Rute Atambua-Atapupu-Mota’ain
Meneruskan blog post sebelumnya soal perbatasan Indonesia-Timor Leste, setelah menengok pos perbatasan di Wini dan Metamauk, kami melanjutkan perjalanan ke Atapupu yang terletak di sisi utara pulau Timor. Sebenarnya jarak melintasi pulau ini tidak terlalu jauh, hanya sekitar 126 km yang menurut google maps dapat ditempuh dalam tempo 2,5 jam. Tapi apa daya, jalanan rusak parah, plus tikungan tajam yang tak ada habisnya membuat bus kami terseok-seok selama sekitar 6 jam dari Metamauk, ke kota Atambua lalu ke Atapupu dan ke Mota’ain di perbatasan.
Sepertinya, di NTT ini jalan yang mulus hanya sepanjang Atambua-Kupang, karena pernah diperhalus saat akan dilewati Presiden SBY beberapa tahun lalu. Di luar rute itu, jalan rayanya sempit, penuh lubang, kadang longsor. Kami terpaksa ganti jalur karena jalanan longsor, dan di sebuah tempat antah berantah bus kami harus berhenti untuk mengganti ban. Terus, ngapain aja selama menunggu ganti ban? Foto-foto dong! Hahaha… Apapun obyek fotonya, selama backgroundnya langit biru cerah, pasti cakep deh. #prinsip
Sambil menunggu saya sempat ngobrol dengan pemilik warung yang menjual bensin eceran, satu liter 15 ribu. Fair enough. Mengingat untuk membawa bensin ke tempat ini juga butuh biaya. Kendaraan dari Timor Leste yang masuk ke NTT memang tidak boleh mengisi BBM bersubsidi di SPBU, tapi kalau beli eceran di pinggir jalan ya nggak dilarang. Nah, lain lagi kalau kasus menyelundupkan BBM. Seorang petugas Bea Cukai di sini cerita, banyak terjadi penyelundupan BBM lewat laut, naik kapal nelayan. Nelayan bisa membeli BBM bersubsidi, lalu mereka bawa ke perairan Timor Leste dan dijual seharga 1 dollar perliter. Pendapatan dari selisih harga bensin ini katanya lebih besar dari pada capek-capek mencari ikan sebagaimana layaknya nelayan. Duh, sedih dan marah mendengarnya. Tapi memang penghasilan sebagai nelayan tradisional di Indonesia masih sangat rendah, rasanya tidak adil kalau menyalahkan mereka yang berusaha mencari penghasilan lebih.
Pihak Bea Cukai sendiri mengaku kualahan memantau seluruh lalu lintas warga dan perdanganan antar dua negara. Jangankan patroli di laut Timor, pegawai di pos perbatasan darat saja masih kurang. Total ada 9 pos perbatasan darat, tapi karena kurang pegawai hanya 4 pos yang aktif yaitu Wini, Metamauk, Mota’ain dan Napan. Sisanya hanya kalau ada kegiatan baru dijaga. Padahal, masih banyak pemuda Indonesia yang mencari kerja. Berarti perlu rekrutmen lagi ya? Atau mungkin para pegawai lebih memilih bertugas di kota-kota besar sehingga pos-pos di perbatasan yang sepi ini kurang pegawai? Berarti, ada baiknya merekrut pemuda setempat, atau paling tidak dari area yang sama. Setuju?
Mota’ain, Titik Paling Ramai
Akhirnya kami tiba di perbatasan Mota’ain, titik yang paling ramai dan rawan karena menghubungkan Atambua dengan Dili, ibu kota Timor Leste. Sudah sekitar pukul 4 sore saat bus merapat di parkiran tak jauh dari portal perbatasan. Meski hanya terpisah sungai, di Timor Leste waktu lebih cepat satu jam, pukul 5 sore kantor Diresaun Nasional Alfandegas (pos perbatasan di Timor Leste) sudah sepi. Meski sepi, terlihat banyaknya kios, bank, dan mesin ATM di sekitar perbatasan di sisi Indonesia, menunjukkan bahwa Mota’ain adalah pusat kegiatan perekonomian yang ramai.
