Apa saja sih kegunaan rempah-rempah yang khas Indonesia? Dalam satu menit saja, saya bisa menyebut beberapa hal yang menurut saya layak disebut mahakarya Indonesia, misalnya aneka kain nusantara seperti batik, tenun, ulos, dan songket, lalu jamu, dan kretek. Ketiga hal yang saya sebut itu punya satu benang merah, yaitu rempah-rempah. Rempah-rempah semisal kunyit dipakai untuk mewarnai benang yang lalu ditenun jadi kain, jamu jelas memakai bahan berbagai rempah, dan kretek menggunakan cengkeh sebagai salah satu campuran rempah di dalamnya.
Ternyata ada cerita menarik dibalik arti penting rempah-rempah bagi bangsa kita. Seorang sejarawan ternama, JJ Rizal mengungkapkan cerita ini. Bung JJ mengisahkan, betapa sejak jaman negara Indonesia belum terbentuk seperti sekarang ini, pelaut-pelaut Eropa nekat mengarungi samudera selama bertahun-tahun, menghadapi badai topan dan bajak laut demi mencari tanah penghasil rempah-rempah yang dulu digambarkan sebagai tempat mistis di ujung dunia yang dijaga makhluk-makhluk menyeramkan.
Karena untuk mendapatkannya sangat susah, maka jaman dulu rempah-rempah sangatlah berharga, setara dengan emas. Kaum bangsawan Eropa menghidangkan rempah-rempah dengan baki emas di pesta mereka sebagai simbol status dan kekayaan. Ketika Raja Skotlandia mengunjungi Raja Inggris, King Richard I tahun 1194, setiap hari dia diberi 2 pound merica dan 4 pound kayumanis sebagai tanda persahabatan. Merica juga pernah dijadikan alat pembayaran karena harganya setara dengan emas. Keren ya? Betapa mahal dan pentingnya rempah-rempah saat itu, maka para pelaut ternama di Eropa pun membujuk raja-raja mereka agar mau membiayai perjalanan mengarungi lautan demi mencari rempah-rempah langsung ke sumbernya.
Maka tersebutlah orang-orang terkenal seperti Colombus, Vasco da Gama, Magellan, dan JP Coen berlayar mencari tanah tempat tumbuhnya rempah-rempah, yakni di kepulauan Maluku. Tentu jaman dulu sistem navigasi belum canggih seperti sekarang, peta dunia juga belum segamblang sekarang. Para pelaut ini bahkan tidak tahu persis dimana letak kepulauan Maluku, tempat penghasil rempah-rempah. Columbus akhirnya mendarat di Amerika (dan mengira itu tanah India), lalu Vasco da Gama hanya sampai Malabar (di India), Magellan sampai di Pulau Luzon, Filipina dan JP Coen-lah yang berhasil sampai di Ternate. JP Coen kemudian melakukan negosiasi dengan Raja di Ternate perihal monopoli perdagangan cengkeh. Waktu itu, cengkeh memang primadona yang paling termasyur di antara rempah-rempah lainnya.
Cengkeh sejak dulu dimanfaatkan untuk kesehatan dan daya pikat. Mengunyah cengkeh bisa menghilangkan bau mulut dan meringankan sakit gigi. Cengkeh juga dijadikan wewangian yang konon Venus dan Aphrodite pun menggunakan wangi cengkeh sebagai daya pikat mereka. Hera, istri Zeus, juga menggunakan cengkeh sebagai wewangian untuk membuat Zeus yang playboy kembali jatuh cinta padanya. Nah, dengan pamor yang gemilang itu, tak heran cengkeh jadi barang dagangan berharga sangat mahal. Selain cengkeh, kapur barus yang tumbuh di pulau Kalimantan dan Sumatera pun sangat tersohor. Akibatnya, setelah menemukan tanah penghasil rempah-rempah di nusantara, bangsa Belanda pun ingin menguasai komoditi ini dan selanjutnya kita tahu mereka betah bercokol memonopoli perdagangan hasil bumi nusantara selama 3,5 abad.

Cengkeh ditampilkan pada uang kertas senilai 20.000 rupiah tahun 1992-1999, ketika itu 20.000 rupiah adalah pecahan besar. Hal ini menunjukkan apresiasi akan pentingnya cengkeh di Indonesia.
