Ada dua film tentang sosok pria jenius yang masuk dalam deretan bergengsi nominasi Oscar 2015. Keduanya, tentu, diangkat dari kisah nyata. The Imitation Game dan The Theory Of Everything. Apakah kamu sudah menonton keduanya?
The Imitation Game mengisahkan penggalan hidup Alan Turing, pencipta mesin yang menjadi cikal bakal komputer yang kita pakai sekarang, termasuk yang saya pakai mengetik artikel ini. Film ini mengambil setting Perang Dunia ke-2 saat Turing diminta oleh tentara Kerajaan Inggris untuk masuk dalam tim yang bertugas memecahkan sandi yang dikirim tentara Jerman. Jika tim ini bisa memecahkan ratusan sandi setiap hari yang disadap melalui radio, dipastikan Inggris akan menang perang, karena mengetahui rencana pergerakan pasukan Jerman. Turing yang eksentrik bersikeras membangun sebuah mesin mahal pemecah sandi, meskipun diprotes keras oleh teman-teman dalam timnya yang sibuk memecahkan sandi dengan cara tradisional. Lika-liku hidup Turing ini yang dikemas sangat apik dalam film Imitation Game.
Kisah hidup Alan Turing sendiri terkesan gelap dan pahit, dia (dan karyanya) tidak diakui pemerintah Inggris sampai 50 tahun setelah Perang Dunia ke-2 selesai. Kehidupan pribadinya kesepian, penuh hujatan dan rasa takut karena dia homoseksual, serta paksaan menjalani terapi hormonal untuk ‘mengobati’ homoseksualitasnya. Ingat, ini terjadi di Inggris tahun 1960-an, suatu masa ketika homoseksualitas masih sangat ditabukan. Film ini fokus pada kisah penciptaan mesin Turing dan rencana perkawinannya dengan seorang perempuan yang diperankan dengan sangat baik oleh Keira Knightley. Alan Turing sendiri diperankan dengan luar biasa bagusnya oleh Benedict Cumberbatch. Film ini sedang diputar di bioskop Jabodetabek sekarang, buruan kalau mau nonton.
The Theory Of Everything mengisahkan penggalan hidup Stephen Hawking, seorang fisikawan Inggris yang sangat ternama berkat teorinya tentang black hole serta alam semesta. Kontras dengan Turing, Hawking dikenal luas, dihormati dan karyanya yang dibukukan dengan judul The Brief History Of Time (1988) menjadi mega bestseller, dicetak ulang berkali-kali hingga kini, laku hingga 10 juta copy lebih dan diterjemahkan ke 30 lebih bahasa asing. Saking kuatnya sosok Hawking dan pemikirannya, istrinya, Jane, sampai sering mengingatkan that he’s not God. Ada atau tidaknya Tuhan sebagai pengatur alam semesta, memang menjadi salah satu perdebatan dalam pernikahan mereka.
Film ini memang tidak terlalu menyoroti proses kerja ilmiah Hawking, tapi lebih pada hubungannya dengan Jane, keluarga mereka dan bagaimana mereka berjuang melawan penyakit yang menggerogoti seluruh tubuh Hawking kecuali otaknya. Jane yang penganut agama Kristen, dan tergabung dalam Church of England, memahami sepenuhnya pemikiran suaminya bahwa alam semesta dan seisinya dapat dijelaskan secara ilmiah, tanpa perlu campur tangan Sang Pencipta, tapi Jane menolak untuk menerima pemikiran ini. Film ini menggambarkan sisi personal Hawking sejak masih muda di kampusnya di Cambridge, pertemuannya dengan Jane hingga jatuh bangun (dalam arti harfiah) mereka membina keluarga. Sebuah film yang indah meski cerita berjalan tanpa kejutan apapun, terutama bagi yang sudah familiar dengan kisah Stephen Hawking.
Hal paling mempesona dalam film ini adalah akting Eddie Redmayne yang memerankan sosok Hawking dengan sangat brillian. Mulai dari cara bicaranya, berjalannya dengan kaki yang bengkok, gerakan tangannya yang mletot, sampai raut wajah dan binar matanya ketika Hawking sudah sama sekali tak bisa bergerak, dan hanya bisa berkomunikasi dengan mengedipkan mata. Film ini adalah sebuah tribute sangat indah bagi seorang fisikawan cemerlang yang masih terus berkarya hingga kini, di usianya yang sudah 73 tahun, di tengah keterbatasan fisiknya yang lumpuh dan tak bisa bicara karena penyakit sejak dia masih muda.
