Sebagai aktor tenar di puncak popularitas, George enggan beranjak dari zona nyamannya, yaitu industri film bisu. Baru ketika keadaan benar-benar telah bergeser ke film dengan suara, maka mau tak mau George berbenturan dengan kenyataan pahit. Pada saat inilah alam semesta mempertemukan lagi George dengan Peppy. Tentu ada drama, romans dan nuansa komedi yang kental seiring dengan bergulirnya kisah tokoh-tokoh di film ini. Penampilan Jean Dujardin yang prima memang layak diganjar piala Oscar untuk kategori aktor pria terbaik. Selain itu film ini juga menggondol Oscar untuk kategori Penyutradaraan Terbaik, Penataan Kostum Terbaik dan Penataan Musik Terbaik (original score).
Bagi kita yang tidak mengalami era film bisu, menonton The Artist cukuplah memberi gambaran singkat namun padat tentang film bisu. Sekarang kita telah berada di era digital yang memungkinkan perekaman film dengan alat-alat canggih. Gambar dan suara sudah otomatis terekam hanya dengan memencet satu tombol. Anda pun pasti sudah familiar dengan fitur perekam gambar bergerak di smart phone atau handycam bukan? Nah, bayangkan bila Anda hidup di tahun 1920-an saat menonton film berarti hanya melihat potongan gambar bergerak tanpa suara.
Dialog disampaikan melalui teks memenuhi layar bernama title card atau sering disebut title saja. Karena itu penulis title card alias title writer jaman dulu dianggap sebagai profesi penting yang terpisah dari penulis skenario. Title card juga ditampilkan dengan seni grafis tersendiri. Karena tidak menyuarakan dialog, otomatis film bisu menuntut aktornya menampilkan mimik dan gerak tubuh optimal untuk membantu penyampaian cerita, bahkan kadang nyaris seperti pantomim. Jadi aktor jaman dulu memang harus sangat lihai bermain dengan ekspresi wajah dan gerak tubuh mereka.
Charlie Chaplin adalah salah satu sosok yang paling kreatif dan berpengaruh di era film bisu. Sutradara, aktor dan komposer asal Inggris ini menggabungkan pantomim dengan pendekatan slapstick untuk menghidupkan tokoh pria berkumis tebal dengan dandanan khasnya. Film-film Charlie Chaplin masih diputar hingga beberapa dekade sesudah era film bisu. Sayangnya, banyak film bisu yang diputar di kemudian hari dengan copy film berkualitas rendah meskipun kualitas gambar aslinya terhitung bagus. Kadang-kadang gunting sensor juga membuat editing film itu tampak tidak rapi.
Awalnya film bisu tampil di bioskop dengan iringan musik dari piano. Baru kemudian musik pengiring ini semakin berkembang hingga bioskop-bioskop besar di Eropa dan Amerika Serikat masa itu menampilkan iringan musik orkestrasi lengkap. Malah di Brazil ketika itu menayangkan film bisu dengan para penyanyi yang menyanyi secara live dibalik layar, sebuah metode yang dikenal dengan nama fitas cantatas. Sementara di Jepang film bisu ditayangkan dengan bantuan benshi yaitu petugas yang secara live menyampaikan narasi dan mengisi suara para aktornya. Para benshi ini juga yang berperan sebagai translator bagi film-film produksi Hollywood yang ditayangkan di Jepang pada masa itu dan berkat mereka jugalah film bisu masih eksis di bioskop-bioskop Jepang hingga tahun 1930-an.
Di Indonesia sendiri era film bisu diawali dengan diproduksinya film Loetoeng Kasaroeng di tahun 1926. Meskipun disutradarai dan diproduseri oleh L. Heuveldorp yang berkebangsaan Belanda tapi pemain dan kru filmnya terdiri dari orang-orang pribumi sehingga dapat disebut film produksi Indonesia. Film yang mengangkat cerita rakyat Sunda ini shooting di Padalarang di bawah produksi Java Film Co., perusahaan milik sang produser. Film yang dibintangi aktor-aktor lokal, antara lain Martoana dan Oemar ini mulai ditayangkan secara komersial pada tanggal 21 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927 di tiga bioskop, yaitu Elita, Orientalbioscoop dan Feestterrein.
