Siang tadi saya mestinya mengajar mata kuliah Film Production 1 di kampus tercinta yang letaknya di kawasan Senayan, Jakarta. Saya datang beberapa menit sebelum jam kuliah dimulai, kelas masih kosong. Saya menunggu sambil mendengarkan musik dan menyiapkan slide materi kuliah. Tapi hingga lewat 10 menit dari jam kuliah mulai, kelas tetap kosong. Padahal mahasiswa-mahasiswa saya biasanya datang on time. Ada apa ini?
Saya sampai keluar kelas, melihat ke nomor ruangan yang ada di atas pintu, memastikan saya berada di ruang yang benar. Iya, ruangannya benar. Sudah lewat 15 menit dari jam kuliah mulai, kok belum ada seorang pun mahasiswa yang datang?
Akhirnya saya cek HP. Satu per satu mahasiswa saya mengabarkan bahwa mereka tidak bisa ke kampus karena demosntrasi hari ini. Ada yang memang dilarang orang tuanya keluar rumah sejak pagi, ada pula yang rutenya kehadang demo jadi memutuskan putar balik, bahkan ada satu mahasiswa yang menyaksikan sendiri bagaimana supir-supir taksi berseragam biru itu menyerang pengendara Gojek dan Grab, lalu melemparkan helm-helm mereka ke arah kendaraan-kendaraan lain di jalan raya, salah satunya mengenai mobil mahasiswa saya itu.
Bayangkan, kamu lagi nyetir lalu kejebak macet karena demo, lalu kap depan mobil kamu ditimpuk helm!
Main kasar. Keterlaluan.
Sekedar background informasi, hari ini lalu lintas di beberapa jalan utama Jakarta rusuh karena demonstrasi supir-supir taksi dari berbagai armada. Beritanya sudah marak menghiasi media dan medial sosial sejak pagi. Supir-supir taksi konvensional unjuk rasa menuntut agar taksi dan ojek berbasis aplikasi (Uber, Grab, Gojek dan sejenisnya) dilarang beroperasi karena dianggap menyedot penumpang mereka dan membuat setoran mereka merosot.
Sayangnya demonstrasi ini chaos dan anarkis.
Supir-supir taksi yang demo memaksa supir taksi yang masih mengangkut penumpang untuk berhenti narik dan ikutan demo atas nama solidaritas. Tapi cara mereka memaksa rekan-rekan kerjanya ini sangat tidak simpatik, disertai kekerasan, ancaman bahkan menggunakan senjata tajam dan memecahkan jendela taksi tsb.
Teman-teman pasti sudah melihat juga aksi segerombolan pria berseragam supir taksi warna biru yang dengan gahar menyerang sebuah taksi yang masih narik di jalan Gatot Subroto untuk ikutan demo. Lalu beberapa video lain menunjukkan supir-supir taksi ini menyerang secara keroyokan pengemudi Gojek dan Grabbike hingga mereka terkapar dan motor mereka tergeletak di jalan raya. Klik ini untuk melihat salah satu video yang absurd.
Foto ini adalah khayalan… enaknya kalau jalanan damai dan bebas macet!
Ada kabar pula, para demonstran sweeping kendaraan yang lewat untuk mencari adanya Uber taksi yang beroperasi. Semena-mena banget. Bahkan beredar foto dari facebook seorang supir taksi berlogo biru yang sudah menyiapkan parang untuk dibawa dalam aksi demo hari ini. Fotonya nggak usah saya pasang, saya tidak ingin memperkeruh suasana. intinya adalah saya sangat tidak simpatik dengan aksi para supir taksi konvensional hari ini.
Preman, really?
Di televisi, perwakilan manajemen taksi biru itu menyatakan orang-orang berseragam supir taksi biru yang melakukan kekerasan hari ini bisa saja disusupi preman. Ya, preman yang memakai seragam supir taksi biru. Mungkin saja. Meski begitu, harusnya bisa banget manajemen perusahaan taksi itu mencegah kekerasan dengan cara menghimbau supir-supirnya yang mau demo agar tidak melakukan kekerasan. Kalau perlu disertai peringatan bahwa supir yang anarkis akan dipecat. Ya kan?
Kemana Pemerintah & Penegak Hukum?
Sebenarnya soal perebutan ‘lapak’ antara supir taksi konvensional dan taksi online ini bisa diantisipasi, asalkan semua pihak punya itikad baik. Misalnya, perusahaan taksi konvensional memperbaiki layanannya dan melatih supir-supirnya agar minimal mengerti jalan-jalan besar di Jakarta. Saya pernah naik Blue Bird dari fX di Jalan Jenderal Sudirman mau ke Grand Indonesia di bundaran HI yang adalah rute gampang sekali tinggal lurus doang di jalur protokol Jakarta, eh supirnya nggak tau jalan loh!
