Sepekan terakhir beredar luas foto-foto wisatawan yang merusak keindahan sebuah kebun bunga amarilis di Yogyakarta. Bagi saya yang lebih mengejutkan adalah respon Pak Sukadi, pemilik kebunnya.Ceritanya di Dusun Ngasemayu, Desa Salam, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ada kebun bunga amarilis yang bunganya sedang mekar. Istimewanya, bunga ini hanya mekar satu kali setahun, selama 20 hari di awal musim hujan. Nah, kebun seluas 2.300 meter persegi yang dipenuhi kelopak bunga amarilis bermekaran tentu cantik banget doooong….
Jadilah banyak orang (mayoritas anak muda) datang dengan tujuan utama untuk selfie, lalu diupload ke media sosial. Sejak 18 November lalu kebun bunga ini mendadak tenar, sehari bisa seribu orang yang datang untuk selfie dengan beragam gadget. Mulai dari smartphone made-in China dengan tongsisnya, sampai kamera DSLR dengan beragam lensa.
Sepuluh hari kemudian beredar foto-foto menunjukkan kebun bunga ini rusak parah akibat diinjak-injak dan diduduki para wisatawan yang asik selfie! Lengkap dengan wajah-wajah para pelaku selfie-nya, dari depan, tertampang dengan jelas dan tegas kelakuan mereka duduk atau rebahan di atas pokok bunga amarilis.
Sontak netizen mencaci-maki para pelaku selfie penyebab kerusakan yang tak bertanggung jawab itu. Apakah kamu termasuk yang mengutuk perbuatan mereka?
Sangat disayangkan memang. Bayangkan saja, untuk menanami kebun seluas itu, Pak Sukadi pemiliknya, harus menggelontorkan bibit bunga amarilis sebanyak 2 ton, dan dengan tekun merawat kebunnya sejak tahun 2006. Sembilan tahun kerja kerasnya dirusak oleh para wisatawan narsis yang pengin eksis. Ironis ya?
Lalu apakah Pak Sukadi marah?
Apakah dia lalu memasang pagar berduri setinggi 2 meter mengelilingi kebun bunganya?
Ternyata tidak.
Berita rusaknya kebun bunga ini mengagetkan saya. Tapi respon Pak Sukadi lebih mengagetkan lagi. Alih-alih menyalahkan kelakuan minus para pengunjung, Pak Sukadi malah bilang kalau memang kebun bunganya belum dilengkapi jalan setapak, dan dia berniat menata kebunnya, dilengkapi area khusus untuk selfie. MasyaAllah…. Saya terharu menyimak jawaban pemilik kebun bunga yang sehari-hari bekerja sebagai penjual mainan anak-anak ini, sebagaimana ditulis harian Kompas.
Rupanya ada alasan di balik jawaban Pak Sukadi. Setelah ramai dibicarakan melalui media sosial dan kebanjiran pengunjung, kebun bunganya membawa rejeki bagi warga dusunnya. Uang sumbangan suka rela dari pengunjung bisa mencapai 1 juta rupiah sehari, dan biaya parkir kendaraan rata-rata 1,5 juta rupiah sehari, belum lagi warga yang ikut berjualan makanan, minuman dan bibit bunga di sekitar lokasi.
Selama membawa manfaat buat warga desa, memang ada baiknya kebun ini tetap dibuka, tapi dengan sederet peraturan yang kudu dipatuhi pengunjung. Mau selfie, mau eksis, mau narsis, boleeeeh…. Yang nggak boleh itu merusak. Ya kan?
Memang sulit merevolusi mental orang Indonesia, termasuk dalam berwisata agar tidak merusak dan meninggalkan sampah (apalagi plastik dan stiriofoam). Merahasiakan sebuah destinasi atau spot cantik agar tidak ramai dikunjungi orang, itu bisa saja dilakukan, tapi mau sampai kapan? Merahasiakan sebuah spot cantik hanya akan melindungi spot itu selama beberapa bulan, atau tahun. Hal ini juga menghambat potensi ekonomi yang bisa diraup warga setempat.
Sementara memperbaiki peri laku wisatawan akan menjaga semua spot wisata se-Indonesia, sampai kapan pun, dan semoga bisa membantu menggerakkan ekonomi lokal. Memang bukan kerja ringan. Pengelola tempat wisata (baik swasta maupun Pemda) perlu menetapkan aturan-aturan bagi wisatawan, termasuk menyediakan fasilitas penunjang seperti tempat sampah misalnya. Kalau untuk itu perlu biaya, ya tak ada salahnya memungut bayaran dari pengunjung alias karcis masuk. Bagaimana menurut pendapatmu?
