Teman-teman yang aktif di social media dan suka nonton siaran berita pasti sudah mendengar peristiwa penembakan brutal yang menewaskan setidaknya 130 anak di sebuah sekolah di Peshawar, Pakistan oleh kelompok ekstrimis di sana. Padahal,belum reda gelombang pemberitaan dari peristiwa #Sydneysiege sehari sebelumnya, yang lalu berlanjut dengan #illridewithyou di kota Sydney. Seorang pria bersenjata menodongkan pistol dan menyandera belasan orang pengunjung di Lindt cafe, lalu pria itu menyuruh salah satu sanderanya memasang bendera hitam dengan tulisan syahadat di jendela kaca cafe. Cafe ini terletak di pusat perkantoran ramai di Sydney, sehingga peristiwa tersebut segera saja menarik perhatian jurnalis dan ramai dibahas di social media, terutama twitter.
Dalam hitungan jam sudah ada ratusan tweet dengan hash tag #sydneysiege yang isinya seputar kejadian tersebut, menyuarakan simpati terhadap para korban, atau (yang ini parah banget) foto selfie di depan cafe lokasi penyanderaan. Kemudian bermunculanlah beritanya di berbagai situs online, diikuti ribuan tweet pada jam-jam berikutnya berisi link berita dan apa saja yang dilakukan polisi di TKP. Sejak awal membaca berita ini saya langsung tergerak mencari tahu lebih banyak, dan beberapa kali memantau hash tag tersebut.
Tapi saya menahan diri untuk tidak ngetwit tentang peristiwa ini maupun ngetwit link berita yang memuat updatenya. Saya hanya ngetwit turut bersimpati buat para sandera, karena memang nggak kebayang bagaimana rasanya tersandera di dalam cafe sejak pagi sampai malam. Tapi tidak sekalipun saya ngetwit tentang sudah sampai dimana perjuangan polisi membebaskan sandera, link beritanya apa lagi foto dari lokasi kejadian meskipun hal ini sangat menarik. Hal yang sama saya lakukan ketika mengikuti perkembangan peristiwa penembakan siswa-siswa sekolah di Peshawar. Kenapa?
Karena saya tidak ingin memberi panggung pada pelakunya. Saya merasa, dengan kita tweeting atau meretweet peristiwa tersebut, itu artinya kita memberi perhatian pada pelakunya, meskipun tweet kita berisi kecaman atau kutukan. Dan justru perhatian khalayak ramai inilah yang dikejar pelakunya, terutama pada kasus di Sydney dimana pelakunya memilih cafe dengan jendela kaca lebar yang lokasinya di seberang sebuah kantor pemberitaan. Saya membayangkan, seandainya di luar sana ada orang-orang lunatic atau kelompok ekstrimis dari kalangan manapun yang membaca liputan media, nonton TV dan memantau sosial media, lalu jadi terinspirasi melakukan tindakan serupa demi memperoleh perhatian dunia… Wah…
Ingatan saya jadi melayang ke peristiwa beberapa tahun silam, saat saya masih jadi reporter dan stringer buat media asing yang mau liputan di Indonesia. Ketika itu Amrozi, salah satu pelaku bom Bali, dieksekusi, ditembak di Nusa Kambangan lalu jenazahnya dibawa ke kampung halamannya di Tenggulun, Jawa Timur untuk dimakamkan. Saya meliput di Tenggulun sejak 2 hari sebelum jenazah datang, dan menyaksikan langsung bagaimana massa datang secara bergelombang terus menerus dari berbagai kota yang jauh di Pulau Jawa sampai benar-benar menutupi seluruh jalan di desa itu Mereka berkumpul untuk memberi simpati dan dukungan pada apa yang dilakukan Amrozi.
Saat saya wawancara, apa yang membuat mereka tergerak datang jauh-jauh ke Tenggulun, mereka bilang karena lihat beritanya di TV dan ingin menjadi bagian dari peristiwa tersebut. Memang rangkaian peristiwa itu disiarkan terus-menerus beberapa hari sebelum hari eksekusinya oleh berbagai TV swasta, baik sebagai bagian dari program berita maupun breaking news. Nah, mereka jadi tergerak karena siaran TV, dan ketika itu saya langsung merasa bersalah menjadi bagian dari mata rantai pemberitaan yang terus-menerus tentang terorisme di televisi. Kini di jaman social media begitu cepat menyebarkan informasi (yang kadang belum dicross check akurasinya), apakah tidak sebaiknya kita berpikir dua kali sebelum mengklik tombol retweet?
Oktober 3, 2020 pukul 3:50 pm
Jadi ngeri juga. Bukan hanya di Twitter tapi semua. Lebih bijak benar-benar tepat sebelum bertindak ya?
