Kalimat di atas memantik saya untuk menulis sebuah blog post singkat. Saya dan sekelompok teman tadi malam menonton film SEPEDA PRESIDEN di bioskop. Sebagai gambaran, film ini bercerita tentang Edo, Saulus, dan Uben, tiga orang anak di Papua yang ingin mendapatkan sepeda dari Presiden dalam kunjungannya ke Papua menjelang natal. Dalam usaha mereka mewujudkan keinginannya, mereka bertemu dengan Binar, seorang gadis manis dari Jakarta yang sedang mencari jalan terang hidupnya.
Sekilas info, film Sepeda Presiden disutradarai oleh Garin Nugroho dan Hestu Saputra, pemainnya ada Ariel Tatum, Sita Nursanti dan pemain lainnya casting langsung di Sorong, mengajak anak-anak dan pemuda di sana. Tayang di bioskop mulai 23 Desember 2021.
Setelah film selesai, kami mengobrol santai. Ada beberapa komentar teman-teman yang menarik dari obrolan ini, tentang film SEPEDA PRESIDEN dan film Indonesia pada umumnya.
- Kenapa nggak dikasih subtitle bahasa Indonesia? Soalnya kan dialek Papua dan ngomongnya cepet, sering kali ramai-ramai tiga anak itu jadi sulit ditangkap telinga yang nggak terbiasa dengar dialek Papua. Respon saya keputusan soal ini ada di tangan sutradara dan produsernya.
- Emang kak Tika sebagai penulis skenarionya nggak ikut shooting di Papua? Ya enggaklah, begitu skenario selesai saya tulis, lalu serahkan ke sutradara, maka shootingnya bagaimana itu menjadi ajang kreativitas sutradara dan timnya. Lagi pula mana mau produsernya membayari tiket pesawat dan akomodasi saya padahal skenario sudah selesai.
- (lanjutan pertanyaan di atas) Film kan dunia yang glamour gitu kak, duitnya banyak, masa sih produsernya nggak mau bayarin penulisnya ke Papua? Nyatanya begitu, dan aku pun maklum adanya. Meskipun budget shootingnya miliaran rupiah, kalau aku yang jadi produsernya juga akan menghemat budget, nggak mau membiayai perjalanan penulis skenario mengingat skenarionya sudah final draft alias selesai.
Menarik sekali pernyataan teman yang ketiga itu. Image bahwa film adalah industri yang glamour juga ada di benak saya dahulu sebelum saya terjun ke dalamnya. Wajar yah, karena kalau ada acara premiere atau awarding gitu biasanya dikemas dengan mewah, tempatnya, dandanannya dll memang gemerlap. Namun setelah menjadi pembuat film, pernah memproduseri sebuah film layar lebar juga, saya jadi paham betul bahwa proses pembuatan film (dan industrinya secara keseluruhan) jauh dari kata glamour, dan sama aja kayak pengelolaan budget dalam project apa pun, harus efisien.
Film secara garis besar dikerjakan dalam 3 tahap: Pra-produksi (persiapan), produksi (shooting) dan pasca produksi (editing dll). Ketiganya sudah punya alokasi budget sendiri-sendiri dan biasanya dikawal ketat pemakaian dananya. Meskipun, misalnya budget sebuah film mencapai 9 milyar, itu karena memang butuh segitu. Tetep nggak boleh ada pemborosan yang nggak perlu.

Lanjut, komentar lain setelah menonton Sepeda Presiden:
4. Kok bisa sih nulis dialog dalam dialek Papua? Belajar sendiri? Berapa lama? Sebenarnya saya sudah sangat familiar dengan dialek dan kebiasaan-kebiasaan orang Papua karena sudah tak terhitung bolak-balik ke sana, baik untuk urusan keluarga maupun pekerjaan. Ada masanya saya shooting film dokumenter hingga sebulan lebih di Wamena, Anggruk dan Yahukimo, Papua. Lalu ke area pesisir juga sering, Sorong, Nabire, Biak, Serui, Jayapura, hingga area perbatasan di Merauke. Meski begitu, untuk film ini para aktornya yang dicasting langsung di Sorong punya keleluasaan memoles dialeknya agar lebih pas.
5. Kok bisa dan mau nulis cerita film dengan tema natal, dengan konten Kristiani yang kental? Bagi saya film ini temanya adalah kemanusiaan, compassion dan cinta kasih antar umat manusia, apa pun agamanya. Kalau soal kontennya ya harus riset, saya bertanya ke teman-teman yang paham, lalu di cross check lagi pas sudah jadi skenario. Saya juga pernah nulis film dokumenter dengan konten agama Hindu, dan salah satu aliran kepercayaan, semua saya kerjakan dengan senang hati karena saya melihat ada keindahan dalam ajaran-ajaran tersebut.
Diskusi pun bergulir soal yang lebih serius, misalnya pendanaan, proses pembuatan, kenapa castingnya demikian, lagu-lagunya dll. Dialog-dialog seperti ini yang saya tunggu setiap kali film yang saya tulis rilis di bioskop. Senang rasanya bisa melihatnya dari sudut pandang penonton. Jadi, apakah kamu sudah menonton film Sepeda Presiden? Apa komentarmu?
April 25, 2022 pukul 8:38 pm
Waaah mbaaaa, aku jadi pengen nonton filmnya. Sayang udah lama Yaa.. aku memang ga terlalu ngikutin perkembangan film sih, Trutama sejak pandemi. Tapi kalo baca ada review film menarik, biasanya aku cari tahu. Berharap juga ada diputar di bbrp aplikasi provider film legal 😁.
Tapi aku setuju sih kalo bicara soal budget. Yg namanya pengusaha, termasuk dalam bisnis film, pastilah ga mau bisnisnya terlalu banyak mengeluarkan Cost. Apa2 yang bisa dihemat, ya pasti dilakuin. Apalagi kalo mempertimbangkan biaya2 dadakan yang harus siap juga 😊..
Mei 9, 2022 pukul 9:54 am
betul. Bikin film imho perlu seimbang dari sisi bisnis dan kreativitas.
Desember 29, 2021 pukul 2:25 pm
Semua kegiatan pasti harus punya anggaran yang jelas ya mbak, gak terkecuali film. Bedanya seni perlu kreatifitas yang tinggi banget. Sukses buat filmnya mbak.
Januari 6, 2022 pukul 9:09 pm
betul sekali!! Terima kasih banyak… *lope lope*
Desember 24, 2021 pukul 9:51 pm
Bikin film syusah! Bikin film yang ngehits lebih susah lagi. Kayanya insan film Indonesia masih banyak yang perlu pivot-pivot untuk menemukan patternnya ya. Kaya film-film marvel gitu. Masih ingat sebelum Iron Man ya so so saja. Setelahnya… meledak melulu filmnya.
Desember 28, 2021 pukul 1:21 pm
Merujuk ke larisnya film-film Marvel, setidaknya ada 3 PR sih, kualitas filmnya harus bagus, promosinya harus ciamik dan distribusinya juga harus nggenah.
Desember 24, 2021 pukul 4:09 pm
Tentukan waktu dan tempatnya ya, Mba. Kalau perlu dibuat reguler diskusinya hahaha. Sukses selalu!
Desember 24, 2021 pukul 7:03 pm
hahaha… reguler, semacam KLOMPENCAPIR???