Perjalanan sejarah film bisu juga tampil lagi dalam kemasan baru yang sangat elok dalam film berjudul Hugo karya Martin Scorsese. Sutradara kenamaan yang biasanya menggarap film bertemakan gangster atau biopic ini, melakukan gebrakan baru dengan membuat film yang memenangkan 5 piala Oscar 2012. Film ini diangkat dari novel dengan latar belakang historis karya Brian Selznick, yang mengisahkan seorang anak yatim piatu bernama Hugo Cabret yang bersedia melakukan apapun demi memperbaiki sebuah ‘Automaton’ rusak yang ditemukan almarhum ayahnya di museum. Hugo (diperankan Asa Butterfield) berharap automaton alias robot berbentuk manusia yang bisa menulis ini, bila telah berfungsi akan menuliskan pesan dari mendiang ayahnya (Jude Law).
Upayanya mencari spare part bagi robot kesayangan ini membawa Hugo bertemu dengan Papa George, seorang pria tua yang galak pemilik toko mainan di stasiun Montparnasse di kota Paris. Oya, karena yatim piatu Hugo tinggal sendirian di loteng stasiun besar itu, setiap hari kerjanya adalah memutar mesin jam di stasiun agar jam dinding besar itu menjalankan fungsinya dengan baik. Hugo bertemu Isabelle, anak baptis Papa George, lalu bersahabat akrab dengannya. Kepada Isabelle (Chloë Grace Moretz) Hugo bercerita bahwa dulu ayahnya suka mengajak dia nonton bioskop. Sementara Isabelle yang suka membaca buku sama sekali belum pernah nonton bioskop karena dilarang keras oleh Papa George. ‘Petualangan’ khas anak-anak yang dilalui Huga dan Isabelle akhirnya membawa mereka mengungkapkan siapa identitas Papa George sebenarnya dan membuka kembali kenangan pahit akan masa lalu Papa George.
Dari sini cerita bergulir mengisahkan sisi historis pionir filmmaker Perancis, Georges Méliès. Di awal abad ke-20 Méliès adalah seorang ilusionis ternama yang beralih profesi menjadi filmmaker. Pada masa itu film adalah seni baru, yang pertama kalinya mempertunjukkan gambar bergerak. Film bisu diputar dalam tenda-tenda sirkus keliling kota di Peranci. Film pertama yang diputar untuk umum secara luas berupa rekaman gambar kereta api yang berjalan di rel menuju ke arah penonton, sehingga ketika lokomotif kereta api itu menyentuh tepi kiri layar, penonton melompat kaget dari kursi mereka karena merasa akan ditabrak kereta.
Méliès menjual aset-asetnya sebagai ilusionis sukses untuk membuat studio dan memproduksi filmnya. Méliès membuat terobosan dalam dunia film dengan inovasi special effect dan teknik sinematografi lain termasuk time-lapse photography, hand-painted colour dan cikal bakal stop-motion. Ketika itu, bermeter-meter pita film hitam putih benar-benar diwarnai dengan tangan frame demi frame, padahal dalam 1 detik durasi film terdapat 24 frame, sehingga untuk durasi 10 menit film ada 14.400 frame yang harus diwarnai dengan cermat. Bayangkan, orang yang melakukannya tentu dituntut ketekunan tingkat tinggi!
Karya-karya Méliès yang paling terkenal yakni ‘A Trip To The Moon/La Voyage Dans La Lune (1902) dan ‘The Impossible Voyage’ (1904), menunjukkan kekagumannya pada Jules Verne, penulis novel-novel fiksi ilmiah ternama. Namun Perang Dunia I mengubah kehidupan banyak orang, termasuk mematikan bisnis film Méliès sehingga dia membakar sebagian karya-karyanya, dan berusaha mengubur masa jayanya sebagai filmmaker hingga kemudian seorang penulis buku tentang film menelusuri kembali jejaknya.