The Imitation Game dan The Theory Of Everything sama-sama masuk nominasi film terbaik dalam Oscar 2015 tapi saya pesimis keduanya menang, mengingat ada Birdman, Boyhood dan The Grand Budapest Hotel yang jauh lebih berpeluang. Tapi kategori aktor terbaik sangat mungkin jatuh ke pemeran utamanya. Baik Cumberbatch maupun Redmayne sama-sama mendapat nominasi sebagai aktor pria terbaik dalam Oscar 2015, dan dalam Golden Globe 2015 yang dimenangkan oleh Redmayne. Saya pribadi berharap Cumberbatch mengungguli Redmayne dalam Oscar yang akan diumumkan 22 Februari nanti. Cumberbatch sangat sukses menampilkan kegalauan Alan Turing ketika harus menyimpan rahasia soal homoseksualitasnya, serta secara subtil dan meyakinkan menampilkan bahasa tubuh yang arogan namun kikuk ketika harus bergaul dengan rekan sekerjanya.
Singkatnya, Redmayne bersinar sendirian dalam film yang indah tapi ceritanya biasa saja dan minim konflik, sementara Cumberbatch bersinar bersama lawan mainnya dalam film yang ceritanya kuat dan menguras emosi. Kata seorang aktor kawakan, aktor yang baik tidak hanya mampu berakting dengan bagus tapi juga mengangkat lawan mainnya untuk bermain bagus. Hal ini dengan catatan dewan juri Oscar yang sangat American minded rela memberikan piala pada aktor Inggris (Cumberbatch dan Redmayne sama-sama lahir dan besar di London), sementara ada Michael Keaton (dalam film Birdman) seorang aktor Amerika yang saya tidak ingat main film apa lagi setelah Batman tahun 1995. Keaton akan menjadi pesaing terberat mereka untuk kategori aktor terbaik.
Oh, sekilas info saja, Cumberbatch pernah memerankan tokoh Stephen Hawking dalam sebuah film televisi di Inggris tahun 2004, dan dinominasikan dalam BAFTA award sebagai aktor terbaik untuk peran ini. Sayangnya karena keterbatasan akses, saya sangat ingin tapi belum bisa nonton film berjudul Hawking yang diperankan Cumberbatch tersebut. Fakta menarik lain adalah Cumberbatch dan Redmayne pernah main film bareng di The Other Boleyn Girl (2008), ketika mereka berdua belum ngetop banget. Oya, ketika saya nonton The Imitation Game di bioskop Cinere Bellevue kemarin, saya duduk dengan sederet anak-anak cowok berseragam SMP, dan mereka sibuk bisik-bisik, “Buset komputer jaman dulu gede amat!” lalu membahas betapa boringnya komputer jaman dulu yang nggak bisa dipakai main games itu. Huahahaha…
Ping-balik: Perjalanan Lebih Seru Pakai Snapdragon | About life on and off screen
Februari 24, 2015 pukul 4:33 pm
Belom nonton, Mbaaak.. Lha denger judulnya aja baru dari sini. Ihik!
Februari 1, 2015 pukul 10:33 pm
Imitation of game waktu itu jd surprise movie d jiffest, so excited liat om Ben hahaha.
Tp baca review Theory of everything sptnya bagus jg. But still Ben for the Oscar!
Februari 2, 2015 pukul 8:43 am
Personally aku setuju, Ben for the Oscar, tapi kalau realistis sptnya Michael Keaton lbh berpeluang 😦
Januari 26, 2015 pukul 1:31 pm
Aku hrs bujuk si hubby utk nonton film ini kayaknya :D… Tx Reviewnya mba..
jenius tapi aneh yg ga enak ;p.. kalo jenius tp mukanya juga cakep gila, pasti deh ga dianggab aneh lagi 😀
Januari 26, 2015 pukul 8:00 pm
Huahaha… Kalo jenius ganteng sih pasti banyak fansnya 😀
Februari 1, 2015 pukul 6:58 am
Btw Fan, aku klik namamu utk liat blogmu, kok broken link?
Januari 26, 2015 pukul 9:39 am
Iya bener karena jd pusat perhatian
Januari 26, 2015 pukul 10:32 am
Pusat perhatian dan sering kali disertai tatapan heran? 😀
Januari 26, 2015 pukul 10:42 pm
hahha alien dong
Januari 27, 2015 pukul 9:25 am
I do believe aliens exist 😉
Januari 25, 2015 pukul 6:48 pm
Postingan yang bikin ngga sabar pingin nonton Imitation Game. Hawking memang bagus, aktingnya itu loh. Btw, untuk kenikmatan selanjutnya kak sabai bisa baca ini: http://time.com/3596955/the-price-of-genius/
Januari 26, 2015 pukul 10:29 am
Udh klik, cuma baca paragraf pertama krn untuk melanjutkan kita harus subscribe Time dan bayar 1.1 juta utk 54 edisi. Ogah lah ya… hahaha..