Kini rempah-rempah harganya tidak lagi selangit. Setelah ketemu tanah asal-usulnya, maka aneka rempah-rempah itu pun dibudidayakan di tempat-tempat lain di muka bumi, dipanen dan diperdagangkan di mana-mana. Hilang sudah pesona mistis rempah-rempah nusantara bagi orang Eropa. Namun, sebagai orang Indonesia, kita masih boleh berbangga bahwa di tanah air kitalah rempah-rempah bermula, rumah bagi cengkeh, pala, lada, kapulaga, kencur, ketumbar, kayumanis, kunyit, kemiri, lengkuas dan jahe. Di jaman modern ini kita perlu terus mengapresiasi rempah-rempah dengan cara sederhana, yaitu mengenalnya dan menikmatinya dalam aneka masakan nusantara, jamu atau karya lain yang tercipta menggunakan rempah-rempah.
Kembali soal mahakarya. Maha artinya besar, karya artinya sebuah ciptaan. Mengutip JJ Rizal, Mahakarya yang sesungguhnya adalah sesuatu yang dapat menciptakan mahakarya lain. Misalnya, cengkeh adalah mahakarya alam, ciptaan Tuhan. Menggunakan cengkeh, manusia bisa menciptakan karya-karya lain, seperti rokok kretek. Awal mulanya, di tahun 1880 ada seorang pria bernama Haji Djamhari di kota Kudus, Jawa Tengah yang tengah berjuang menyembuhkan sakit asma-nya dengan cara mengoleskan minyak cengkeh di bagian dada dan punggungnya. Cara ini cukup mengurangi rasa sakitnya tapi belum sembuh total. Djamhari pun mengunyah cengkeh, lalu malah merajang cengkeh dan mencampurkannya dalam lintingan tembakaunya. Rupanya Djamhari meyakini lintingan tembakau dan cengkeh racikannya ini meredakan sakit asma-nya. Maka penemuan Djamhari ini pun menjadi populer dengan sebutan rokok kretek karena saat dihisap rajangan cengkeh yang terbakar itu menimbulkan suara ‘kretek…kretek…’
Saya sempat membaca kisah ini dalam sebuah buku berjudul ‘Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes’ tulisan Mark Hanusz tujuh tahun lalu. Ketika itu saya tengah melakukan riset untuk sebuah film dokumenter tentang Kretek. Sayangnya, setelah membaca dan menghayati buku tebal bersampul hitam itu, film dokumenter kami tak kunjung diproduksi karena belum berhasil mendapatkan sponsorship.
Sebagai filmmaker saya masih menyimpan harapan semoga kami jadi membuat film dokumenter kretek tersebut, karena kretek adalah bagian penting dan menarik dari budaya dan sejarah Indonesia. Apalagi bagi saya pribadi, cucu seorang pedagang kretek dari Kudus, saya yang waktu kecil dulu sering ikut kulak’an (membeli dalam jumlah besar) daun tembakau dari kota Temanggung, Jawa Tengah. Ada semacam nostalgia yang personal kalau soal kretek. Semoga film yang konsepnya telah lama saya pendam ini bisa betulan terwujud menjadi karya, yang mudah-mudahan ‘maha’. Doakan terwujud ya 🙂
Nah, saya mau bikin quiz kecil nih. Seminggu ke depan saya akan traveling ke Bali, lalu ke Derawan, Kakaban, Maratua dan Sangalaki di Kalimantan Timur. Saya akan bawain oleh-oleh buat pembaca yang kasih jawaban seru untuk pertanyaan ini:
Apa menu kuliner nusantara favoritmu yang mengandung rempah dan ceritakan mengapa kamu suka masakan tersebut?
Tulis di kolom komentar yaaa… Jawaban yang seru akan saya kasih oleh-oleh, nanti dikirim pakai jasa pengiriman ke alamatmu. Saya juga belum tau oleh-olehnya apa, nanti tergantung apa yang menarik di destinasi tersebut. Yuk, ikut jawab 🙂
Credit: Foto pertama dan kedua saya ambil saat acara blogger gathering Gemah Rempah Mahakarya Indonesia. Gambar uang pecahan Rp 20.000 dari website uangindo.com. Gambar nasi tumpeng mini saya foto saat di Surakarta.
