Tulisan ini dibuat setelah membaca blogpost kawan saya, Nita, tentang pengalamannya saat menjaga stand pariwisata Indonesia World Tourism Market tanggal 2-5 November 2015 di London. Cerita kapitalisme wisata yang memilukan ini berawal dari obrolan Nita, seorang mahasiswa S2, dengan seorang tamu pengunjung pameran. Begini kutipannya:
“Can you recommend me only five stars hotel or cottages in Bali and Lombok for my clients?”
Nita dengan sigap memberi beberapa rekomendasi, juga bercerita soal destinasi lain di Indonesia yang tak kalah indah dibanding Bali, sambil memastikan bahwa di berbagai tempat itu sudah ada five stars accommodation. Lalu tamu itu bilang lagi,
- Tamu: “Who own these five stars hotel in Indonesia?”
- Nita: “Foreigners…”
- Tamu: “Shit man, your country is being sold by foreigners to foreigners,”
Sedih ya? Saya sih sedih. Sama sedihnya saat melihat sebuah resort mewah di dekat pulau Alor yang dimiliki dan dikelola orang asing tanpa memberi manfaat ekonomi masyarakat lokal. Pasokan bahan makanan serta semua kebutuhan buat resort itu didatangkan dari Kupang (atau Bali dan Surabaya), pekerja-pekerjanya juga dari luar pulau. Para tamu langsung datang ke resort, beraktivitas di sana dan pulang lagi, tanpa mengunjungi ataupun berbelanja di pusat perdagangan warga lokal. Jadi masyarakat setempat beneran nggak kecipratan rejekinya. Dan ini terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Memang para pemilik dan pengelola resort atau hotel bintang lima itu punya modal besar, dan mereka berkomitmen memberikan pelayanan terbaik buat tamunya. Maka mereka lantas mencari bahan makanan terbaik, koki handal dan karyawan terlatih yang mungkin tidak tersedia di daerahnya. Mereka punya alasan kuat untuk mendatangkan semua kebutuhan itu dari luar. Demi menjaga kualitas. Sebab tamu mereka adalah orang-orang berduit yang ringan saja membayar mahal untuk kualitas prima. Jadi ujung-ujungnya kembali ke kekuatan modal, bukan?
Perlu modal besar untuk meraih untung besar. Cuma sayangnya, perputaran uang besar ini tidak turut mensejahterakan warga setempat. Oh, tentu pemilik hotel membayar sewa tanah pada pemerintah setempat. Tapi biasanya ini hanya dinikmati pejabat yang berwenang saat kontraknya deal, lalu selama 30 tahun sesudahnya ya warga kembali hanya menjadi penonton belaka.
Terus, gimana nasib warga lokal yang nggak punya modal?
Mau bertani menanam wortel kualitas impor, tapi bibitnya mahal? Atau gak ngerti caranya?
Relakah kalau warga lokal semakin terpinggirkan? Duh….
Kalau sudah begini, saya sering berandai-andai jadi pejabat daerah, minimal bupati, atau gubernur deh. Biar bisa bikin peraturan yang lebih adil pada masyarakat lokal. Misalnya mewajibkan pengelola resort berbelanja kebutuhan di pasar warga atau membuka jalur hubungan agar warga bisa mensupply kebutuhan resort-resort itu, atau agar tenaga kerja setempat terserap di sana. Tentu warganya juga harus mendapat pelatihan agar misalnya bisa menjadi bartender yang baik, atau misalnya mendapat pelatihan bercocok tanam agar bisa menghasilkan wortel kualitas impor.
Selain itu, saya yakin kalau setiap tempat di nusantara punya potensi pangan dengan bahan-bahan lokal yang bisa ‘dijual’ ke kalangan internasional. Cuma biasanya kuliner lokal ini penampilannya masih kurang menarik. Perlu sentuhan chef masa kini biar platingnya bisa tampak cantik, lalu diberi nama yang eksotik, wiiiih… pasti turis manca negara dengan antusias menyantapnya. Hal ini saya rasakan banget waktu ikut Jelajah Gizi kemarin.
Jadi kalau ngomong pariwisata potensi kita itu buaaaanyaaaak banget yang bisa dijual! Cuma belum mampu mengolah dan mengemasnya biar bisa menarik, lalu jangka panjangnya pelan-pelan akan bisa menggeser kekuatan modal asing di tempat-tempat wisata Indonsia.