Januari 25, 2015 pukul 1:11 pm
ah filmnya sudah masuk XXI batam , besok tonton jadi menu nomat
Januari 26, 2015 pukul 10:31 am
Sip! Kalau udh ntn ceritain ya kesanmu gimana?
Januari 25, 2015 pukul 11:55 am
Teori ttg alam semesta emg banyak kan mbal, salah satunya Big Bang jg.
Kyanya dua2 film ini science banget ya, pengen nonton! 😀 anak IT soalnya hehe, dab demen fisika jg
Januari 25, 2015 pukul 12:32 pm
wah semua penyuka fisika wajib nonton dua film ini. Jangan ngaku anak IT kalo gak nonton The Imitation Game! Kata temanku yg anak IT dia jadi inget mesin Turing yg diajarkan pas kuliah. Sementara aku gak mudeng itu mesinnya kenapa rodanya banyak banget muter semua 😀 😀
Januari 25, 2015 pukul 3:16 pm
Becyuuull~ 😉 sm kya nonton Interstellar kmrn, aku heboh2 keasyikan krn ngerasa nyambung tp temenku yg anak Social agak risih sm bawelku huahaha :p
Januari 26, 2015 pukul 10:31 am
Hahaha… Interstellar banyak org yg gak suka krn penjelasan2 ilmiahnya dianggap membosankan dan bikin filmnya jadi lama. Aku sih menikmati banget meskipun kuakui itu bukan karya Nolan yg paling dasyat. Kalau kamu udh ntn Imitation Game, ceritain ya kesanmu?
Januari 26, 2015 pukul 12:07 pm
Sip mbak~ nanti kalo uda nonton ku-review disini yah 😀
Januari 25, 2015 pukul 7:02 am
Aahh.. Aku belum nonton dua film ini.. *ngecek jadwal XXI deket rumah*
Januari 25, 2015 pukul 9:52 am
the imitation game udh ada, theory of everything blm sptnya
Januari 24, 2015 pukul 8:53 pm
Mesinnya Alan Turing kita pelajari di kuliah 🙂
Januari 25, 2015 pukul 9:53 am
SERIUS??? Wow… Jadi kamu udh sangat memahami cara kerjanya? Aku pusing liat roda2 di mesin itu berputar, apaan sih itu?
Januari 25, 2015 pukul 1:20 pm
KayaknyA mahasiswa yang belajar computer science pasti ada kuliahnya. dulu belajar buat memahami state kerja komputer.
Januari 26, 2015 pukul 10:33 am
Hmm… jd film Imitation Game ini highly recommended buatmu 😊
Januari 26, 2015 pukul 9:43 pm
baik..segera masuk watchlist nya IMDB 🙂
Januari 27, 2015 pukul 11:12 am
hehehe… selamat menonton! Jadi pengin tau komennya yg udah belajar mesin Turing pas kuliah 😀
Januari 24, 2015 pukul 5:54 pm
Noted Un, 🙂 thanks infonya
Januari 24, 2015 pukul 6:17 pm
Siiip! Semoga berguna 🙂
Januari 24, 2015 pukul 11:00 pm
Siip
Januari 25, 2015 pukul 9:53 am
🙂
Januari 24, 2015 pukul 4:15 pm
Aku terpaku dengan kata2 ABG itu Mba Tika, hahaha..
Januari 24, 2015 pukul 6:18 pm
Hahaha… seandainya kamu di situ, apa responmu?
Januari 24, 2015 pukul 6:21 pm
Diem aja sambil senyum2 hehe. Btw Mba, banyak yang komen film Hawking kurang Hawking. Mereka berharap sisi ilmunya yang lebih banyak digali hehe…
Januari 25, 2015 pukul 9:58 am
Nah soal ini aku terpaksa setuju. Pembuat film secara sadar memilih fokus pada kisah hubungan Hawking dgn Jane dan ini adalah pilihan yg sah. Tapi sayangnya, pilihan ini pun kurang digarap total, banyak sisi gelap yg tidak mereka angkat ke film, kan sayang ya?
Januari 25, 2015 pukul 12:22 pm
Iya, jadi anti klimaks untuk para pecinta Stephen Hawking
Januari 25, 2015 pukul 12:32 pm
Kira-kira gitu deh. Apalagi klo udh pernah baca ttg kisah hidupnya Hawking ya, sepertinya gak ada insight baru dr film ini sih
Januari 24, 2015 pukul 4:12 pm
Lama nggak ke XXI, yaampun ketinggalan banyak film bagus 😦
Abisnya di Bandung kurang update, beda sama jakarta. Huhuuu
Seru bgt kak reviewnya, jadi penasaran 😀
Januari 24, 2015 pukul 6:18 pm
Selamat nonton! Mau yg mana duluan?