Rempah-rempah pernah mengalami masa kejayaan pada jaman pra-kolonial, ketika beragam rempah dari nusantara menjadi komoditas perdagangan paling populer di Eropa dengan harga yang sangat mahal. Sedikit gambaran saja, kaum bangsawan Eropa dahulu menghidangkan rempah-rempah dengan baki emas di pesta mereka sebagai simbol status dan kekayaan.
Ketika Raja Skotlandia mengunjungi Raja Inggris, King Richard I tahun 1194, setiap hari dia diberi 2 pound merica dan 4 pound kayumanis sebagai tanda persahabatan. Itu dulu, ketika Maluku sebagai tanah penghasil rempah-rempah lokasinya masih tersembunyi, hanya diceritakan melalui kabar dari mulut ke mulut yang dibumbui mitos menyeramkan.
Jadi, rempah-rempah pernah sangat mahal karena lokasi tanah asalnya masih misterius. Tapi kini jaman telah berubah, rempah-rempah tidak lagi berasal dari negeri jauh yang misterius dan telah dibudidayakan di banyak tempat. Sekarang kita tidak harus berasal dari keluarga bangsawan untuk bisa membeli cengkih. Bahkan minggu lalu saat saya ke sebuah supermarket di Jakarta, satu ons cengkih dapat dibeli seharga Rp 16.000 saja. Meskipun rempah-rempah kini mudah didapat dengan harga terjangkau, apakah ini berarti pamornya tetap mencorong dan dicari banyak orang? Ternyata tidak juga.
Minggu lalu usai mengajar, saya melakukan survey kecil terhadap mahasiswa saya. Cukup dengan bertanya, “Kalau mendengar rempah-rempah, apa sih yang terlintas di benak kalian?” Semua mahasiswa di sebuah universitas swasta ternama itu menjawab: bumbu masak. Padahal rempah-rempah memiliki manfaat yang jauh lebih luas dari pada bumbu masak. Misalnya cengkih dapat digunakan untuk meredakan inflamasi (radang), bahkan bermanfaat untuk kesehatan jantung (1). Cengkih juga digunakan sebagai bahan dupa di Republik Rakyat Tiongkok dan Jepang. Minyak cengkih digunakan pada aromaterapi dan juga untuk mengobati sakit gigi. Daun cengkih kering yang ditumbuk halus dapat digunakan sebagai pestisida nabati dan efektif untuk mengendalikan penyakit busuk batang Fusarium dengan memberikan 50-100 gram daun cengkih kering per tanaman (2).

Jalur perdagangan rempah-rempah dari Maluku (spice island) ke Eropa sejak masa pra-kolonial. Sumber gambar: Tifamagazine.com

Cengkih (cloves) adalah tanaman asli Indonesia, banyak ditanam di kepulauan Banda, dan menjadi flora identitas Provinsi Maluku Utara. Pohon cengkih yang dianggap tertua kini berusia 416 tahun, masih hidup di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, Maluku Utara dan setiap tahun memproduksi sekitar 400 kg bunga cengkih. Foto oleh penulis.
Saya mengajar di jurusan film, jadi pertanyaan tersebut saya lanjutkan dengan, “Kalau kalian punya kesempatan ikut workshop filmmaking dan pengenalan rempah-rempah, lalu kalian bisa pitching ide film pendek tentang rempah-rempah untuk dieksekusi menjadi omnibus film, mau nggak?” Jawaban semua mahasiswa itu sama, “Mau banget!” Para mahasiswa ini adalah potret orang muda perkotaan, berusia antara 19 sampai 23 tahun yang antusias belajar filmmaking dan sangat eksis di berbagai channel social media. Saya pikir, kalau kita mau mengangkat lagi pamor rempah-rempah nusantara, mereka inilah yang perlu kita rangkul karena mereka punya semangat menggebu, kreatif mengemas sebuah ide dalam media audio visual alias film, dan mereka nyaris selalu mengupdate kegiatan di social media, sehingga gaungnya akan lebih luas.
Berangkat dari ide di atas, saya jadi kepikiran untuk menginisiasi sebuah workshop filmmaking gemah rempah Indonesia.
