Pernahkah teman-teman membayangkan seperti apa rasanya bekerja di tempat yang jauh dari keluarga, jauh dari mana-mana, hanya berdua di sebuah kantor yang tidak punya saluran telefon, fax, apalagi internet, tidak ada kran air, dan pasokan listrik mati-nyala? Situasi semacam itulah yang dihadapi para petugas Bea dan Cukai di Wini dan Metamauk, keduanya perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. Perjalanan saya dan teman-teman ke empat titik perbatasan Indonesia di NTT tanggal 21-23 Mei lalu telah membuka mata saya akan banyak hal soal berada di garis terdepan Indonesia.
Perjalanan dimulai dengan Batik Air dari Terminal 3 bandara Soekarno Hatta. Maskapai yang masih satu grup dengan Lion Air ini adalah versi full service-nya. Penumpang mendapat makanan (dan enak) serta leg room yang sedikit lebih lapang. Tapi in flight servicenya nanggung, karena untuk menonton film kita harus menyewa head set. Oh well, berhubung take off jam 2.30 wib, maka tidur adalah pilihan paling nikmat di atas pesawat.
Kupang-Wini-Atambua
Kami tiba di bandara El Tari, Kupang sekitar jam 6.30 wita, saat matahari sudah bersinar cerah, tapi belum panas. Sarapan sebentar di dekat bandara untuk menyiapkan stamina menempuh perjalanan panjang naik bis dari Kupang ke Wini lalu ke Atambua. Satu-dua jam pertama, saya masih antusias melihat pemandangan keluar jendela. Langit Timor yang biru sempurna kontras dengan punggung bukit yang berwarna jingga kecoklatan, dihiasi siluet pohon-pohon lontar yang setia menemani perjalanan kami.
Tak berapa lama meninggalkan kota Kupang, kontur jalanannya mulai ngajak ribut 😀 Kelokan tajam, tanjakan, turunan silih berganti membelai roda-roda bus kami. Jalanan masih relatif mulus, jadi bis bisa ngebut. Anehnya, semakin ngepot supir bis kami, semakin mengantuk saya dibuatnya. Alhasil saya ketiduran, dan sukses terombang-ambing gubrak-gabruk menghantam Venus yang duduk di samping saya. Maap ya Nyah… Untunglah di ujung perjalanan panjang itu, kami disuguhi pemandangan ini:
Sudah sekitar jam 4 sore ketika kami sampai di Wini, titik perbatasan RI dengan Timor Leste yang lokasinya di kaki bukit sekaligus di tepi pantai. Mulanya saya merasa biasa saja pas masuk ke kantor Bea dan Cukai kita yang kecil dan sederhana. Saya pikir, kantor instansi di daerah terpencil begini, what can you expect? Saya maklum aja gitu, termasuk ketika mampir ke toiletnya karena kebelet pipis, kecil dan seadanya banget. Kemudian saya seperti ditampar saat beberapa ratus meter dari kantor itu, kami berjalan kaki ke perbatasan Timor Leste di Oekusi dan melihat megahnya kantor di sisi negara tetangga kita yang baru satu dekade lebih merdeka itu. Kantor mereka sudah terintegrasi antara ICQ, Immigration, Customs and Quarantine, sudah dilengkapi dengan peralatan modern semacam X-Ray dan punya lebih banyak personel. Penasaran, saya mampir ke toiletnya juga, cuma buat ngetes doang… Seperti saya duga toiletnya modern, bersih, dan mewah, macam yang ada di hotel berbintang di Jakarta gitu deh.
Meskipun titik perbatasan ini cukup sepi, tidak banyak orang yang melintas, tapi tetap saja ketimpangan ini terasa menohok. Perasaan saya campur aduk, antara terharu dan terlalu. Maksudnya, terlalu deh pemerintah Indonesia ini kesenjangannya antara yang di kantor pusat dan di daerah. Dari Wini, kami menikmati sunset di Tanjung Bastian sebelum lanjut ke penginapan kami di Atambua.