Oktober 5, 2020 pukul 4:45 pm
benar sekali kawan!
Juni 9, 2015 pukul 2:02 pm
Aku males ngasih panggung ke merema..
kalau timeline lg penuh dgn saling menyalahkan atau membully, biasanya tak tutup lg twitter nya.
susah sih mgkn sifat dasar manusia suka bergunjing, tinggal kitanya mau ngerem apa engga.
Juni 10, 2015 pukul 8:33 am
Nah, soal memberi ‘panggung’ ini mmg sering jadi pertimbangan utama yg bikin menahan diri nggak meRT 🙂
Mei 5, 2015 pukul 7:44 am
itulah kenapa kita harus mengecek kebenaran suatu berita seblumnya membagi ke khlayak kak… begitu juga di ranah twitter.
nice share
Mei 5, 2015 pukul 10:05 am
Glad you like it. Sayangnya masih banyak org yang lupa mengecek
Mei 5, 2015 pukul 10:07 am
Bener mbk. Bnyak bnget malahan 😦
Mei 5, 2015 pukul 10:16 am
Aku sering gemes dan menyebutnya pengguna smartphone yg nggak smart 😐
Januari 18, 2015 pukul 7:29 am
Nah ini sepakat! “Kini di jaman social media begitu cepat menyebarkan informasi (yang kadang belum dicross check akurasinya), apakah tidak sebaiknya kita berpikir dua kali sebelum mengklik tombol retweet?”
Januari 19, 2015 pukul 9:54 pm
lha yes!!!
Januari 3, 2015 pukul 7:32 pm
Untuk gak komen (ngetweet) emang susah ya kak.. Tapi emang harus diputusi mata rantai itu. Mulai deh dari diri kita sendiri..
Januari 3, 2015 pukul 9:46 pm
nah!!! that’s exactly my point 🙂
Desember 28, 2014 pukul 1:10 pm
Ah ini bener banget. Kadang sengaja nahan diri gak ikut sebar berita semacam itu supaya pelaku gak diberi panggung. Dulu kalau gak ikutan ngeRT berita semacam itu, ada aja yg nyinyir bilang gak peduli. Sekarang udah tahap cuek. Gak mau ngasih berita yg belum jelas sumbernya dan gak mau ngasih ide untuk hal-hal semacam itu.
Desember 29, 2014 pukul 8:26 pm
Yang nyinyir mah nggak usah dipikirin… nanti pucing pala barbie! 😀
Desember 28, 2014 pukul 11:42 am
Hehe sekarang ini aku juga kalo reply and retweet sebuah info mikir2 dahulu dan lebih hati2,,
Nice artikel mba tika 🙂
Desember 29, 2014 pukul 8:25 pm
Thank you 🙂
Desember 26, 2014 pukul 9:28 am
di jaman yang reaktif seperti ini memang susah ya untuk menahan jari. Sedikit sekali yang mau pelan-pelan cek dulu ada apa dengan berita yang didapatnya.
Desember 28, 2014 pukul 12:19 am
Agree! memang lebih cepat dan nikmat kalau langsung hajar tombol RT 🙂
Desember 23, 2014 pukul 6:48 pm
Ini pengingat lagi untuk gak sembarangan Retweet dan Tweet.. Memang di dunia yang semakin terhubung oleh segala hal berbau digital, everyone is a media. Terima kasih untuk sudah sharing ini kak Tika!
Desember 23, 2014 pukul 8:59 pm
My pleasure Nat. Yes indeed, everyone is a media, eh, medium. 🙂
Desember 20, 2014 pukul 4:49 pm
makasih infonya kak….. semoga sukses…
Desember 20, 2014 pukul 6:06 pm
Amiiin… makasih ya
Desember 19, 2014 pukul 3:14 pm
Gw sangat meminimalisir informasi yang mengalir deras gak tentu arah sekarang, caranya? Gak punya twitter, jarang buka FB, gak pake Path. Berita pun sekarang seringnya bikin hati keruh gak keruan, rasanya susah emang melihat segala masalah secara jernih dengan derasnya arus informasi kayak gini. Dan ya, gw hampir gak pernah membagikan berita yang gw gak yakin manfaat atau malah kebenarannya, kasian nanti dunia makin keruh.
Desember 19, 2014 pukul 8:50 pm
Wih mantep juga mbak bisa bertahan tanpa twitter, FB, dan Path tapi tetep ngeblog! Ini blogger sejati!
Desember 18, 2014 pukul 7:03 pm
Setuju, Mbak Tika. Terima kasih untuk perspektifnya mengenai ini. 🙂
Btw, selain kejadian macam ini (yang memang nyata), banyak juga berita hoax atau berita yg masih simpang siur yang perlu hati-hati sekali menanggapi dan membagikannya di media sosial.