Tujuan utamanya adalah mengangkat kembali popularitas rempah-rempah melalui film dan social media, karena keduanya sangat digemari orang muda masa kini, dan saya menggeluti bidang tersebut. Bukankah dalam melakukan sesuatu sebaiknya kita berangkat dari yang kita bisa dan kita suka? Filmmaking dan social media, jelas saya suka dan bisa. Saya juga punya ikatan personal dengan rempah-rempah karena almarhum nenek saya dulu punya toko kelontong di Jawa Tengah yang di antara barang dangangannya adalah cengkih, kayu manis, dan tembakau. Jadi mengendus aroma cengkih saja, sudah membangkitkan kenangan manis masa lalu saya.
Kembali soal ide workshop filmmaking gemah rempah Indonesia tersebut, lalu bagaimana pelaksanaannya?
Tahap 1: Sosialisasi dan pendaftaran peserta
Sosialisasi dilakukan melalui semua social media channel Gemah Rempah Mahakarya Indonesia, plus acara gathering dengan sasaran mahasiswa atau pekerja yang bukan filmmaker profesional, berusia 18 tahun keatas, aktif di sosmed dan tentu antusias di bidang film. Mereka kita ajak untuk mendaftarkan diri di workshop filmmaking dan akan diberi kesempatan untuk memproduksi empat ide cerita film mereka yang terpilih. Periode sosialisasi dan pendaftaran ini berlangsung selama 1 bulan. Sosialisasi kegiatan dapat bekerja sama dengan berbagai komunitas penggemar film yang aktif di twitter seperti @bicarafilm, @gudangfilm, @nontoners, @kinescopeMagz, @Sinema_ID yang adminnya saya kenal secara personal. Berdasarkan pengamatan saat saya beberapa kali terlibat sebagai mentor dalam workshop film, antusiasme peserta selalu tinggi.
Tahap 2: Workshop Filmmaking Gemah Rempah
Workshop dilakukan selama 5 hari kerja, diawali dengan gambaran umum mengenai filmmaking serta pengenalan terhadap rempah-rempah. Di antara sekian banyak rempah, misalnya kita pilih 4 rempah yakni cengkih, pala, lada dan kayu manis. Mengapa 4 jenis? Karena nanti peserta dibagi ke dalam 4 kelompok yang masing-masing membuat film pendek berdurasi 20 sampai 23 menit, sehingga akan menjadi 1 kompilasi film dengan durasi tayang yang pas untuk pemutaran bioskop. Pengenalan rempah ini dilakukan melalui 5 indera kita yaitu dengan melihat bentuknya, mendengar kisahnya, mencium aromanya, mengelus teksturnya dan mengecap rasanya atau rasa masakan yang mengandung rempah tersebut. Kita juga bisa memberikan materi tambahan soal sejarah perdagangan rempah dari Indonesia.
Lalu peserta dibagi kedalam 4 kelas sesuai minat mereka, yaitu penyutradaraan, penulisan skenario, sinematografi serta kelas editing. Tiap kelas belajar secara lebih intensif dengan mentor yang kompeten di bidangnya. Misalnya pada kelas penulisan skenario, peserta ditantang untuk mengeluarkan dan mengembangkan ide film cerita dengan unsur salah satu rempah di dalamnya. Peserta diajak menonton film referensi untuk menunjukkan bahwa rempah-rempah bisa dikemas menjadi film yang memukau seperti seperti Chef (John Favreu, USA, 2014), The Mistress Of Spices (Paul M. Berges, USA, 2005), Le Grand Chef (Chong Yun-su, Korea, 2007) dan Tabula Rasa (Adriyanto Dewo, Indonesia, 2014). Tahap ini berakhir dengan tiap kelompok pitching ide film mereka. Ide terbaik dapat diproduksi dengan budget tertentu.