Teman-teman ada yang pernah melihat atau mendengar cerita serupa soal kapitalisme wisata? Di mana dan seperti apa kejadiannya?
Januari 26, 2016 pukul 2:58 pm
Aku sering kepikiran hal ini, cuma mau gimana ya. Kadang sebagian dari kita (dan saya sendiri) suka lupa diri. Lebih seneng holiday ke luar negeri dibanding dalam negeri, dan lebih milih investasi di luar negeri pula. Padahal “orang kaya” di Indonesia kan banyak banget!
Januari 27, 2016 pukul 10:57 am
Iya bener, ini juga reminder buat diriku sendiri kalau soal liburan. Eh, kalau soal investasi di luar negeri, maksudnya gimana?
*butuh pencerahan
November 28, 2015 pukul 11:30 pm
Halo Mbak Swastika
Nice writing ttg kapitalisme wisata. Harapannya agar bisa dikenal, tapi ah sudahlah ~
Ohya Mbak, aku mau nanya dong. Singkat aja tapi jawabannya yg CAKEP ya 😀
Kenapa sih Traveler itu harus Writing?
Untuk inspirasi di “rezkyfirmansyah.com ngomongin travelwriter” 😀
November 29, 2015 pukul 11:22 am
Traveler sejati pasti punya banyak cerita untuk dibagikan. Kadang, tanpa kita sangka, cerita itu bisa memantik harapan atau keinginan bagi pembacanya. Jadi traveler perlu menulis, dan memberi ilustrasi dengan foto secukupnya. Leave some room for imagination 🙂
November 23, 2015 pukul 1:47 pm
Izin menyimak saja gan
November 23, 2015 pukul 4:35 pm
Silakan gan…
November 13, 2015 pukul 9:30 pm
kdg memang miris sih mba.. Tapiii di lain pihak, aku juga ngerasa kalo stay di resort org asing, walo sama2 di negri sendiri, tp servicenya memang beda.. kita sebagai tamu bener2 dilayani baik.. aku pernah nginep di salah satu resort di Bali, pemiliknya seharusnya orang Indo sih, tapi pelayan2 di sana yg semua nya orang Indonesia, malah lbh seneng menserve bule. Ngerasa bgt kok kita di duain di sana.. ga sopannya, pas dia lg serve kita, trs ada couple bule masuk ke restorannya, eh, kita malah ditinggal, dan dia serve tuh bule.. Kita pindah jdinya, males aja tinggal di tempat begitu. milih resort yg pemiliknya foreigner, dan ga peduli kita org indonesia, service yg kita dapat sama dgn tamu2 bule lainnya -__-. Sedih ya.. tapi ya itu yg aku rasain.. makanya kalo ke bali, aku lbh suka tinggal di penginapan yg pemiliknya asing
November 16, 2015 pukul 6:04 am
Iya Fanny, aku merasakan hal serupa. Memang banyak tempat yg memberikan servis lebih serius/ramah/sopan ke tamu bule… Sad but true. Aku mengerti sepenuhnya alasan dibalik keputusanmu lebih senang menginap di resort yg dikelola foreigner. Memang banyak banget PR negeri ini kalau mau memajukan parisiwatanya…
November 13, 2015 pukul 11:44 am
Plating nya di percantik makanan lokal makin mendunia yaa mbak, secara wisata di indonesia sendiri banyak yang belom dijamah yaa mbak
November 13, 2015 pukul 6:49 pm
Setuju banget!!! Biar gimana juga kemasan itu penting
November 13, 2015 pukul 8:03 am
sedih kan ya kalau lama lama pemilik rsort yang punya orang-orang asing 😦
November 13, 2015 pukul 6:47 pm
Persoalan ini membuatku galau…
November 13, 2015 pukul 7:51 pm
jangan baper dong kak 🙂
November 12, 2015 pukul 11:54 pm
Di Sumatera Barat, di pulau kawasan madeh, juga dikuasai oleh asing. Sempat beredar video di youtub, orang lokal mau foto2 spot disana malah diusir sama bule yang memonopoli pulau sana..mirissssss
November 13, 2015 pukul 6:47 pm
Oya? Aku sempat dengar kasus serupa di Sumbar tapi kayaknya di Cubadak gitu? Cmiiw
November 14, 2015 pukul 6:58 am
iya maksdunya cubadaakk.. sory kepelet heheheeheh
November 16, 2015 pukul 5:42 am
hahahaha… kepelet sama siapaaa…
November 16, 2015 pukul 10:02 am
tadi pas ngetik nggak lihat ada kulit pisang.. hehe.. eh kak nohara jagan lupa follback ya 😀
November 16, 2015 pukul 1:25 pm
hahaha… siap…
November 11, 2015 pukul 3:55 pm
Oooo banyak banget… ditempat kita sendiri juga ada banyak.