Desember 19, 2014 pukul 12:29 am
Nah lo! Komentarmu mengingatkan pada ramainya pemberitaan & sharing di sosmed soal Meneg BUMN yg katanya melarang PNS departemennya pakai jilbab… Padahal yg sesungguhnya terjadi… ah sudahlah…
Desember 20, 2014 pukul 6:00 pm
Iyaa..temanku yang kerja di sana kasih klarifikasi di FB-nya. Sedih deh lihat orang2 share berita tanpa kroscek sana-sini..mana suka langsung mencaci maki pula. Semoga ini menjadi pengingat buat kita sendiri juga. 🙂
Desember 20, 2014 pukul 6:06 pm
SETUJU! 🙂
Desember 18, 2014 pukul 5:23 pm
waw..sy ga kepikiran ke arah sana..ttg reaksi pelaku saat kita nge retweet..nice post
Desember 18, 2014 pukul 5:43 pm
Terima kasih 🙂
Desember 18, 2014 pukul 4:54 pm
Makasih banyak ya Tik diingetin lagi. Dulu pernah baca concern orang tentang hal-hal begini dan jadi bikinbgw selalu kepikiran setiap mau ngetweet ato retweet. Meskipun follower dikit tapi gatahu siapa yang ngeretweet dan siapa lagi yang baca tweet an kita ya. Sekali lagi makasih. 🙂
Desember 18, 2014 pukul 5:44 pm
Sama2 Dan. Imho follower bukan cuma soal jumlah tapi juga kualitasnya dan seberapa deket/berpengaruh pd mereka 😊
Desember 18, 2014 pukul 7:24 pm
Setujuuuuu!! 🙂
Desember 18, 2014 pukul 7:24 pm
Setujuuuuu pake bangeetttt!! 🙂
Desember 19, 2014 pukul 12:27 am
Setuju pakai banget itu semacam spesial pakai telor ya? 😂😁
Desember 18, 2014 pukul 1:14 pm
Setuju, emang sekarang informasi tuh udah kayak air bah, buanyak banget. Mesti kita pinter pinter milah nya. Aku sendiri kadang masih suka posting link berita di wall FB aku, tapi udah jarang banget. Males juga kalo ngasih informasi yang salah
Desember 18, 2014 pukul 1:23 pm
Nah! Kalau di twitter gmn? *tossamaMaya
Desember 18, 2014 pukul 11:25 am
Couldn’t agree more mba tika…
Too easy for us now for spreading the news yang belum tentu kebenarannya dan menjadikan inspirasi buat orang lain to do the same with cruel intention. Musti ditahan2 ini jemari dan disaring dengan benar berita2nya…
Desember 18, 2014 pukul 12:20 pm
Demi menahan jari, jarinya diikat karet aja gmn? Hehehe… semoga makin banyak yg sepikiran ama Joey 🙂
Desember 18, 2014 pukul 10:46 am
Aku setuju banget mba, makanya juga gak terlalu sering kasih kabar ini itu. Takut salah apalagi aku males cek ricek dulu 😦
thank you mba Tika, udah diingetin
Desember 18, 2014 pukul 12:19 pm
My pleasure Noni. Jadi kapan kita ngetrip bareng? *lhaaaa… *teteup
Desember 18, 2014 pukul 12:20 pm
Mba ke Myanmar mau gak? aku lagi nyari temen jalan nih haha. Atau kemana gitu? WA-WA’an yuk 🙂
Desember 18, 2014 pukul 12:31 pm
Wah kapan?? WA aku di 0812–8000–00–00
Desember 18, 2014 pukul 12:33 pm
Udah aku keep no- hpnya mba. Kalau mau didelete no hapenya, gpp 🙂 entar aku wa hehe
Desember 18, 2014 pukul 12:35 pm
Oiyaaaa…. hahaha… bahaya yes nulis no HP di public space kayak gini! *tepokjidat
Desember 18, 2014 pukul 1:06 pm
Terlalu semangat haha
Desember 18, 2014 pukul 10:38 am
Aku setuju, Kak. Soalnya di jaman sekarang, masyarakat medsos lebih dulu meng-RT sebuah berita tanpa cek dan ricek dulu. Ya memang tidak semua masyarakat medsos punya akses untuk ricek kepada narsum tapi menurutku, alangkah lebih baik kalau menahan diri sebelum benar-benar keluar penjelasan yang pastinya. Tentang masyarakat yang datang ke lokasi kejadian untuk tahu langsung sebuah berita…well, ini aku masih sering heran sih. Contoh: ada banjir. Disiarkan di tv. Masyarakat berbondong-bondong datang ke lokasi banjir hanya untuk tahu, “Oh, ada banjir beneran”. *nelangsa*
Desember 18, 2014 pukul 12:18 pm
Banjir, lokasi kecelakaan, TKP kriminal sering kedatangan warga yg ingin nonton doang. Waktu aku liputan kasusnya Sumanto, byuuuuh…. ramenya kayak Ragunan pas Lebaran!!! Pdhl ya gak ada apa2, cuma rumah kosong krn penghuninya udh dibawa ke polres! Ngapain coba?