Desember 30, 2015 pukul 7:03 pm
saya kesana udah hancur mbak bunganya, kasihan bunganya padahal hanya tumbuh 1 tahun sekali saja.
Desember 31, 2015 pukul 12:08 am
Iya, sayang sekali memang. Kapan ke sana?
Desember 9, 2015 pukul 2:56 am
Miris lihat wisatawan seperti itu ya, pelaku perusak malah dengan bangga nulis caption di akun instagramnya “gua foto disini masalah” — sambil nginjak itu bunga. Edan!
Desember 10, 2015 pukul 8:48 am
Miris yaaa…
Desember 12, 2015 pukul 2:44 pm
Perkembangan teknologi seringkali membawa perubahan pada perilaku manusia dan kebudayaan. Jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan komputerisasi, menurut pandapat kalian, bagaimana sebenarnya perkembangan teknologi ini mendorong munculnya perilaku ‘narsis’? Mengapa narsisme menjadi hal yang penting dan mampu mengalahkan banyak hal?
Desember 5, 2015 pukul 10:53 pm
Irooniis dan malu sebenarnya liat kelakuan para pengunjungnya, setidaknya mereka kan orang yg “berpendidikan” , tapi kenapa ga bisa menghargai jerih payah orang.
Dan setuju bgt mbak untuk revolusi mentalnya, terutama dimulai dr lingkungan kecil dulu kaya keluarga.
Contoh kecil aja, waktu itu aku lg sholat di salah satu resto gitulah. Pas mau cabut ada ibu2 yg maksa minjam mukena, karna semua mukena dsana lg dipake semua. Padaal waktu itu lg buru2 udah ditungguin. Singkat cerita dipinjamin, tapi begitu “beliau” selesai jangankan bilang terima kasih, yang ada mukenanya dilepas gitu aja trus ngeloyor pergi. Pas ditegur ga “dilipatin dulu bu?” pura2 ga dengar…paraaah kelakuannya, ga sadar apa ya, kan bisa jd contoh yg jelek buat anak2nya, trus entar tabiat jelek yg dipupuk di rumah diterapkan ke lingkungan luar.
Baru tau juga kalo tanggapan Pak Sukadi bisa wise begitu
Desember 5, 2015 pukul 11:49 pm
totally agree with you, Sandra!
Desember 4, 2015 pukul 10:47 pm
ini yg seperti kata guru saya. ilmu ikhlas… hadehhhh… susah betul menjalaninya..
Desember 5, 2015 pukul 10:48 pm
yuuuups!
Desember 3, 2015 pukul 11:55 pm
Sepertinya, Pak Sukadi pikirannya sederhana saja, dia senang karena kebun bunganya disenangi banyak orang dan juga membawa manfaat bagi tetangga-tetangganya. Yang berkunjung juga punya pikiran yang sederhana saja: bunga kalau dipetik ntar juga tumbuh lagi, rumput dan bunga di mana-mana juga biasa diinjak-injak.
Coba kalau pola pikir yang sama juga berlaku di mall-mall besar di Jakarta: penjaga toko senang karena banyak yang datang meskipun cuma beli barang yang paling murah atau bahkan nggak beli apa-apa, dan orang-orang ambil bunga, coret-coret di dinding, dan buang sampah suka-suka hati – toh semuanya bisa dibersihkan.
Kenapa yah, rule of conduct di kebun orang dan di mall bisa berbeda? Apa karena pengaruh satpam dan CCTV?
Desember 5, 2015 pukul 10:48 pm
Bisa jadi… mungkin perlu satpam di kebun bunga di Indonesia, klo perlu dia bisa sekalian diminta bantuan buat memfoto pengunjung 🙂
Desember 2, 2015 pukul 5:03 pm
Kalau saat ini belum ada Twitter, Instagram, Facebook, atau belum ada tren foto selfie, bakal kejadian kaya gini nggak ya? :))
Desember 5, 2015 pukul 10:46 pm
Jelas tidaaaaak :)))
Desember 5, 2015 pukul 10:47 pm
Kalau belum ada sosmed, paling 1-2 orang lewat akan menyangka ini kebun bunga buat bunga potong yg dijual, dan gak terpikir buat foto2, ya kan? 🙂
Desember 2, 2015 pukul 12:56 am
Pak Sukadi, salut deh. semoga tahun depan tamannya lebih tertata dan makin berkah ya. untungnya saja bunga ini kalau musim kemarau mati dan ketika musim hujan bakal tumbuh sendiri lagi.