Di sini juga ada pasar yang menjual barang-barang kebutuhan warga, tapi sayang di pasar perbatasan ini Rupiah tidak laku. Baik orang dari Timor Leste maupun orang kita lebih suka bertransaksi memakai dollar. Harga barang yang diperjualbelikan pun juga sudah ditetapkan dengan dolar. Seperti beras dipatok seharga US$ 2, sayur-mayur US$ 1, kopi US$ 2 dan semen US$ 8 per-sak. Malah para pedangang Indonesia cenderung menjual dengan harga lebih mahal kalau pembelinya orang Timor Leste. Menurut petugas Bea Cukai setempat, praktik ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan lazim terjadi di perbatasan. Jadi memang sulit untuk membuat mereka bertransaksi dengan rupiah selama nilai rupiah masih lemah terhadap US dollar.
Ketimpangan pos perbatasan Indonesia dan Timor Leste kembali tampak, seolah menampar pipi saya sebagai pemegang paspor Indonesia. Di sisi Indonesia hanya ada 4 pegawai, sementara pegawai Alfandegas sana tak kurang dari 12 orang, padahal jumlah kendaraan dan orang yang melintas sama. Apalagi soal fasilitas. Di Timor Leste sudah tersedia detektor gamma ray untuk memindai truk dan kontainer. Sementara di sisi Indonesia, jangankan memasang gamma ray, tenaga listrik untuk menyalakannya saja masih tak kuat, sering terkena pemadaman bergilir. Duh! Saat ini kemewahan fasilitas gamma ray di Indonesia baru tersedia di pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
Tanpa fasilitas dan alat bantu, petugas Bea Cukai di perbatasan sudah terbiasa melakukan pekerjaan mereka secara manual. Seorang petugas bercerita, tahun lalu mereka menangkap penyelundupan drugs dari Timor Leste yang dimasukkan dengan cara sangat rapi dalam false compartment sebuah kopor. Jadi sisi dalam kopor dibuka jahitannya, dimasukkan drugs bungkus alumunium foil, lalu dijahit kembali dengan sangat rapih, seperti tidak pernah dibongkar. Tapi petugas Bea Cukai kita sudah terlatih membaca gerak-gerik mencurigakan para pelintas batas, sehingga pembawa kopor ini diminta membuka kopornya, lalu mereka memeriksa dan merasa dinding kopor terlalu tebal, terlalu keras. Ketika disobek jahitannya, terbukti ada barang haram disimpan di sana.
Pak Rahmat, seorang petinggi Bea Cukai juga bercerita kalau pelintas batas yang terlihat berjalan pelan, langkahnya sangat berhati-hati dan bibirnya kering, itu salah satu tanda-tanda dia membawa drugs dengan cara membungkus dengan kondom dan menelannya. Dia harus berjalan pelan agar tidak pecah, dan selama perjalanan tidak berani minum sehingga bibirnya kering. Ketika menemukan smuggler dengan modus seperti ini, petugas membuat si pelaku mengeluarkan isi perutnya dengan buang air besar, lalu ya dikorek-koreklah itu fecesnya… Oke, adegan ini sebaiknya tidak dibayangkan.
Demikianlah, perjalanan ke garis depan perbatasan Indonesia kali ini meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Kalau ada satu hal yang sangat ingin saya wujudkan dari perjalanan ini adalah sebuah skenario film. Semoga ada pihak yang berminat mengangkatnya ke layar lebar, karena terkait funding, bukan film murah kalau shootingnya di daerah yang jauh dari ibu kota seperti ini. Doakan ya. Terima kasih 🙂
April 18, 2017 pukul 4:29 pm
Baru dari Atambua dan Atapupu juga…belum ke Metamauk. Next time mau explore Atambua dan sekitarnya.
Sayang ke Motaainnya kepagian jadi tidak bisa sampai jembatan. Ke Wini dan Napan kesorean jadi dah tutup.
