BLOG Swastika Nohara

Life is the coffee, while jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life.

Klub Buku Para Priyayi Membuatku Merasa Bersalah

4 Komentar

Mohon maaf bila judulnya menyesatkan. Ini bukan tentang klub buku yang diikuti para priyayi, tapi klub buku yang membahas novel Para Priyayi karya sastrawan Indonesia kondang, Umar Kayam. Kami, anggota On-The-Go Book Club, bergantian memilih judul buku untuk dibahas dan ini buku pilihan saya. Sebelumnya kami sudah membahas Curious Incident Of The Dog In The Night Time, 100 Years Old Man Who Climbed Out The Window And Disappeared (panjang ya judulnya), Persepolis, BFG, The Little Prince dan Akar.

Lalu kenapa merasa bersalah?

Ceritanya begini. Pas tiba giliran saya memilih buku untuk dibahas, saya sebenarnya sangat ingin memilih buku Many Lives Many Masters karya Dr Brian Weiss, MD yang sangat memukau, yang ketika saya membacanya rasanya nggak pengin ngapa-ngapain lagi selain membaca terus sampai halaman terakhir. Sebuah buku yang membuat saya menitikkan air mata haru. Jarang loh ada buku yang begini. Apa lagi buku non fiksi. Tapi setelah saya cek, buku ini cukup sulit didapat, mesti beli di Amazon (bahkan Periplus Jakarta saja tidak punya, mesti PO selama beberapa minggu). Saya nggak mau merepotkan teman-teman dong ya…

Akhirnya pilihan kedua antara Mangan Ora Mangan Kumpul atau Para Priyayi, keduanya karya Umar Kayam, keduanya ketika pertama kali saya baca dulu sangat menyentuh hati.

Mangan Ora Mangan Kumpul adalah kumpulan opini Umar Kayam (soal isu-isu sosial dan politik semasa Orde Baru) yang dibukukan. Tapi nggak serius sih, malah bikin ngakak sindiran-sindiriannya. Sementara Para Priyayi adalah sebuah novel. Saya cek di toko online, buku ini banyak yang jual dan harganya tidak mahal. Jadi pilihan jatuh ke Para Priyayi. Oke sip. Saya pun membaca ulang buku yang sejak 2001 tidak pernah saya buka lagi itu.

para priyayi buku umar kayam.jpg

Namun diluar dugaan, dan ini yang bikin saya merasa bersalah, dari kami berdelapan hanya dua orang teman (tiga dengan saya) yang selesai membaca novel ini. Huhuhuhu…. Yang lain rata-rata menyerah karena pada bagian awal alurnya lambat dan terasa membosankan. Saya tidak menyangkal. Awal novel ini memang bergerak lambat, tidak ada konflik dan melulu berisi deskripsi desa yang miskin. Pengenalan karakternya sungguh tidak lugas. Beda dengan novel-novel masa kini yang dalam beberapa belas halaman pertama sudah terlihat konfliknya.

Padahal, kalau sabar baca sampai melewati halaman 80, saat konflik pertama timbul, makin ke belakang makin seru! Bahkan ada adegan senggama-nya. Beneran. Umar Kayam pun dengan gamblang menggambarkan suasana dan gejolak perasaan karakter-karakternya hingga sampai ke adegan tersebut.

Para Priyayi, jadi kayak gimana ceritanya?

Cerita dibuka dengan suasana sebuah desa kecil yang miskin dan kering di Jawa Timur (dekat Madiun) sekitar tahun 1910, masih zaman kolonial Belanda. Tokoh utamanya seorang bocah bernama Lantip, anak seorang janda penjual tempe dari desa Wanalawas.

Setiap hari Lantip kecil ikut simboknya berjalan kaki panas-panas berjualan tempe sampai ke desa Wanagalih, dan setiap sore mampir ke rumah Ndoro Guru Sastrodarsono di Jalan Setenan, untuk menjual tempe sembari beristirahat. Digambarkan dengan sangat menarik, bagaimana Lantip yang miskin mengagumi rumah dan gaya hidup Ndoro Guru serta Ndoro Putri, istrinya, keluarga priyayi.

Ketika umurnya sudah cukup buat masuk sekolah (SD) Lantip diangkat jadi anak asuh Ndoro Guru untuk disekolahkan, karena di desanya tidak ada sekolah. Oya, nama aslinya adalah Wage. Diganti menjadi Lantip agar pemikirannya kelak benar-benar tajam sesuai namanya (lantip dalam bahasa Jawa berarti tajam).

Lantip mulai ngenger di rumah Ndoro Guru, dia sangat rajin bantu-bantu pekerjaan rumah, sehingga Ndoro Putri sayang kepadanya. Dalam tradisi Jawa memang ada kebiasaan keluarga yang berada mengangkat anak asuh dari keluarga kurang mampu untuk disekolahkan dan diajari macam-macam soal kehidupan, sebuah proses yang disebut ngenger. Nah, delapan puluh halaman pertama novel ini mengisahkan awal mula hidup Lantip dan deskripsi lifestyle Ndoro Guru.