Desember 18, 2014 pukul 10:06 am
Setuju banget kakak, aku lagi berusaha menahan untuk tidak ikutan kepo dalam urusan hal2 yg efek nya akan meledak jadi bom
Desember 18, 2014 pukul 12:16 pm
Alhamdulillah komennya kak Cumi udh nggak masuk spam…. aku senang! Apa rahasianya kak?
Desember 20, 2014 pukul 8:54 am
Sekarang giliran gue gak bisa komen di blog Cumi. Komen gue yg posting P. Tomia masuk gak tuh? *nangisdibahuBradPitt
Desember 18, 2014 pukul 7:28 am
aku setuju, kl mau ikut2an share sebuah konten baiknya kita perhatikan efeknya kelak
aku pernah mikir anak2 kecil yg ikut2an melakukan harassment pada teman sebaya bisa jadi efek berita di TV yg dulu rame tentang robot gedek, shg anak2 kini gampang banget nyebut istilah so**m*, sama kukira kasusnya dengan berita Tenggulun
Desember 18, 2014 pukul 12:15 pm
Oh my God! Anak2 kecil sampai menjadikan sod*** sebagai kata2 harian mereka itu menyedihkan… Sementara kebanyakan orang tua berpikir siaran berita aman ditonton anak2 ya? Atau kasusnya robot gedek itu seringnya muncul di infotainment?
Desember 18, 2014 pukul 1:51 pm
kalau nggak salah di berita deh ramenya….
Desember 18, 2014 pukul 2:48 pm
Aduh kalo kayak gini aku jadi mempertanyakan, KPI ngapain aja ya…
Desember 18, 2014 pukul 2:03 am
Terkadang juga informasi yg kita tahu, pengen juga biar orang tahu, jadi dengan cepatnya kita share info tersebut, yang terkadang dari sumber yang begitu banyak jadi kembali ke kita sih jeli memilih berita dan sebelum share, agar sedikit memperhatikan kredibilitas berita tersebut, saking banyaknya Media, kita aja bisa bikin berita sendiri atas kejadian yang kita tahu dengan fakta yg ada dan menjadi viral terkadang
Desember 18, 2014 pukul 12:12 pm
Yup, kredibilitas media jadi penting banget. Sayangnya media besar pun kalau menurunkan berita online cenderung buru2 demi update cepat, ya gak?
Desember 19, 2014 pukul 7:29 am
Betul ibarat sebagian orang ada yg kalau ada kejadian lebih dulu nolongin apa foto dulu di share yaaa 😀
Desember 19, 2014 pukul 10:52 am
Nolongin dulu atau fotoin dulu? 😀
Desember 19, 2014 pukul 9:02 pm
biasanya fotoin duluan yg banyak 😀
Desember 18, 2014 pukul 1:33 am
Aaaaak, aku jadi merinding baca yang bagian amrozi. Orang2 banyak yang dukung karena.. Media. 😦 Ini yg sedaritadi aku bahas dengan temen2ku. Turut berduka untuk mereka yang mati syahid di luar sana dengan cara2 yang damai. Seperti beberapa “pahlawan” di kafe tersebut yang meninggal karena membela yang benar..
Desember 18, 2014 pukul 12:11 pm
Aku sempat membayangkan, seandainya peristiwa Sydney itu tidak diliput besar2an di media & sosmed, apakah hasil akhirnya akan berbeda?
Desember 17, 2014 pukul 11:39 pm
masalahnya, suatu konten yang viral cenderung liar di social media kak. apalagi di twitter. menahan untuk tidak retweet atau reply itu susah banget 😐
Desember 18, 2014 pukul 12:08 pm
Jadi gmn kak, baca doa dulu sebelum ngetwit agar dijauhkan dari godaan syaiton yang terkutuk? 🙂
Desember 18, 2014 pukul 4:56 pm
hahahaaa, aya2 wae mbak Tika 😀
anw, good article! saya juga suka nahan gak asal RT, retweet en share. berita jaman skrg banyak yg simpang siur, euy –“
Desember 19, 2014 pukul 10:54 am
betuuuuul! thanks for reading it 🙂