April 21, 2017 pukul 12:06 am
Iyaaa… aku pun ingin balik ke sana lagi
Juli 27, 2016 pukul 6:37 pm
Terimakasih Mba Tika sudah sempat mampir di Daerah Kami,, meskipun cuman sebentar,,, dan Itulah kami dengan keterbatasan kami di daerah perbatasan Indonesia – Timor Leste…. Semoga Keinginannya membuat sebuah skenario film yang dapat di angkat ke layar lebar, tercapai yaw… Salamp kenal kaw dari Anak Batas NKRI – TLS..
Juli 28, 2016 pukul 1:01 pm
semoga tercapai, amiiiin!
Ping-balik: Pesona Pulau Lembata | About life on and off screen
Ping-balik: Harga BBM Naik, Apa Tetap Traveling? | About life on and off screen
Ping-balik: Di Balik Gemah Rempah Mahakarya Indonesia | About life on and off screen
Juli 17, 2014 pukul 9:16 am
Salam kenal mbak,,
Setuju itu yg bagian sebaiknya rekrut putra daerah. Dalam hal ini yang saya cermati untuk petugas imigrasinya. Win win solution kayanya yah.. 🙂
Juli 17, 2014 pukul 10:52 am
Salam kenal juga mbak… Mari kita usulkan ke Ditjen Bea dan Cukai? 😀
Juni 9, 2014 pukul 5:52 pm
difliemkan semacam film documenter atau filem biasa bagus kali y mbak….salam kenal…
Juni 9, 2014 pukul 7:36 pm
salam kenal 🙂 Saya sih berharap jadinya film layar lebar, fiksi based on true stories, gitu.
Juni 9, 2014 pukul 11:00 am
ah keren sekali perjalanan mba.. jalan-jala pakai jeans, kaca mata, kaus, saya suka..
dan yang dilihat adalah yang seperti ini, khas Indonesia..
salam kenal.. 🙂
Juni 9, 2014 pukul 12:47 pm
Salam kenal Tina. Menelusuri Indonesia, to the less traveled path, adalah hobi yang bikin ketagihan sejak 10th lalu 🙂
Juni 6, 2014 pukul 8:51 am
ahhh fotografer yang fotoin kamu pasti keren ❤
—–
new update
Crystal Cave – Kupang.
http://happy-feet.me/?p=55
Juni 6, 2014 pukul 3:20 pm
Yoi, keren banget 🙂
Ping-balik: Garis Depan Indonesia (2) | About life on and off screen
Juni 4, 2014 pukul 1:59 pm
pergi ke “pedalaman” di Indonesia emang selalu keren, terutama ke wilayah yang jarang disorot kamera dan tayang di televisi.
jadi makin pengen ke NTT dan atau Timor Leste. somehow, dari SD dulu punya cita-cita untuk ke Dili..
Juni 4, 2014 pukul 2:07 pm
Gara-gara lagu Januari Di Kota Dili ya Bil? 😀
Juni 17, 2014 pukul 2:17 pm
lagu itu muncul setelah cita-cita saya..
Juni 17, 2014 pukul 6:09 pm
Bearti lagunya terinsipirasi oleh cita2mu 😀
Juni 4, 2014 pukul 8:27 am
itu mbak… pembangunan negara terfokus pada pulau jawa.. jgnkan yg jauh di perbatasan timur leste.. keluar dikit aja ke kalimantan akan terlihat kontras pembangunannya.. 😦
Juni 4, 2014 pukul 8:59 am
Jangankan di Kalimantan, di kota2 kecil atau desa di Pulau Jawa aja nggak rata pembangunannnya, misal listrik masih sering mati. Gmn dong?
Juni 3, 2014 pukul 5:22 pm
Saya pernah ke sana! Tidak adil rasanya kalau penyelundup bisa lolos sementara saya yang membawa rawit dan bawang hanya untuk sambel selama tinggal di Dili kemudian disita… hehehehe
Btw, bisa jadi kemajuan Timor sekarang karena sebelumnya dibantu UN, pas saya tinggal di sana 7 tahun yang lalu sih listrik masih sering mati tiap hari tuh… Ini baru di Dili, beda lagi dengan di Baucau, listrik mati dari maghrib sampai pagi.