November 11, 2015 pukul 5:39 pm
Ada contoh yg mau diceritain?
November 11, 2015 pukul 8:42 am
Cerita klasik yg kyanya blom akan tutup buku ya? 😓 tp sampe sekarang saya ga ngerti deh klo ada orang asing yg bisa beli pulau, punya property aja mereka ga boleh kok ya bisa beli pulau…
November 11, 2015 pukul 11:08 am
Tutup buku? Masih lamaaaa… Di satu dua kasus yg saya dengar, WNA menikah dengan WNI dan pembeliannya atas nama pasangannya. Nah WNA tsb memanfaatkan networkingnya utk mempromosikan resort/pulaunya itu, dan mmg dia yg hands-on pada pengelolaannya. Mungkin ada kisah2 lain?
November 11, 2015 pukul 1:27 pm
Klo ini ada kejadian sama temenku sendiri mba, begitu pinjaman dan pembangunan resort yg tentunya pake nama temanku itu dimulai, wna-nya selingkuh dan ngusir temenku. Entah gmana tuh nasib segala mcm si resort itu…
November 11, 2015 pukul 5:39 pm
YAAAAAHHHH…. Sad 😦 Terus gimana kabar temanmu? Semoga dia sdh move on dan skrg baik2 saja, dan bahagia… Btw nama resortnya apa? Aku jadi pengin cek cek kabar resortnya gimana…
November 11, 2015 pukul 7:32 pm
Dia msh mencari kyanya tp aku udah lama ga denger dia cerita, smoga aja dia baik2 aja.
Aku lupa nama resortnya, tp lokasinya di pantai ujung genteng.
November 11, 2015 pukul 7:59 pm
Semoga dia baik2 aja, amin!!! Hmm.. jadi pengin googling ada resort apa aja di Ujung Genteng… 😀
November 11, 2015 pukul 8:00 pm
Bhahahhahaa dtunggu hasil googling-nya 😋 *mukarumpi
November 12, 2015 pukul 8:33 am
Waaaaah saya kurang beruntuuung! Lieur euy banyak bener resort sekitar ujung genteng walaupun hasil searchnya sampe pangandaran segala 😀 😀 Gak bakat jadi detektip dah!
November 12, 2015 pukul 8:37 am
😅😅😅
November 10, 2015 pukul 10:32 pm
Di Sumba juga denger cerita kayak gini. Karena tanah deket pantai sama murah, banyak dibeli sama orang asing yang nantinya bakal dibangun semacam hotel gitu.
November 11, 2015 pukul 11:04 am
Iya, udah dibeli dari sekarang, dibangunnya nanti pas daerah itu sudah semakin dikenal. Chika minat beli tanah juga?
November 12, 2015 pukul 6:53 pm
Pengen sih… *ngitung receh*
November 13, 2015 pukul 6:46 pm
Recehan berlian…
November 10, 2015 pukul 9:57 pm
setelah resort, pulau-pulau juga dibeli asing. Beberapa pulau di raja ampat (yang saya lupa namanya) kata temen udah dibeli bule aussie kalo nggak salah. Pernah ngecek pas ke raja ampat nggak mbak?
November 11, 2015 pukul 11:04 am
Sempat membahas ini juga pas ke R4, tapi menurut org lokal yang aku ajak ngobrol, disewakan. Entahlah sebenernya gimana. Perlu investigasi?
November 10, 2015 pukul 6:54 pm
Banyak lokasi memang iya sih, kapitalisme mengalahkan semuanya, tapi di beberapa tempat seperti la petite di pulau kepa Alor yang di kelola pasangan bule, cedric sang pemilik resort dan dive center memperkerjakan warga lokal, kepala cheefnya seorang mama tua yg sudah awal resort berdiri ikut dia, dive guidenya juga warga Alor. Toko kecil cindera mata tenun juga majang hasil tenunan warga sekitar, welcome drinknya juga minuman lokal, jagung titi campur klapa muda nan lezat. Misool Eco resort di Raja Ampat juga juga sama..semua pekerjanya diambil dari warga desa-desa sekitar. Tapi memang masih banyak sih yg seperti kak Tika ceritakan di atas. Semoga suatu saat kesampean jadi gubernur NTT ya kak trus undang guweh gratis kesana ha ha.
