Memasuki area cinema XXI di Kuta Beachwalk tempat Bali International Film Festival alias Balinale 2014 digelar, langsung terasa suasana akrab dari sapaan ramah petugas meja ticketing yang terletak di samping ticket box reguler milik bioskop. Masih banyak hal keren di festival ini. Setelah memegang tiket, penonton pun masuk ke bioskop dan mendapat sambutan ramah dari panitia yang memberikan kata pengantar singkat dalam bahasa Inggris sebelum film diputar. Festival film bertaraf internasional ini menyajikan 60ย film pemenang penghargaan dari 18 negara, digelar selama tanggal 12-18 Oktober lalu.
Pada malam penutupan Sabtu lalu, diputar dua film berjudul Maryam (18 menit) karya Sidi Saleh, sineas Indonesia dan film dari Amerika Serikat berjudul Children Of The Light (92 menit) karya Dawn Engle. Maryam, film yang baru saja mendapat penghargaan dari Venice Film Festival ini, berkisah tentang konflik batin seorang asisten rumah tangga Muslimah berjilbab yang terpaksa menemani majikannya, seorang pria penyandang keterbelakangan mental, mengikuti misa natal di Gereja Katedral Jakarta. Terlepas dari kekurangan teknisnya, film ini dengan jeli menggambarkan kekikukan Maryam ketika tidak tahu harus berbuat apa di dalam gereja. Maryam diputar sebagai Asian Premiere di festival ini, lengkap dengan kehadiran sang sutradara.
Sementara Children Of The Light adalah sebuah film dokumenter tentang kehidupan pemenang hadiah Nobel, Uskup Desmond Tutu (foto kiri bawah), dan perjalanannya selama tahun-tahun penting perjuangan anti apartheid di Afika Selatan. Film ini, yang juga merupakan pemutaran Asian Premiere, menampilkan cuplikan arsip, foto keluarga dan wawancara yang belum pernah dipertontonkan sebelumnya. Film dibuka dengan prolog Desmond Tutu masa kini, lalu flash back ke kehidupannya sejak masa kecil melalui arsip foto dan video, menyajikan kisah hidup yang inspiratif meskipun tempo film di beberapa bagian terasa lambat.
Salah satu film karya sineas muda Indonesia yang mencuri perhatian dalam Balinale 2014 adalah Urbanis Apartementus. Saat diputar hari Jumat sore, film bergenre drama komedi ini mendapat tepuk tangan meriah dari para penontonnya. Empat orang sutradara yang semuanya adalah first time filmmakers mendapat ucapan selamat dan ajakan berfoto bersama secara bertubi-tubi usai pemutaran film. Keempat sutradara yang rata-rata masih mahasiswa atau baru lulus kuliah ini adalah hasil gemblengan workshop film CinemaCamp yang diselenggarakan oleh Lingkar Indie Movie. Serunya menonton film ini dan diskusi dengan keempat sutradaranya, telah ditulis dalam artikel terpisah.
Balinale 2014 ditutup dengan pemberian penghargaan bagi enam film yang dipilih para penonton. Aktor muda Adipati Dolken menerima penghargaan Appreciation Award karena film Slank Nggak Ada Matinya yang dia bintangi dinilai telah memberikan pesan positif pada generasi muda. Film produksi Starvision ini mengisahkan perjuangan personel Slank lepas dari jerat narkoba. Sementara film Girl Rising karya Richard E. Robbins terpilih sebagai Best Documentary. Film drama Korea berjudul A Girl At My Door memenangkan penghargaan bergengsi dalam kategori Best Feature. The Gallant Captain karya Katrina Mathers dan Graeme Base mendapat penghargaan Best Short (film). White Lies, film arahan Dana Rotberg dari Selandia Baru terpilih sebagai pemenang kategori Best Overall.
Diselenggarakan di Kuta, sebagai tujuan liburan ternama di Bali, pelaksanaan festival film ini terasa sangat akrab, dan jauh dari kesan glamor. Sejak didirikan pada tahun 2007, Balinale mempunyai sejarah cukup panjang dalam memberikan kesempatan pada para sineas Indonesia, baik pendatang baru maupun yang sudah berpengalaman. Mereka diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil kerjanya kepada khalayak global dan menjalin jejaring dengan para sineas internasional. Tak hanya itu, festival ini juga mengundang sineas manca negara menghadiri pemutara film mereka sekaligus bertukar pengalaman. Festival film ini dikelola oleh Yayasan Bali Taksu Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan oleh aktris Christine Hakim dan Deborah Gabinetti, direktur Bali Film Center. ***
Maret 13, 2015 pukul 1:15 pm
Vampire Sucks adalah film parodi dari Twilight.
November 12, 2014 pukul 10:08 am
Menyayangkan kalau banyak festival film bagus yang promosinya kurang sampai ke masyarakat pecinta film (terutama) dan umum. Aku sendiri masih tergolong awam lah, tapi sejak kenal beberapa orang yang terlibat dalam industri kreatif ini, jadi lebih simpati pada dunia perfilman (bukan persinetronan hehe) dibanding dulu. Semoga industri film Indonesia bisa makin maju ya. Btw ada gak sih website dari Balinale ini? (dilihat-lihat kok di tulisan ini gak ada linknya)
Thanks for sharing, Kak!
November 12, 2014 pukul 10:15 am
Bener banget Nat, penyelenggara beragam festival film di Indonesia perlu bekerja lebih keras atau lebih cerdas utk mempromosikan festival mereka. Sebenarnya Jiffest setelah sekian tahun akhirnya mendapat gaung yang luas, tapi sayangnya pas udah terkenal malah pelaksanaannya yang sekarang tersendat. Masyarakat perlu beragam festival film agar tidak melulu Hollywood minded sebagaimana yang diputar bioskop pemegang monopoli layar film di Indonesia, 21Cinepleks. Kamu biasanya dapat info festival film dari mana Nat?