Perusahaan taksi online dari luar negeri juga harus mematuhi semua aturan saat memulai bisnisnya di Indonesia, termasuk aturan pajaknya. Kalau dari sisi penumpang, jelas naik taksi Uber atau Grab jauh lebih menyenangkan karena tarifnya lebih murah secara signifikan, pemesanan via apps sangat mudah, mobilnya bersih dan wangi kadang dikasih air minum, wifi malah ada mobil Grab yang pakai karaoke!
Udah gitu supir-supirnya sopan dan tahu jalan (atau kadang pakai Waze), bisa bayar pakai kartu kredit dan ada peta di mana kita bisa memantau mobil yang kita pesan lewat mana atau sudah sampai mana. Peta ini penting saat saya memesankan Uber taksi untuk dinaiki ibu saya, sementara saya-nya nggak ikut. Jadi saya bisa memantau perjalanan ibu saya sampai tiba di tujuan. Oya, kalau baru mau pakai Uber, masukkan kode UberSwastika di apps untuk mendapatkan ongkos taksi gratis Rp 150.000,-
Nah, lalu bagaimana dengan pemerintah? Komponen pemerintahnya nih bagi saya masih tanda tanya besar. Kenapa pemerintah membiarkan premanisme dan perang lapak ini terjadi hingga berlarut-larut?
Seharusnya pemerintah bisa lebih tegas mengambil sikap. Misalnya dengan mengatur tata edar dan menetapkan aturan main yang tegas baik bagi angkutan umum di bawah Organda maupun bagi kendaraan umum berbasis aplikasi. Ya kan?
April 5, 2016 pukul 9:21 am
Yah gitu tu mba klo ngerasa rejekinya diambil orang
kayak ga punya tuhan aja ya
April 5, 2016 pukul 2:09 pm
Dan caranya itu loh yg nggak simatik… 😦
April 5, 2016 pukul 9:09 am
Bukannya melawan dengan inovasi malah dengan demo anarkis ga jelas gitu, hadeh indonesia-indonesia ;(
April 5, 2016 pukul 2:08 pm
hebat ya Indonesia? Hehehe…
Maret 28, 2016 pukul 3:25 pm
Melawan teknologi pake cara demo dan bukan inovasi? hmmm kok kayaknya cara yang dipakai males banget ya. Ketimbang mikir inovasi malah milih demo, pake acara ribut pula 😦
Aku sih gak kena efeknya karena di Tanggerang, tapi melihat lewat twitter serem banget mba. Menyesalkan kenapa perusahaan taksi sebesar burung biru kok jadi gak berkelas (kalo yg lain sih gak heran, abal2). Terus terang, saya sejak di Tanggerang susah banget kalo naik taksi. Sering di tolak karena dekat. Yakali juga dari kantor ke rumah atau ke mall di Tangsel ya gak jauh, dan gak bisa diajak muter2 juga karena jalannya udah jelas. karena itu akhirnya kenalan sama taksi online dan malah jadi ketagihan pake. Udah sopirnya ramah, wangi, bisa lebih dari 4 orang, jelas pula (ada GPS dan terpantau) 🙂
Maret 28, 2016 pukul 4:56 pm
Bener banget!!! Mereka, armada taksi konvensional itu, harusnya memperbaiki diri. BB sebenernya punya apps tapi masih belum oke lah servisnya.
Maret 28, 2016 pukul 5:22 pm
Mereka terlena sama brand mba. Persis kayak blackberry dan nokia.
Maret 29, 2016 pukul 1:05 pm
Hmmm… merasa udah jadi brand gede dan market leader, gitu ya?
Maret 29, 2016 pukul 1:45 pm
Yap. Mereka jadi kurang berinovasi dan belakangan malah seperti menyepelekan customer (driver gak sopan, gak on time, dsb dsb). Orang sekali dua kali komplain oke, tapi kalo sering ngalamin kan males juga komplain terus
Maret 30, 2016 pukul 5:59 pm
soal driver, dengar2 mereka banyak hire driver baru yg bahkan baru datang ke jakarta jadi gak tau jalan… Beberapa kali aku dengar driver mrk rude atau bau (bau rokok, bau ketek) sih. Yeah, I agree with you, kurang inovasi banget ya?
Maret 28, 2016 pukul 2:53 pm
Waktu kejadian itu mau liputan pun jadi takut. Mau naik taksi takut dijegat dan disuruh turun, mau naik ojeg online takut pengemudinya digebukin di deapan mata.
Maret 28, 2016 pukul 4:55 pm
Akhirnya nggak liputan?
Atau sebenernya tetep jalan, kalau dijegat demo sekalian kamu jadiin bahan liputan, ya kan?
Maret 28, 2016 pukul 8:34 am
Aku pun memutuskan di rumah aja pas kejadian itu dan memantau berita.