November 10, 2015 pukul 7:13 pm
Wadu… berapa tahun lagi klo awak harus jadi Gubernur NTT :)) Gimana kalau kita kenalan sama existing gubernur dan pejabat teras lainnya dan kita buju-buju mereka agar lebih memperhatikan soal ini?
November 10, 2015 pukul 6:19 pm
Duh..miris. Tampilan luar negeri memang selalu menggoda, jadinya nilai2 lokal kita memudar.
November 10, 2015 pukul 7:11 pm
Yup, selain tampilan, memang esensinya kualitas layanan yg diberikan resort mewah international chain itu bagus…
November 10, 2015 pukul 3:54 pm
Iya ya mbak. Sedih juga. Tapi kalau dikelola pemerintah atau warga lokal biasanya tempat yg menarik jadi biasa biasa aja gitu deh
November 10, 2015 pukul 4:00 pm
Mungkin kalau warga lokalnya sudah pernah disekolahkan atau di training ke LN sehingga punya selera dan standar internasional, gimana?
November 10, 2015 pukul 3:25 pm
Saya kurang jalan-jalan sih. Tapi paham banget ama isi tulisan ini. Apa yang bisa saya bantu ya untuk kondisi ini. *resah
November 10, 2015 pukul 3:59 pm
Sebenernya bisa bantuin Dan, caranya:
1. Ikut pilkada nyalon jd bupati atau gubernur di lokasi yg destinasinya bagus, atau…
2. kumpulin (pemilik) modal buat bikin resort mewah yg nasionalis dan mengedepankan kemajuan ekonomi lokal.
pilih mana?
November 10, 2015 pukul 4:01 pm
Yang kedua bisa dicoba meskipun pesimis bisa.
November 10, 2015 pukul 4:03 pm
Amin!!!
November 10, 2015 pukul 3:05 pm
Yang paling aku ingat sih tentang Pulau Cubadak di Padang yang pernah bikin heboh dan viral beberapa waktu lalu. Ketika bule pengelola pulau mengusir orang-orang yang datang ke pulau itu bahkan cuma buat mendokumentasikannya.
katanya jangankan penduduk lokal, orang pemerintah daerah aja ikut diusir-usirin.
bekin geram sih, tapi ini pasti ada salah di regulasi kita juga kan. Musti dibenerin sih ini. Vote kak tika jadi Menteri Pariwisata!
November 10, 2015 pukul 4:01 pm
Waduuuh… berat benar beban menteri pariwisata negeri kita 🙂 Eh, btw yg ngurus soal jual-beli atau sewa tanah yg tadinya milik negara/pemda ke warga asing itu kementrian apa sih?
November 10, 2015 pukul 4:08 pm
gak tau juga deh, harusnya ada andil Kemetrian agraria dan tata ruang gitu ya?
November 10, 2015 pukul 7:11 pm
yup.. seharusnya gitu ya…
November 10, 2015 pukul 6:58 pm
Kalau cubadak itu kayaknya blowup ke medianya yg terlalu lebay deh. Jadi critanya itu ada rombongan yang dateng ke resort tersebut tanpa ijin ato permisi dulu. Trus asik aja motoin tamu dan bule disana tanpa ijin. Malah ada yg bawa model segala untuk pemotretan. Siapapun dia kalau rumahnya dimasukin orang trus di acak2 juga akan ngamuk sih. Jaman sekarang harus pinter2 sih menerima berita, jangan secuil2 kayaknya.
November 10, 2015 pukul 7:15 pm
Waaah… beberapa tempat memang matok tarif bila ada pengunjung datang utk foto2, semacam privatisasi pantai (atau area lain) jadinya…
November 10, 2015 pukul 2:57 pm
nah, yang kayak gini bikin geregetan dan sedih. duh…
November 10, 2015 pukul 3:57 pm
Masa kita perlu nyalon jadi Gubernur dulu biar bisa memberi sumbangsih? Mestinya ada cara lain ya Nyah?