Sekarang saya tinggal di Subang, Indonesia… yang berjarak kurang lebih 150 km dari Jakarta, listrik pun masih tiap hari mati, persis seperti saat saya tinggal di Timor… aneh nih
Juni 3, 2014 pukul 7:17 pm
Bener, makanya petugas BC kerja keras biar penyelundup nggak lolos. Soal listrik, well, PLN mmg parah bener. Mungkin sudah saatnya kita pasang panel listrik tenaga surya?
Btw, brp lama tinggal di Dili dulu? Emang bantuan UN sampai bikin gedung perbatasan juga ya?
Juni 3, 2014 pukul 9:38 am
Aamiin.. Semoga doa yang baik2 terkabul. Anyway aku setuju tuh, dimana langitnya biru, hampir pasti foto selalu bagus! 😀
Juni 3, 2014 pukul 12:57 pm
Amin! Thanks Titiw… apalagi kalau pose lompat-splitmu yang aduhai itu, di depan langit biru… nyam!
Juni 3, 2014 pukul 9:12 am
Woook woooow unforgetable & amazing experience banget ya Tika.. btw, dalam rangka apa jalan2 sampe ke perbatasan? *sori kalo ada yg kelewatan infonya..
Juni 3, 2014 pukul 12:56 pm
haaaiiii… dalam rangka diajak Dirjen Bea Cukai ikut presstour mereka. Semoga bisa jadi film, semoga semua lancar. Amin 🙂
Juni 3, 2014 pukul 8:53 am
Dengan ketimpangan sejauh ini, jangan heran kalau orang-orang di daerah, terutama anak mudanya, semua pada pengin cari kerja di kota besar, kalau bisa ke Jakarta. Terus, kalau anak mudanya pergi, siapa yang membangun daerah?
Juni 3, 2014 pukul 12:55 pm
Point well taken. Memang pembangunan harus lebih merata, itu harga mati.
Juni 2, 2014 pukul 4:38 pm
iya, merasa tertampar juga walau cuma sebagai pembaca, bukan yg ngeliat sendiri. Indonesiakuuu 😦
aamiin. moga ada yg danain buat film keren ttg perbatasan *kecuali adegan yg ngorek2 feses :p
Juni 2, 2014 pukul 5:49 pm
Hahaha… Justru adegan itu yg paling menantang buat divisualkan. Ya gak? 😉
Juni 2, 2014 pukul 9:01 pm
iya juga sih 😀
Juni 2, 2014 pukul 2:30 pm
Perjalanan yang seruuuuuuu…. Berarti walau kesana ga dicap paspor (atau dicap? – ga ketemu ceritanya soalnya hehe), harus ready dengan uang-uang kecil bermatauang USD ya.
Salam kenal yaaa
Juni 2, 2014 pukul 3:22 pm
Kami nggak cap paspos karena nggak masuk terlalu jauh di area Timor Leste, masih keliatan sama petugas Customs kalau kami cuma keliaran disekitar kantor aja, foto-foto. Hehehe… Salam kenal 🙂
Juni 2, 2014 pukul 9:51 am
awalnya serius baca, kemudian terdistraksi dengan foto2 yang ada penampakanmu mba 😆
Juni 2, 2014 pukul 10:12 am
Haduuuh… maaf… mesti gmn dong? Dihapus aja? Atau aku ganti foto Anggun C Sasmi? 😀
Juni 2, 2014 pukul 9:18 am
Pengalaman yang seru..
kalau aku pasti kenangan tak terlupakan.
Biaya perjalanan pasti sangat besar juga..
🙂
Juni 2, 2014 pukul 9:48 am
Biayanya nggak tau pasti, makanya nggak aku tulis. Soalnya semua dibayarin sm yg ngajak 😀
Juni 2, 2014 pukul 9:00 am
Di doakan yah mbaa 😀
Juni 2, 2014 pukul 9:05 am
Makasih banyak 🙂
Juni 2, 2014 pukul 7:03 am
aku ndak bisa bayangin yang ngorekngorek feces…hmm
Juni 2, 2014 pukul 8:37 am
LHAAA… ndak bisa bayangin? Dipraktekkin aja gmn? 😀