Sore dalam hujan dan dingin tadi saya habiskan dengan mengobrol bersama teman-teman. Kami pernah bekerja sekantor di sebuah digital agency di Jakarta Selatan, dulu. Obrolan mengalir cepat, mulai soal percintaan (tentu saja), kegalauan, kekosongan hingga soal film Indonesia.
Berawal dari salah dua teman yang baru selesai nonton Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (yang kami semua sukai), maka obrolan bergulir ke film-film Indonesia lain yang tayang di bioskop bulan Desember ini. Ada beberapa hal yang menempel di kepala saya. Sebagai pembuat film, saya sangat tergelitik ketika salah satu teman mengungkapkan ketidakpuasannya pada salah satu film Indonesia. Dia bilang begini:
“Udah capek-capek ngikutin dari awal build upnya bagus, eh klimaksnya gitu doang. Namanya thriller kan harusnya tegang sampai abis ya, ini ekspektansi udah segini (mengangkat tangan setinggi kepala) eh pas di bagian final showdown malah drop jadi segini (menurunkan tangan setinggi perut). Kalau kayak gitu, emang dari skenarionya udah diinginkan gitu ya? Emang pas ngedit nggak ngerasa apa, kalau penyelesaiannya itu drop banget? Nggak pengen shooting ulang untuk bagian itu aja?”
Kawan saya ini nampaknya gemas betul dengan film yang ditontonnya itu. Karena saya tidak terlibat dalam film ini, maka saya respon sebisanya, sebagaimana layaknya sebuah film diselesaikan. Saya yakin memang skenarionya demikian, sesuai visi sutradara, dan tentu sudah mendapat greenlit dari produser juga. Shooting ulang tentu bukan perkara mudah, terkait dana dan waktu, apa lagi adegan tersebut lokasinya di luar Jawa.
Memang tidak mungkin memuaskan semua orang yang menonton film kita. Ada saja yang kecewa. Tapi mendengar dia bercerita sampai sekecewa itu, membuat saya merenung. Jangan-jangan di antara film yang pernah saya tulis skenarionya, ada penonton yang merasa sedemikian kecewa pada jalinan ceritanya?
Memang saya meyakini kekuatan sebuah akhir cerita, karena itulah rasa yang tertinggal dan dibawa pulang penonton. I want to leave a bitter-sweet taste in their mouths, a taste that lingers.

Obrolan pun bergulir soal pengalaman kawan yang lawyer, saat bertahun lalu bertemu seorang pemuda jebolan Fakultas Hukum yang lalu pindah ke Jakarta, merintis karir di bidang film di sebuah production house hingga akhirnya menjadi sutradara dan film terbarunya riuh bergaung setelah melalui strategi promosi yang gencar. Kawan yang lawyer ini bertanya begini:
“Di Indonesia menjadi filmmaker itu bisa otodidak ya? Bahkan dari sekolah hukum gitu lho, yang bidangnya jauh sekali, lalu bisa jadi sutradara. Kan ini nggak bisa berlaku sebaliknya. Orang yang sekolah film, nggak bisa kemudian kerja di firma hukum dan jadi lawyer misalnya.”
Waduh! Ini pertanyaan yang lebih rumit. Kami pun membahas tentang masih kurangnya sekolah film (yang berjenjang dan kurikulumnya baik) di Indonesia, bagi pembuat maupun pemain filmnya. Hingga ke soal belum adanya serikat pekerja di bidang film (baik sutradara, aktor, penulis skenario dll) di Indonesia. Sejauh ini ada asosiasi profesi, tapi belum menjadi serikat seperti Screen Actor Guild (SAG) di US misalnya.
Dengan begitu maka industrinya di Indonesia masih sangat fleksibel dan terbuka, karena belum ada standar terukur tentang kecakapan kerja di masing-masing bidang. Memang baru-baru ini Kemendikbud (yang menaungi film) bekerja sama dengan beberapa asosiasi profesi sedang menerapkan program sertifikasi profesi film. Saya termasuk yang sudah ikut ujian dan dinyatakan lolos sebagai penulis skenario. Tapi terus terang perjalanan kita masih akan sangat panjang sebelum sertifikasi ini bisa dilakukan secara meluas dan menjadi standar agar seseorang bisa bekerja di industri film. Belum lagi kemungkinan pergantian kebijakan kalau nanti menterinya ganti. Duh! Ini problem Indonesia di segala bidang, sepertinya ya?
Lebih luas lagi, fungsi serikat pekerja di bidang film sebenarnya bisa meliputi negosiasi hal-hal krusial seperti jam kerja di lokasi shooting (biar nggak kejadian crew call jam 6 pagi lalu baru selesai jam 2 pagi lagi), upah yang adil dan layak bagi pekerja film, serta soal keselamatan kerja karena kadang pekerjaan ini berisiko tinggi.
Ah, kalau saya tulis semua obrolan kami tentang film Indonesia, bisa jadi tulisan bersambung di blog ini. Sisanya, cukup saya renungkan malam ini sambil mengulang play list musik sendu beriring rinai hujan. Saya tidak menyangka janjian ketemuan yang improptu tadi siang berujung pada perenungan panjang. Silakan komentarnya, teman-teman. Thank you for reading my rants.
Desember 17, 2021 pukul 10:25 pm
Semangat terus Kak Tika, selalu berkarya ya.
Desember 24, 2021 pukul 10:12 am
Terima kasih pak Raseham untuk diskusinya yang memantik pemikiran 🙂