Sejak kecil setiap hari hidup saya bersentuhan dengan kertas. Buku tulis, bon restoran,
hingga skripsi mahasiswa yang baru selesai setelah saya kejar-kejar setiap hari, semuanya memakai kertas. Sudah lama saya tahu, kalau kertas dibuat dari pohon. Tapi
seperti apa pembuatannya, baru saya ketahui minggu lalu ketika berkunjung ke
Pangkalan Kerinci, Riau. Saya juga jadi tahu bahwa bahan baku kertasnya memakai pohon akasia yang mereka tanam sendiri. Bonus belajar soal kain batik Bono dengan cerita menarik di baliknya.
Batik Bono
Tangan Adhe Irmawani begerak lincah mewarnai sehelai kain yang terbentang di
depannya, sambil sesekali menanggapi pertanyaan putri kecilnya yang duduk manis di
sampingnya sambil bermain boneka kain. Meski Rumah Batik Andalan siang itu cukup
ramai dengan kesibukan para pembatik dan pengunjung yang melihat-lihat, tapi
perhatian Adhe tetap terpusat pada selembar kain di depannya, dengan motif ombak-
ombak bergelung.
Perempuan berusia 33 tahun ini sangat senang sekarang bisa membantu penghasilan
suaminya dengan membatik. Dalam sebulan Adhe bisa memperoleh penghasilan
tambahan antara 2 hingga 3 juta rupiah dari hasil membuat 30 hingga 40 lembar kain
batik dengan teknik cap. Dalam sehari, setidaknya Adhe bisa menyelesaikan satu lembar
kain batik, kadang lebih.
Adhe mulai belajar membatik bersama beberapa ibu-ibu di sekitarnya lima tahun lalu.
Rumah Batik Andalan mendatangkan guru dari Solo dan Yogyakarta untuk melatih
mereka. Setelah menguasai teknik membatik, Adhe dan kawan-kawan pun mencari
motif yang diangkat menjadi ciri khas mereka. Hingga akhirnya jadilah Batik Bono dalam berbagai warna dan variasi motif.
Nama Batik Bono langsung mengingatkan saya pada vokalis U2. Tapi sebenarnya
sebutan Batik Bono diambil dari Bono, nama gulungan ombak di sungai Kampar, Riau,
yang menjadi incaran para peselancar. Kalau lagi musimnya, para peselancar dari
berbagai kota di Indonesia dan dunia, mendatangi Sungai Kampar untuk surfing.
Saat ini sebagian besar penjualan kain Rumah Batik Andalan masih dibantu distribusinya oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) karena rumah batik ini adalah salah satu wujud nyata RAPP untuk meningkatkan taraf hidup warga di sekitar lokasi usahanya.
Pemerintah daerah di Kabupaten Pelalawan dan Provinsi Riau juga memberi dukungan
dengan cara membeli hasil karya para pembatik di sini. Sebagian batik mereka sudah
merambah pasar ekspor di Saudi Arabia, USA dan Singapura.
Menanam Sendiri Pohon Akasia
Dari kota Riau menuju Pangkalan Kerinci, tempat PT Riau Andalan Pulp and Paper
berada, dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama sekitar 2 jam saja. Di sini
perjalanan saya mempelajari asal muasal sehelai kertas dimulai.
Kami menuju Kerinci Central Nursery tempat ribuan bibit pohon Akasia dan Eucalyptus ditanam. Waaaa…. saya seneng banget main ke nursery! Apalagi saat melihat ibu-ibu dengan sangat cekatan menggunting batang dan daun tanaman akasia untuk pembibitan. Cepet banget kerjanya! Di sini tanaman akasia dibibitkan dengan stek daun, jadi dipilih daun yang bagus, dipotong pangkalnya, dicelup air, dioles rooting hormon lalu ditanam dalam kotak-kotak kecil (nursery tray).
Satu hal yang menakjubkan adalah ibu ini bisa menanam 6000 bibit akasia dalam sehari! WOW!!! Tangannya cekatan sekali jleb-jleb-jleb menancapkan bibit akasia dalam
nursery tray. Padahal menanamnya harus persis di tengah kotak dan harus tegak, agar
akarnya tumbuh bagus. Saya sempat mencoba menanam satu bibit akasia. Bisa sih,
berhasil tepat di tengah kotaknya, tapi saya lakukan dengan pelan dan hati-hati, nggak
bisa secepat kilat kayak ibu petugas nursery itu.