Tahap 3: Shooting dan Post-production
Setelah dibagi dalam 4 kelompok, masing-masing mengangkat cerita dengan unsur salah satu dari 4 rempah tersebut di atas, mereka diberi waktu untuk melakukan shooting. Peralatannya sederhana saja, bisa memakai kamera sekelas Canon 5D yang sekarang bisa dipinjam dengan mudah atau disewa dengan murah. Pemain filmnya bisa memanfaatkan jejaring pertemanan para peserta, atau lebih bagus lagi bila ada casting yang diumumkan melalui social media sehingga menambah gaung sosialisasi kegiatan ini. Untuk sebuah film pendek, peserta diberi deadline menyelesaikan persiapan selama 2 pekan, shooting maksimal selama 3 hari dan editing maksimal selama 3 pekan, dibawah pengawasan para mentor, sekaligus untuk memberi masukan. Seluruh kegiatan ini disebarluaskan melalui social media channel para peserta.
Tahap 4: Launching diikuti roadshow film
Setelah proses editing, kita akan memperoleh omnibus film, gabungan dari 4 film pendek, dengan total durasi sekitar 90 menit, pas untuk ditayangkan sebagai sebuah film bioskop sebagai medium pertama penayangan film ini. Launching film dapat dikemas dengan cara yang semarak dan disebarluaskan beritanya melalui social media. Tapi tentu jaringan bioskop yang hanya ada di kota besar tidak menjangkau warga Indonesia di kota kecil dan desa. Misalnya, bagaimana warga Ternate bisa menonton film tentang rempah-rempah, sesuatu yang sangat akrab dengan mereka itu? Nah, karenanya perlu dibuat roadshow alias pemutaran keliling film Gemah Rempah Mahakarya Indonesia ini dengan konsep layar tancep. Bayangkan menonton film tentang rempah di layar tancep di bawah siraman bulan purnama di Ternate. Tentu indah sekali dan akan mengundang antusiasme warga. Segala antusiasme ini akan terus kita sebarkan melalui foto dan status update di social media.
Tentu karya peserta workshop film Gemah Rempah Mahakarya Indonesia ini dapat kita ikut sertakan ke berbagai festival film di dalam dan luar negeri untuk memperluas penyebaran gaung informasi kegiatan ini. Dari para sineas muda peserta workshop gemah rempah ini, bisa jadi suatu saat nanti mereka menghasilkan mahakarya yang mengharumkan nama Indonesia. Setuju?
Referensi:
(1) http://www.carahidupsehatalami.info/manfaat-dan-khasiat-cengkeh-untuk-kesehatan/
(2) Sudarmo, S: “Pestisida Nabati, Pembuatan dan Pemanfaatannya”, halaman 28. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 2005
Foto peta perdagangan rempah-rempah dari TifaMagazine.com. Foto-foto lain milik penulis.
November 20, 2014 pukul 6:47 am
Aku hampir tiap hari berurusan dengan minyak cengkeh (eugenol), hehe..
Dulu pas baksos ke Tidore, masyarakatnya lebih milih panen cengkeh drpd ikut pengobatan, mungkin udah pd bisa ngobatin giginya sendiri kali yaaa? Hehehe..
November 20, 2014 pukul 6:51 am
Nita dokter gigi ya? Aku mau tanya, minyak cengkih itu beneran mengobati sakit gigi atau mengobati rasa sakit yg timbul saat sakit gigi? Makasih ya… eh, boleh panggil Nita atau ada preferensi lain?
November 20, 2014 pukul 6:57 am
Memang Nita… 🙂
Eugenol sifatnya cuma sedative, antiradang, menghilangkan rasa sakit tapi cuma sementara.
Gak ada antibakteri dan gak menyembuhkan..