Desember 2, 2015 pukul 4:15 pm
Amiiiin… semoga makin berkah buat semuanya ya…
Desember 1, 2015 pukul 9:15 pm
Kemaren ada screen shot komen yang beredar di social media tentang ini. Intinya seorang remaja bilang kan dia sudah bayar, jadi ya wajar kalau rusak sedikit. Dan sayapun gagal paham dengan kemampuan berpikir dan berempati remaja jaman sekarang (gak semua remaja ya). Otaknya dimana sih?
Desember 2, 2015 pukul 4:13 pm
Otaknya ada mbak, buktinya dia bisa itung-itungan udah bayar segala, tapi perasaan dan hatinya sudah tumpul… Ya nggak?
Desember 2, 2015 pukul 5:46 pm
Oh iya bener
Desember 1, 2015 pukul 9:42 am
pak Sukadi ini bijaksana sekali yaa.. Ilmu ikhlasnya luar biasa
Desember 1, 2015 pukul 4:22 pm
Yes indeed… Semoga semangatnya berkebun & ketulusannya menyebar.
Desember 1, 2015 pukul 7:57 am
bapaknya njawani banget yaa, tapi seneng jadi bisa meningkatkan perekonomian warga dusun..
semoga bakalan ada kebun2 seperti ini yang lain dan ada aturan2 yang ditetapkan
Desember 1, 2015 pukul 4:20 pm
Amiiin! Aku juga diam-diam berharap, semoga ada warga lain, di dusun lain, yg tergerak bikin kebun bunga jugak!
Ih kok kita sepikiran sih?
Desember 1, 2015 pukul 7:35 am
Sesungguhnya mereka yang selfie (plus merusak) di kebun bunga pak Sukadi itu jiwanya rapuh, kering kerontang. Di balik kegemarannya berselfie, ada krisis kepercayaan diri.
Makanya mereka membuat foto selfie yang menarik agar mendapat pengakuan di dunia maya, demi mengundang decak kagum orang lain
Desember 1, 2015 pukul 4:19 pm
OH gitu ya? Wow… analisa psikologis yang tajam! Terus, gimana caranya agar jiwa-jiwa mereka tidak rapuh lagi?
apa yg bisa dilakukan?
Desember 1, 2015 pukul 4:24 pm
mereka wajib mengikuti penataran P4 kak, 45 jam. Tidak kurang, tidak lebih.
hahahaha
Desember 1, 2015 pukul 4:33 pm
Wah… jadi ingat masa muda!! :)) Efektifkan penataran P4 jaman aku kuliah dulu? Seingatku lebih banyak ngantuknya…
Desember 1, 2015 pukul 5:42 am
Akuuuuu termasuk yg “mengutuk” anak2 muda tersebut mbak, huahaha.. Yaabes gimana, wong rumput aja ada aturan ‘jangan diinjak,’ eh ini malah bunga dirusak… BUNGA!!
Aku sih setuju banget kalo dibebanin tiket masuk dgn tarif yg wajar, buat biaya perawatan bunga + tenaga kerja. Ngurus bunga segitu banyak kan capek, musti telaten pulaaa *sifat itu tidak saya miliki* 😆
Desember 1, 2015 pukul 4:18 pm
Hahaha… sepakat!!! Perlu ketelatenan khusus, dan saya pun angin2an soal ini 😀 *melirik-pot-bunga-yg-jarang-disentuh
Desember 1, 2015 pukul 5:34 am
Setuju mba, yg pasti kita harus merubah mental kita dulu ya
Desember 1, 2015 pukul 4:14 pm
yup, meskipun mengubah mental itu bukan kerjaan gampang yaaa…
Desember 1, 2015 pukul 1:48 am
Budaya merusak harus segera ditinggalkan, kalau kayak gini terus rusak dech alam kita. Tapi ku sangat kagum dengan sosok pak Sukadi, beliau luar biasa…
Desember 1, 2015 pukul 4:15 pm
YHA!
November 30, 2015 pukul 10:36 pm
ibuku punya taman bunga, ia selalu mengajarkan bahwa semua mahluk berhak hidup, termasuk bunga. Jadi jangan pernah mengusik bunga apalagi memetiknya untuk kesenangan pribadi atau bermain pasaran. Pandangi saja ia sebagai mahluk hidup, nikmati dari jauh.