Kini satu abad telah berlalu sejak masa jaya film bisu. Dan bagi sebagian besar penikmat film masa kini, film bisu tidak lebih dari sejarah masa lalu. Namun bila kita cermati, dua film tentang film bisu tersebut tak hanya memberi kita hiburan yang menyenangkan tapi juga pengetahuan baru tentang film bisu yang menjadi bagian maha penting dari perjalanan panjang perfilman dunia. ***
April 7, 2012 pukul 4:56 pm
ah saya pernah dulu nonton film pendek tanpa suara itu, saat waktu kecil, ada keluarga meraparasi proyektor film mininya ke abah, ya kebetulan abah tukang servis peralatan eletronik, karena dulu saya video aja gak kenal , tipi juga masih hitam putih dan yang ada cuma tvri doang, asli saya terkagum-kagum sala film2 super pendek yang dicoba diputer di kamar. *malah nostalgila saya hehe*,
apalagi film panjang macam sejarah yang uni tulis di atas, indah sekali penuturannya, ajarin saya nulis macam gitu uni 😀
April 7, 2012 pukul 5:35 pm
Omm Warm kok komentarnya nggak konek ke blog?
Waduh, soal yg kedua itu, gak bakal cukup via online… tulisan2 di blog mu juga enak dibaca kok 🙂
Btw, proyektor yg direparasi Abah dulu format filmnya seluloid 16 mili ya?
April 9, 2012 pukul 6:13 am
ga nyambung ya komen saya ? hehe maaf abisnya bingung mau komen apa lagi itu bagus sudah 😀
dan format film itu haduh mana saya ngerti detik teknis itu euy, waktu SD sih kalo ga salah kejadiannya
April 5, 2012 pukul 11:08 am
halo bu, iya nih, wp sekarang hrs login dulu kalo mau komen. ribet, kelempar mulu. makanya aku komen pake akun twittah hahahha
April 7, 2012 pukul 5:33 pm
iya nih, beberapa hari ini aku baru ‘ngeh’. Kalau di laptop dg koneksi stabil sih nggak masalah, cuma kalo di HP agak pe-er nih WP 😥 *cry*
apa pindah hosting ya? tapi kemana?
April 3, 2012 pukul 9:30 am
Film bisu adalah film akting yang sulit. Wajar film ini diganjar pujian dan Oscar. Tak ada yang lebih sulit dari sekedar menampilkan karakter CUMA dengan bahasa tubuh saja, bahasa paling primitif dan paling tua dari umat manusia… *buseeet… serasa sudah hidup sejak zaman Adam dan Hawa ngemeng begini
*
April 4, 2012 pukul 8:07 am
Itu dia seninya! Melalui bahasan tubuh, kadang gerak bibir aja utk kata-kata sederhana dan kalau udah harus menggunakan kalimat lengkap baru pakai title card yang selebar layar.
April 1, 2012 pukul 5:43 pm
lagi2 belum nonton. etapi gila ya, ibu ini semacam kamus berjalan dunia film. *menjura* 😀
April 1, 2012 pukul 10:07 pm
Lho ini simbok Venus? kok namanya nggak nge-link ke VTM?
Maret 31, 2012 pukul 10:41 am
justru itulah yg menarik dari film bisu dimana kekuatan mimik dan akting tubuh lebih difungsikan daripada dialog krn sang aktor hrs bisa menyampaikan pesan bukan dgn dialognya tapi lewat tubuhnya in my humble opinion.
sebenarnya ada 1 film yg ckp bagus ,menurut saya dimana sang aktor jg terpaksa hrs bermain dengan tubuh yaitu film “Darkman”
April 1, 2012 pukul 10:10 pm
Yep, I couldn’t agree more 🙂
Maret 29, 2012 pukul 11:47 am
Hugo juga secara tidak langsung membawa pesan dan kesan yang sangat menarik mengenai perkembangan film yang ada selama ini.
Rasanya juga berbeda melihat kilasan sejarah film di beberapa frame yang ada di Hugo, film ini tidak berbicara sebagai sebuah film ‘dokumenter’, tapi tetap mengangkat bagian itu.
Ulasan yang menarik, Mbak Sabai. 😉
Maret 29, 2012 pukul 12:44 pm
Iya, justru karena ‘muatan sejarah’ dalam film HUGO itu makanya dia aku masukkan dlm ulasan ini 🙂
Maret 29, 2012 pukul 2:10 pm
Well-written Mbak. 😉
Ulasan yang keren. 🙂
Maret 29, 2012 pukul 3:12 pm
Thanks Teguh 🙂