Maret 28, 2016 pukul 1:36 pm
Aku mau tak mau akhirnya keluar krn harus ngajar… di Sudirman! 😀
Maret 25, 2016 pukul 8:03 pm
mereka kayak gini ini malah bikin yang namanya grab sm uber makin laris
aku sekarang juga ga dibolehin lagi naksi, kecuali kepepet atau bukan di jakarta.
Maret 28, 2016 pukul 1:37 pm
Yesss…. Oh, Linda sampe gak dibolehin naik taksi? Naik taksi yg mana?
Maret 25, 2016 pukul 2:09 pm
Iya sedih liat aksi anarkisnya ya.. 😦 Semoga masalah ini cepet selesai dan ngga ada lagi aksi demo lanjutannya ya..
Maret 28, 2016 pukul 1:38 pm
Amiiin amin amin!
Maret 24, 2016 pukul 10:55 pm
Harusnya demo mah demo aja nggak usah pakai merusak atau kekerasan segala. Yang kasian justru supir taksi yang memang mau ikhlas nyari duit. Sekarang mereka kena imbasnya juga, jadi kena cap jelek kalo supir taksi itu dekat sama kekerasan. Kasian mereka.
Maret 25, 2016 pukul 11:26 am
Benar sekali!!! Aku jadi nggak respect sama taksi bluebird
Maret 24, 2016 pukul 5:12 pm
hmm lg jalan2 di blogsphere nyangkut di artikel ini..
bener juga sih yah walaupun kmaren taksi gratis tp jarang liatt dijalanan sepanjang kemang-ciputat hahaha
Maret 25, 2016 pukul 10:48 am
Hahaha… senang kamu nyangkut di sini, semoga mampir2 lagi 🙂
Maret 25, 2016 pukul 10:50 am
hahaha siap mbak
Maret 24, 2016 pukul 3:41 pm
Sudah 5 tahun nggak naik taksi di Jakarta. Dulu rasanya nyaman-nyaman aja dan selalu jadi moda transportasi yang bisa diandalkan. Tapi ke sininya makin banyak yang komplain sama servis taksi konvensional ya, Mbak?
Maret 25, 2016 pukul 10:47 am
Begitulah kira-kira Alfa… Di Brunei sih public transport bagus ya?
Maret 25, 2016 pukul 2:34 pm
Public transport minim, mbak. Cuma ada bis yang jumlahnya terbatas dan terjadwal satu jam sekali lewat. Taksi ada tapi mahal sekali. Jadi benar-benar mengandalkan mobil pribadi. Tapi karena penduduknya nggak banyak, jalanannya damai dan lengang kaya foto di atas itu.
Maret 28, 2016 pukul 1:38 pm
Waaah… enak banget bebas maceeet!
Maret 23, 2016 pukul 5:15 am
Setuju, mba. Taksi konvensional suka gak tau jalan dan kadang itu sangat menyebalkan. Kan lucu juga di taksi kita harus sibuk buka GPS, padahal mestinya kita bisa santai dan barangkali tidur.
Maret 23, 2016 pukul 8:53 pm
NAH!!! Tau jalan adalah fitur maha penting bagi seorang supir taksi! Aku setuju 1000%!!
Maret 22, 2016 pukul 10:43 pm
sedih lihat berita-berita hari ini kak…semoga segera pulih, taksi konvesional dan Taksi Onlen bersahabat lalu mereka menikah dan punya anak yang di namai taksi onlen konvensional. sekian
Maret 23, 2016 pukul 8:54 pm
Hahaha… and they live happily ever after? *backsoundmusikwedding
Maret 22, 2016 pukul 8:21 pm
Nama mereka makin jelek aja atas apa yg terjadi hari ini. Teknologi ga bisa dilawan..
Maret 22, 2016 pukul 8:58 pm
Banget. Perlu adaptif pada perubahan ya?
Maret 22, 2016 pukul 8:04 pm
padahal rezeki udah ada yang ngatur ya kak
Maret 22, 2016 pukul 8:59 pm
Bener banget Winny…. Jadi gak respect sama taksi biru itu kan?
Maret 22, 2016 pukul 7:57 pm
Sama kak, kebetulan rumah saya di deket senayan, mau pergi kuliah jadi susah…dan harus rela absen jebol hiks
Maret 22, 2016 pukul 8:59 pm
Yaaah… mau kuliah aja terhalangi kan?
Maret 23, 2016 pukul 10:20 am
Iya, semoga aja pemerintah cepet menyelesaikan masalahnya…daripada nanti demo lagi hehe
Maret 23, 2016 pukul 8:49 pm
Amiiin… amin!
Maret 22, 2016 pukul 7:07 pm
Gagal paham dengan demo anarkis dan juga cara perusahaan taksinya menjelaskan 😦
Maret 22, 2016 pukul 7:10 pm
Perusahaannya menurutku buang badan dengan bilang itu preman yg menyusup. Atau jangan2 perusahaanlah dalangnya?