Jadi ribuan bibit pohon akasia ini berada di nursery selama sembilan minggu hingga
cukup besar dan kuat untuk di tanam di lahan terbuka. Lalu mereka akan tumbuh besar
dan setelah lima tahun bisa dipanen dan diolah kayunya menjadi pulp. Kegiatan
pembibitan dan pemeliharaan akasia ini perlu banyak tenaga kerja. Sebanyak 350 orang
warga setempat dan 40 karyawan terserap di nursery ini.
Integrated Farming System
Beranjak dari nursery, kami menuju ke area Integrated Farming System (IFS), sebuah
community empowerment program yang dimulai sejak tahun 1999. Program ini
menggabungkan pertanian di media tanah, hidroponik, peternakan sapi dan kolam ikan.
Semuanya ada di dalam satu area. Lengkap!
Hamparan kebun sengaja disediakan untuk masyarakat anggota dari Balai
Pengembangan dan Pelatihan Unit Terpadu (BPPUT) ini berlatih. Kegiatan ini adalah
program untuk memberdayakan masyarakat sekitar kebun dan pabrik PT RAPP agar
lebih terampil berkebun dan beternak sehingga bisa meningkatkan taraf hidup mereka.
Tanaman cabai, jagung, terong, okra, sawi dan lain-lain semua tumbuh subur, sebagian segera siap dipanen. Saya gemes banget melihat pok coy dan aneka sayuran yang hijau segar melambai-lambai minta dipetik di atas pipa hidroponiknya! Duh rasanya pengin segera makan siang pakai tumis pok coy, terus lauknya nangkep ikan dari kolam di sebelahnya. Nyam!
Hasil kebun dan peternakan ini sudah lengkap gizinya, akan semakin sempurna dengan
madu murni Sialang yang dihasilkan Rumah Madu, bagian dari BPPUT juga. Madu
Sialang terkenal bagus tapi susah diambil karena habitat aslinya rumah lebah ini berada
di atas pohon-pohon yang tinggi, lebih tinggi dari pohon kelapa. Dahulu para pencari
madu mencari dan menjual madu ini secara sederhana. Kini dengan adanya Rumah
Madu Andalan, madu dari masyarakat ini bisa dikemas dengan baik dan diberi label
dengan menarik, sehingga harga jualnya juga naik.
Kunjungan singkat ke Bumi Lancang Kuning ini membuka mata saya akan adanya
simbiosis mutualisme antara perusahaan dan warga di sekitarnya. Warga butuh perusahaan untuk meningkatkan perekonomian keluarga, begitu juga perusahaan membutuhan warga agar semuanya berjalan lancar.
Beragam fasilitas seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, sarana olah raga dan pengembangan usaha kecil dan menengah (Small Medium Enterprise/SME Program) tersedia di sekitar lokasi RAPP di Pangkalan Kerinci dan telah dimanfaatkan oleh para karyawan dan keluarga mereka.
Tak ketinggalan pula kebijakan dan pelatihan pengelolaan hutan yang berkelanjutan
(Sustainable Forest Management/SFM). Contohnya adalah kebijakan tanpa bakar.
Dengan adanya kebijakan ini, kebakaran hutan yang hampir terjadi tiap tahun di
propinsi Riau bisa dicegah dan menurun secara signifikan. Bahkan perusahaan juga
memberikan reward yang besar untuk desa-desa yang selama ini rawan kebakaran
hutan tapi sepanjang musim kemarau berhasil mencegah kebakaran hutan. Senang
rasanya melihat sebuah perusahaan besar bisa berjalan dan tumbuh bersama dengan
warga, saling memberi dan saling bertumbuh. Harmoni yang menyenangkan!
Agustus 28, 2018 pukul 11:15 pm
Sawitnya masih unyu unyu..
Ngebayangin klo udah gede gede pasti asik..
Agustus 29, 2018 pukul 12:37 pm
Iya, masih unyu bisa diusap2 daunnya 😀
Agustus 28, 2018 pukul 7:44 pm
Sayuran hidroponik is now trending! Sampai ke Riau pun tanemnya pakai system hidroponik. How awesome!!!
Agustus 29, 2018 pukul 12:39 pm
iya. Di kebun tsb selain hidroponik juga ada kebun konvensional, di tanah. Lengkap.
Agustus 28, 2018 pukul 7:40 pm
wah aku juga baru tau kalau pohon bahan baku kertas itu ditanam sendiri. berarti menunggunya lama ya sampai bisa ditebang pohonnya?…. banyak hal baru lain yang aku baru tau dengan membaca artikel blog ini. terima kasih kaka
Agustus 29, 2018 pukul 12:40 pm
cukup lama, tapi untuk jangka panjang ya lebih baik begini