Lebih jauh soal Balinale ada di Balinale.com
November 12, 2014 pukul 9:33 pm
Informasi soal perfilman sih aku lagi kurang update, tapi ada beberapa jalur yang aku sudah ‘langganan’ – misalnya aja si Erasmus Huis yang rutin menayangkan film gratis. Sisanya seperti IFI dan Kineforum, aku follow di Twitter, tapi gak rutin ngecek update mereka sih.. Thank you untuk linknya ๐
November 12, 2014 pukul 11:02 pm
My pleasure ๐
Bener, dan selain Erasmus Huis juga ada Goethe Haus di Menteng
November 11, 2014 pukul 3:18 pm
salah satu dasar kenapa saya pengen bisa bikin film adalah, kepuasan kalo ikut di festival2 seperti ini..
ah, mungkin suatu saat nanti.
November 11, 2014 pukul 6:01 pm
Amiin!! Ayo Bil, bikin film pendek dong? ๐
November 12, 2014 pukul 10:06 am
Billy kan sering bikin cerpen, semoga suatu hari bisa bikin film juga ya! ๐ ๐
November 12, 2014 pukul 10:16 am
Ide bagus Nat! Tuh, Bil, dari cerpenmu biar dijadikan film pendek disutradarai oleh Gunrok ๐
November 7, 2014 pukul 11:34 am
Oh gosh i wish I knew this!!! I live in Denpasar (even though I travel a lot, including now), and working in the hospitality industry but I’ve never heard about this festival! how weird… i think the committee should do a better job in promoting this event. From your writing, it seems like they did a good job in curating the movies. But promotion is very very important. What’s the point of having a great selection of movies if the public don’t even know that this festival existed?
November 9, 2014 pukul 12:27 am
Saya pun mendengar keluhan serupa dari teman yang tinggal di Denpasar, dia sama sekali gak pernah dengar festival ini. Berarti benar, promosi acaranya perlu ditingkatkan ๐
November 7, 2014 pukul 10:07 am
Kegiatan seperti bisa meningkatkan kunjungan dan pendapatan daerah di sektor pariwisata. Namun sepertinya belum semua daerah siap, terutama karena terbatasnya sarana, misalnya belum semua daerah punya gedung bioskop.
November 9, 2014 pukul 12:26 am
Bikin festival film nggak harus di gedung bioskop lho! Bisa juga pakai ruang serba guna, gedung pertemuan atau layar tancap outdoor ๐
November 7, 2014 pukul 10:01 am
Wah apik tenan mbak… kapan publicistnya ini diajak ke Bali? hahaha…
November 9, 2014 pukul 12:25 am
Thx! Amin, smoga kita ke Balinale bareng ya!
November 7, 2014 pukul 9:57 am
Mengapa untuk membuat festival ini perlu kepanitiaan yang banyak terdiri dari orang asing? Kenapa tidak dilakukan sendiri oleh anak bangsa kita?
November 9, 2014 pukul 12:25 am
Wah, panjang juga kalau saya jelasin detailnya… gini deh, sebenernya bukan karena orang kita nggak mampu, tapi dengan menggandeng pihak dari luar akan memperluas network dan ini sangat penting utk mendatangkan film2 bermutu.
November 7, 2014 pukul 9:55 am
What? Adipati Dolken dapet penghargaan karena film yang dia bintangi memberikan pesan positif pada generasi muda? Wait… ini nggak masuk akal. Kalau sebuah film dinilai memberikan kesan positif maka yang layak mendapat penghargaan adalah pencipta film tersebut, yaitu sutradara (dan kalau perlu bersamaan dengan penulis skenario serta produser, sebagai team).
Kok ini malah bintang filmnya (sengaja pakai istilah ‘bintang film’, bukan ‘aktor’, karena dalam artikel ini tertulis ‘film yang dia bintangi) yang mendapat penghargaan, sungguh lucu. Apakah ada yang sempat mempertanyakan hal ini kepada panitia Balinale?
November 9, 2014 pukul 12:23 am
Silakan disampaikan. Mungkin bisa melalui website mereka, coba cari kolom Contact Us.
November 7, 2014 pukul 9:38 am
Kapan nih film kite main di situ? Mbokya sekali2 diikutin festival macam ini dong… Jdai bisa ajak2 aku klo ke Bali?
November 9, 2014 pukul 12:23 am
Belum tau kapan, tapi gue aminkan dulu deh!
November 7, 2014 pukul 9:28 am
Tulisan yang menarik, membuat orang yang awam soal film seperti saya bisa sedikit punya gambaran soal festival film. Kalau festival yang di Jakarta apa aja?
November 9, 2014 pukul 12:22 am
Thank you. Di Jakarta ada cukup banyak festival film seperti Europe on Screen, Festival Sinema Perancis, Festival Film Jerman, Jiffest dll.
November 5, 2014 pukul 3:33 pm
kalau film yg Urbanis Apartementus bisa dilihat dmn mbak?
November 17, 2014 pukul 11:55 am
Setelah balinale kelar, blm bisa. mari berdoa semoga akan tayang di bioskop reguler ๐
November 17, 2014 pukul 1:07 pm
Iya, semoga ya. Mbak nohara ikut meramaikan JAFF juga nggak nih?
November 17, 2014 pukul 1:18 pm
Kalau Garuda19 masuk, insyaAllah kesana mbak ๐
November 17, 2014 pukul 1:21 pm
Semoga ya.. Amien ๐
November 17, 2014 pukul 4:34 pm
Amiiien… ๐