Baru sesudahnya konflik mulai muncul saat Lantip berusaha mencari tahu siapa bapaknya, benarkah bapaknya begal alias rampok seperti yang dikatakan Ndoro Guru saat beliau ketrucut (kelepasan ngomong) sedang marah? Kenapa simboknya sendirian membesarkan Lantip? Kenapa pas simbok Lantip mati keracunan jamur, lalu Ndoro Guru melayat, kok dia tampak sangat akrab jagongan dengan para tetua desa Wanalawas? Siapakah Ndoro Guru sebenarnya? Betulkah beliau seorang priyayi murni sebagaimana imej yang beliau tampilkan?

DI SINI CERITA MULAI SERU!

Cara menuturkan cerita juga unik. Setiap bab berkisah dari sudut pandang tokoh-tokoh yang berbeda. Misalnya satu bab dari sudut pandang Lantip, bab berikutnya sudut pandang Ndoro Guru, bab berikutnya giliran Simbok Lantip dan seterusnya hingga tiga orang anak Ndoro Guru kebagian bab mereka sendiri.

Meski latar belakang ceritanya adalah di Jawa dan sedikit Jakarta dalam rentang tahun 1910 hingga sekitar 1965, tapi buku ini masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia sekarang. Apa lagi soal bagaimana masyarakat terkotak-kotak dalam strata sosial hingga ada fenomena social climbing (yang oleh pengguna medsos masa kini disebut panjat sosial).

Ternyata ada loh level-levelnya priyayi!

Memang label status sosial yang ada sekarang tidak telak seperti zaman dulu. Dalam novel ini dilukiskan keluarga priyayi pun terbagi lagi kelas sosialnya, ada priyayi rendah, priyayi menengah dan priyayi ageng (besar). Ditambah pula dengan bagaimana mereka melakoni agamanya, apakah Islam santri, Kristen, Katholik, atau kejawen, atau Islam abangan, sehingga ada label keluarga yang disebut ‘priyayi rendah abangan murni.’ Panjang ya!

Pengkotak-kotakan ini juga berujung kisah mau nikah beda agama yang rumit sekali. Salah satu anak laki-laki Ndoro Guru (yang keluarga Islam abangan) pas kuliah di Yogyakarta jatuh cinta pada seorang gadis Katholik yang baik hati, ramah dan menggemaskan. Setelah lama berpacaran, sang anak memberanikan diri minta izin menikahi kekasihnya. Eh, ternyata ayah-ibunya tidak setuju! Sang anak heran, dia sempat bilang, “Keluarga kita ini nggak menjalankan syariat Islam, nggak shalat, nggak puasa. Kenapa pas saya mau nikah sama gadis Katholik kok dilarang?”

Saya tersenyum simpul membaca bagian ini. Agak teringat kisah masa muda sekitar 20 tahun lalu.

Panjang kalau saya teruskan mendongeng soal buku ini. Namun saya pastikan, apa lagi buat orang Jawa masa kini, novel Para Priyayi sangat sarat makna, membuat saya menitikkan air mata dan menggugah amarah juga. Novel ini membawa pembacanya menerobos mesin waktu kembali ke masa lampau dan menemukan banyak hal dalam masyarakat kita yang masih tidak berubah hingga kini.

Bagi saya pribadi, novel ini penuh kejutan. Saya pikir saya tahu apa itu (kehidupan) priyayi, tapi setelah membaca (ulang) novel ini, ternyata saya tidak tahu apa-apa.

Silakan baca dan nikmati kisahnya. Silakan menikmati foto-foto kami juga. Iya, saya juga heran sebenarnya kami ini klub buku atau klub foto? Lebih banyak foto-foto kaminya dari pada foto diskusi bukunya πŸ™‚

para priyayi buku

https://www.instagram.com/p/BmV4y6DDlXJ/?taken-by=neverlostneverland

Iklan

Penulis: Swastika Nohara

I'm a freelance content and script writer for movies, television, commercials and internet-related content. With a team, I also do documentaries, video tutorial, video presentation and corporate video. I'm based in Jakarta but eager to travel anywhere on earth. For me, life is like a cup of coffee. Life is the coffee while jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided…. So, don’t let the cups drive you, enjoy the coffee instead!

4 thoughts on “Klub Buku Para Priyayi Membuatku Merasa Bersalah

  1. kalau saya malah suka sama cerita para priyayi ini :D. Dulu pas sekolah sempet pinjem bukunya di perpus
    mau beli tapi rada mahal. nemu yang murah biasanya produk repro

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s