Biasanya aku pakai pas gigi pasien lagi nyut2an banget, aplikasi itu sebentar langsung reda. Selanjutnya bisa pakai obat itu di dalam mulut selama seminggu (ditutup tambalan) atau aku aplikasi obat yang sebenarnya.. Tergantung indikasi.. 🙂
November 20, 2014 pukul 7:02 am
Naaah… dugaanku juga begitu. Jadi eugenol untuk membantu mengobati nyerinya, tapi masalah pada giginya tetep harus dibenerin kan? Misalnya ada lubang etc tetep harus ditangani dong, kalau nggak abis efek eugenolnya hilang, ya nyeri lagi kan? Ah, thank you Nita telah mengkonfirmasinya
November 20, 2014 pukul 7:07 am
Iya.. Bener begitu.. 🙂
November 20, 2014 pukul 7:12 am
Thank you 🙂
Ping-balik: Harga BBM Naik, Apa Tetap Traveling? | About life on and off screen
November 17, 2014 pukul 11:24 am
Oh minyak cengkeh bisa buat obat sakit gigi kah, baru tau 🙂
November 17, 2014 pukul 11:53 am
Iya, tinggal dioles. Bisa juga buat obat bokek, caranya jualan minyak cengkih grosiran. Mau coba? 🙂
November 14, 2014 pukul 9:09 pm
Wah, keren kalau filmnya jadi 😀 *pengen liat nanti*
November 15, 2014 pukul 5:23 pm
Kalo terwujud, pasti akan ku tulis di blog lagi 😉
November 14, 2014 pukul 9:01 pm
idenya brilian,menghidupkan kembali kejayaan rempah2
November 15, 2014 pukul 5:22 pm
Thank you 😉
November 14, 2014 pukul 9:00 pm
Aduh! jadi excited gini baca idenya kak tika. Kalau project ini jadi, saya yang paling depan buat daftar kak 😀
November 15, 2014 pukul 5:22 pm
Siaaaap… doakan ide ini terwujud 😊
November 15, 2014 pukul 10:01 pm
Aamiin 😀
November 14, 2014 pukul 8:51 pm
pantesan menang, tulisannya bagus banget! sekali lagi selamat mbak 😀
November 14, 2014 pukul 5:09 pm
Ihihi kereeeen idenya, good luck kak!
November 14, 2014 pukul 5:19 pm
Aiiiih…. dibaca sama Arip! Jadi maluuu… thanks 🙂
November 14, 2014 pukul 3:51 pm
sebagai mantan murid di workshop yg tahun lalu aku mau daftar lgi buat workshopnya yag ini boleh ya kak? tmen2 kelompok aku masih pd suka ngumpul tau kak, kadng nonto bareng kadang cuma haha hihi doank. kak tika gi nulis film apa niy skrg?
November 15, 2014 pukul 5:21 pm
Lagi nulis script film baru dong…
November 14, 2014 pukul 3:48 pm
weitssss…. ada project anyar lagi nih si mba! Aq diajak donk mba…
November 15, 2014 pukul 5:20 pm
Ini baru ide. Doakan terwujud, ntar kita eksekusi bareng 🙂
November 14, 2014 pukul 12:58 pm
Kayaknya menarik! Terus terang saya nggak terlalu mengerti soal rempah, jadi penasaran gimana kalau para sineas muda bikin film tentang rempah-rempah. Saya tunggu film hasil workshopnya di bioskop 🙂
November 14, 2014 pukul 3:36 pm
Saya pun penasaran! Mari kita berdoa semoga project ini bisa beneran terlaksana 😀
November 14, 2014 pukul 9:48 am
bener2 cemerdasss idenya, viral marketing via social media emang happening banget… ditunggu hasil filmya…
November 14, 2014 pukul 3:38 pm
Aaaakkkk… Makasih mbak Shinta, ini baru ide, semoga ada sponsor yang nyamber sehingga bisa kita wujudkan. Sangat bisa banget nih dieksekusi 😉
November 14, 2014 pukul 3:57 pm
Sponsor dr persh berbau kuliner atau FMCG lbh cocok.. kyk kecap b***o, in**f**d, u**l***r dll.. rokok mungkin mau jg tp kalau saya sih NO! 😀
November 15, 2014 pukul 5:20 pm
FMCG food sbg sponsor itu ide menarik banget! Segmennya juga lebih luas, bisa semua umur, dan family.
November 14, 2014 pukul 7:13 am
Setujuh, kelihatanya blum pernah ada film tentang atau bertemakan rempah rempah yang terbaru ada soal makanan yaitu rendang.
good ide tika..
November 14, 2014 pukul 8:57 am
Terima kasih Ria, doain terlaksana ya ide ini 🙂