November 6, 2017 pukul 10:56 pm
Rempah-rempah memang khasiatnya sudah tebukti turun temurun. Ikut Share manfaat rempah-rempah. Silahkan bisa di baca di Jenis Rempah Rempah
Ping-balik: Semarak Gemah Rempah Melalui Film Dan Social Media | About life on and off screen
Oktober 21, 2014 pukul 8:59 pm
Menu kuliner favorit yang mengandung rempah ya pastinya masakan mama. Secara berdarah minang kan yaa.. Di rumah tuh mama selalu masak makanan padang (yang mana mengandung rempah pastinya).
Inget banget dari kecil udah dibiasainmakan gulai, pangek, kalio, dsb.. 😆
Oktober 21, 2014 pukul 11:02 pm
Wiiiih…. pangek itu masakan apa Dit? Kayaknya pernah denger tapi aku nggak tau persis.
Oktober 21, 2014 pukul 3:56 am
Makanan dengan rempah? Sembarang makanan rumahan tentu. Soalnya sering saya yang kebagian tugas ngulek bumbu dan rempahnya.
Oktober 21, 2014 pukul 11:02 pm
Wah, kamu jago masak dong? Hmmmm….
Oktober 17, 2014 pukul 6:57 pm
karena mau ke bali, aku mau tanya sih uda pernah ke Nasi Ayam bu Oki belum? katanya lagi ngehits dibandingin bu Andika itu. aku suka banget sih nasi ayam bu oki ini, sekali coba rempahnya bener2 kerasa. malah ngga khas bali banget, hahah dasar lidah jawa… seperti merica-nya kerasa bgt yg aku suka. sedikit manis, tapi juga pedes sekaligus. melezatkan dan menenangkan tubuh sebelum jalan jauh lagi x)
Oktober 17, 2014 pukul 10:24 pm
Udaaaah!!! Dan emang enaaak bener!!
Oktober 17, 2014 pukul 6:52 pm
saya lebih suka sate padang. rempah-rempahnya sangat kental dan pedas…ajibb mbak
Oktober 17, 2014 pukul 10:23 pm
Apalagi sate padang danguang-danguang yg di Payakumbuh!
Oktober 17, 2014 pukul 3:59 pm
Ikutt kuisnyaa… Soto Kudus paling ajib mbakk.. Hehehe
Oktober 17, 2014 pukul 10:20 pm
Soto kudus mmg sedaaap! Kuahnya bening tanpa santan, lebih segar!
Oktober 16, 2014 pukul 9:04 pm
ikutan kuisnyaaa…biar dapat oleh2 😛
RAWONNNNN!!!!!!
soale dari kecil dah biasa makan rawon sampe sekarang juga makan rawon…cuma susahnya rawon dijakarta…g seenak rawon dijawa huhuhu
*hloh malah curhat
Oktober 16, 2014 pukul 10:46 pm
Lho masak sih di Jakarta nggak ada rawon enak? Yg di depot masakan Jawa Timur di kebayoran baru itu gmn?
Oktober 16, 2014 pukul 2:32 pm
ijin nyimak mbak… seru juga didongengin soal bumbu dapur, eh, rempah-rempah. kapan shooting lagi mbak? ikut casting dong?
Oktober 16, 2014 pukul 7:11 pm
Hehehe… Kretek itu rencananya film dokumenter, jadi nggak butuh cast. Kecuali ada sponsor yg berminat, bisa dibuat film fiksi based on that true story.
Oktober 16, 2014 pukul 2:25 pm
Wah, informatif! Baru tau sejarah kretek ternyata seru juga ya! Sekarang gimana tu nasibnya Pa Haji Djamhari?
Oktober 16, 2014 pukul 3:54 pm
Beliau sdh lama meninggal. Kejadian itu kan di abad 19
Oktober 16, 2014 pukul 2:13 pm
Kalo jadi shooting Kretek line-pro nya gue ya?
Oktober 16, 2014 pukul 3:53 pm
Wah, boleh… tapi jangan mahal2 yak! 🙂
Oktober 16, 2014 pukul 2:07 pm
Fotonya bagus! Semoga itu rencana film dokumenternya terwujud.
Oktober 16, 2014 pukul 3:52 pm
Amin!!! Amin banget ini!!
Oktober 16, 2014 pukul 12:09 pm
Mbak Nohara sekarang lagi di Solo yah?
Oktober 16, 2014 pukul 1:51 pm
Barusan udah balik lagi sih, mau ke Bali soalnya 🙂 Kenapa?