Jadi rasanya kita tak berhak merusaknya hanya untuk foto selfie. Soal netizen yang menghujat. Apa sih yang tidak menjadi hujatan di dunia maya? Selebritis mengenakan atasan tali satu, kamisol bisa menjadi hujatan. Presiden salah ekpresi jadi hujatan
Desember 1, 2015 pukul 4:17 pm
Betul, sejauh ini aku pun mengajarkan ke anak-anakku untuk tidak memetik bunga, hanya boleh mengambil bunga yg sudah jatuh ke tanah. Di sekitar rumah kami banyak pohon kamboja, anak-anak senang memungut bunga-bunganya yang berjatuhan…
Wah, soal hujatan presiden RI sih emang kudu siap mental 🙂 😀
November 30, 2015 pukul 8:53 pm
Aku pikir hujatan di sosmed dibaca juga ole para perusak ini. Semoga dengan itu mereka insyaf. Lain kali lebih menjaga sikap kala berwisata dimana pun.
Halnya Pak Sukardi semoga ada sarjana pertanian atau sarjana pertamanan yg mau turun tangan membantu beliau menata kebun lebih baik
Desember 1, 2015 pukul 4:16 pm
Wah itu menarik! Semoga ada expert juga yg tergerak turun tangan membantu yaaa… agree!
November 30, 2015 pukul 8:51 pm
Lagi baca berita ini dari tadi sore. Hmmmm menyedihkan perilakunya demi eksis di sosmed..segala cara dilakukan…
Desember 1, 2015 pukul 5:27 am
Andaikan bunga2 itu bisa ngomong, kira2 ngomong apa ya?
November 30, 2015 pukul 7:01 pm
Aku terharu belom pernah baca komentar bapaknya 😦 jawabannya sungguh menyejukkan hati
Desember 1, 2015 pukul 5:10 am
Nyessss gitu ya di hati?
November 30, 2015 pukul 6:50 pm
wah saya termasuk penggemar bunga nih mbak…
Desember 1, 2015 pukul 5:09 am
Sbg penggemar bunga, sanggupkah menanam dan merawat bunga di lahan 2300 m2? 😉
November 30, 2015 pukul 6:24 pm
Pengen seperti bapak sukadi ini mbak…
punya hati dan jiwa yang luas
Desember 1, 2015 pukul 5:08 am
Yeeeesss… Semoga semakin banyak orang yg seperti dia.
November 30, 2015 pukul 6:23 pm
Campur aduk baca segala post soal taman bunga itu sih. Heran kok begitu banyak anak muda yang bodoh dan egois. Takjub dan salut dengan Pak Sukadi pemilik tamannya bisa se’ikhlas’ itu. Dan mempertanyakan, inikah potret dari kejamakan dan kondisi kebanyakan masyarakat Indonesia?
Desember 1, 2015 pukul 5:07 am
Imho, membaca komentar2 blog ini saja sdh terlihat kalau nggak semua masyarakat Indonesia se-ignorant orang2 yg merusak taman bunga itu. Masalahnya adalah berapa banyak dr total populasi yg peduli dan bersikap baik, serta berapa banyak yg abai?
November 30, 2015 pukul 6:12 pm
Pak Sukadi yang bijak: beliau lebih fokus pada manfaat yang didapat warga desa ketimbang dampak kerusakan yang terjadi.
Jika memang demikian, sebaiknya dibuatkan aturan tertulis di pintu masuk dan beberapa tulisan pengingat di beberapa tempat. Selain sebagai kontrol administratif, juga membuat taman tersebut tampak profesional. Sedikit berlebihan sih, tapi ya daripada daripada.
yang gak kalah penting adalah membuat motif motif spot untuk tamannya, tidak serta merta terhampar seluas tanah yang ada. Selain tampak bagus polanya, juga membuat banyak akses pengunjung ke sana kemari. Itu semua perlu dilakukan karena tipikal pengunjung yang cenderung unik sih.
Desember 1, 2015 pukul 5:04 am
Wah, aku nggak nyangka Zia cukup ahli di bidang pertamanan. Motif-motif spot itu yg kayak gimana Zi?
November 30, 2015 pukul 6:10 pm
:”)
Waw.
Pak Sukadi visioner..
Desember 1, 2015 pukul 5:02 am
Iya, mungkin bbrp tahun ke depan dia bisa nyalon lurah?
November 30, 2015 pukul 6:04 pm
It’s so sad. Aku nggak habis pikir sama yang bisa seenaknya merusak properti orang. Jangankan punya orang, hutan yang tak bertuan itu aja aku nggak berani macem-macem di situ. Ortuku mendidik untuk selalu berusaha menjaga milik bersama dan tidak merugikan orang lain. Kalau kayak gini aku pengen pelajaran Moral atau Budi Pekerti kembali dihidupkan lagi deh.
Tabik buat Pak Sukadi, jiwanya besar sekali.
November 30, 2015 pukul 6:09 pm
Couldn’t agree more Ka, mmg soal budi pekerti ini yg perlu banget ditanamkan dari kecil, di sekolah dan (terutama) di rumah….
November 30, 2015 pukul 5:18 pm
Hmm agak aneh memang kalo di tempat wisata lokal, turis Indonesia seenaknya tapi kalo di luar negeri aduhai tertib nya. Pengalaman terakhir ke Singapur, banyak tuh turis Indonesia yang jalan jalan di Garden by the Bay yg tertib bawa kantong plastik buat sampah, tertib antri.
Bingung juga kok kalo di negara sendiri tidak ada sense of belonging nya. Ada peraturan pun cuek aja di langgar.
Kasus kebun bunga ini aku gemes banget. Pelaku nya tanpa malu dan sungkan pula posting di instagram dengan kalimat “kalo gue injek injek bunganya, masalah buat lo?” Oh my, speechless aku….
November 30, 2015 pukul 5:49 pm
Nah, aku juga mengamati perilaku kayak gitu. Dugaanku, di luar negeri berada di tempat yg tetib, teratur dan bersih, wisatawan Indonesia jadi nggak enak hati mau mengotori (buang sampah sembarangan). Sementara di sini, mereka lihat sampah berserakan mungkin mikir, “Tempatnya emang udah kotor sih, nggak ngaruh gue gimana buang sampahnya, ya sekalian aja…” Kira2 gitu gak?
Desember 1, 2015 pukul 8:42 am
Bisa jadi begitu, bisa jadi juga mereka udah di wanti wanti oleh tour, atau teman, atau saudara akan ketat nya peraturan dan denda, jadi mereka lebih takut.
Sedangkan di negara sendiri kan peraturan itu melempem. Mau dilanggar pun sudah tau ga masalah. Lah kalo di tegur pun, kandang sendiri, biasalah tinggal mencak2.
Kalo aku liat di Indonesia kayaknya harus takut dulu baru bisa patuh 🙂
Desember 1, 2015 pukul 4:21 pm
Oiya, bisa jadi juga karena unsur adanya denda dan penegakan hukum yg jelas ya kalau di luar negeri…
Aku pikir di Indonesia kalau perlu pakai denda untuk menegakkan aturan, ya pakai saja. Asalkan jangan sampai petugasnya bisa disuap yaaa… Ntar dendanya misalnya 500 ribu, eh ngasih salam tempel petugas aja 200 ribu, aman… 😀
Desember 1, 2015 pukul 5:02 pm
Hahaha nah itu mba, susah juga kan. Peraturan dan denda sih kayaknya ada ya tapi pelaksanaannya masih tanda tanya. wah kalo ngomongin peraturan dan penerapannya di Indonesia sih udah kayak ngomongin telur sama ayam mana yg duluan alias ra uwis uwis. Mungkin bukan masalah peraturan atau denda, tapi kesadarannya aja yg ga ada 🙂
Desember 2, 2015 pukul 2:00 pm
Naaaahhh… pertanyaan selanjutnya, gimana cara menumbuhkan kesadaran itu ya?
Desember 2, 2015 pukul 2:07 pm
Iya pe’er banget tuh mba :(. Mesti dari ortu kah? atau sekolah? atau gimana deh…
Udah terang terangan di kecam aja pelaku nya malah nyolot. Cuma elusdada deh liat postingannya di IG
Desember 2, 2015 pukul 4:17 pm
Yg utama dari ortu & keluarga di rumah, sekolah untuk menguatkan. Ya nggak?
Desember 2, 2015 pukul 4:31 pm
Betul ;). Mudah mudahan gak terjadi lagi yang model begini yah
Desember 2, 2015 pukul 4:42 pm
Amiiiin!!!
November 30, 2015 pukul 5:14 pm
jujur sedih bangett sama berita rusaknya kebun bunganya :(( tapi memang sebaiknya sebelum suatu tempat dijadikan lokasi wisata ada persiapan yg matang untuk menghindari hal” yg tidak diinginkan seperti…kasus kebun bunga amarilis itu
November 30, 2015 pukul 5:46 pm
benar, banyak banget yg bisa kita pelajari dari insiden yang bikin trenyuh ini. Menurutmu persiapan apa saja yg diperlukan?
Desember 1, 2015 pukul 1:40 pm
persiapan dari kebunnya sendiri mbak memang sebaiknya dikasih jalan, ada peraturan yang gedeee gak boleh injek – injek bunga, dan mungkin harga tiket masuknya ditambah mungkin yaa hehe
Desember 1, 2015 pukul 4:22 pm
sejauh ini belum ada tiket masuk, hanya sumbangan suka rela. Mungkin perlu ditetapkan aja ya…