Atambua-Metamauk
Esok harinya kami berangkat seiring dengan matahari terbit, menempuh perjalanan panjang dari Atambua ke arah selatan, menuju Metamauk. Nah, kali ini jalanannya Afgan… maksudnya, sadis! Bus menyusuri kelokan, tikungan, tanjakan, turunan semua dihajar dengan permukaan aspal yang berlubang. Jalan yang longsor juga kerap kami temui di sana-sini. Entah karena alasan apa, bus yang kami tumpangi mendadak berhenti di tepi jalan, di depan sebuah gubuk yang menjual kelelawar hidup, tuak dan janin kelelawar!
Bukan barang dagangan yang menyenangkan memang. Tapi kalau sampai ada yang menjual, berarti ada yang membeli kan? Saya sempatkan memfoto kelelawarnya, meski tidak tega juga melihat binatang malang ini harus terikat sayap, kaki dan moncongnya, lalu sesekali menggeliat tampak berusaha membebaskan diri selama berjam-jam digantung di tepi jalan yang panas. Di habitat aslinya kan kelelawar menggantung di tempat gelap ya… pasti dia silau banget. Jangan tanya saya buat apa menjual janin kelelawar yang direndam dalam tuak itu. Katanya sih buat obat. Entah obat apa. Saya sudah terlanjur mual melihatnya.
Tak tega berlama-lama di dekat kelelawar itu, sementara bus belum tampak akan berangkat, saya bersama Venus dan Efenerr melipir ke seberang jalan. Agak masuk sedikit dari jalan raya, ternyata ada sebuah Lopo, rumah tradisional Timor dengan atap rumbia yang tinggi. Warga menyambut kami dengan ramah, senyum lepas terulas di bibir mereka yang kemerahan lantaran mengunyah sirih-pinang. Sayang, kami tak bisa berlama-lama di sini, padahal saya pengin banget ngobrol dengan warga setempat, tapi harus segera meneruskan perjalanan. Mungkin ini pertanda saya harus ke NTT lagi. Amin. (udah deh, aminkan saja).
Di Metamauk, saya menemukan kondisi perbatasan yang tak jauh beda dengan di Wini, ketimpangan sarana antara pos perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Menurut cerita salah satu petugas, titik perbatasan ini terhitung sepi. Jauh lebih banyak arus barang ekspor dari Indonesia ke Timor Leste, meliputi bahan makanan, ternak, dan barang kebutuhan sehari-hari macam sampo, sabun, pakaian dan sejenisnya. Saat mampir ke kantor Pos Bantu Bea Cukai di Metamauk ini, kami disuguhi Sagiko, kalau melihat gambarnya ini adalah minuman kaleng rasa pisang dan mangga, tapi saya nggak ngerti sepatah kata pun yang tertulis di kemasannya. Pak Haryo, seorang petinggi Bea Cukai yang berdiri di samping saya sempat berseloroh, “Nggak ada cap dari BP POM nih minumannya!”
Warga setempat biasanya punya Kartu Identitas Lintas Batas, sehingga mereka bisa menyeberang ke Timor Leste tanpa paspor. Soalnya, sebenarnya banyak yang masih saudara tapi tempat tinggal mereka terpisah perbatasan negara. Meski telah merdeka, masih banyak warga Timor Leste yang tergantung pemenuhan kebutuhan pokoknya pada supply dari Indonesia. Jadi para pemegang Kartu Identitas Lintas Batas ini bisa menyeberang dengan membawa barang kebutuhan pokok senilai maksimal 50 dollar dan 5 ekor binatang berkaki empat tanpa dipungut bea masuk. Selain bahan pokok. saat ini sedang banyak lalu lintas bahan bangunan karena di Timor Leste sedang gencar membangun bandara baru dan jalan raya dari perbatasan Indonesia ke Covalima. Bayangkan bila bandara itu sudah jadi, pasti titik perbatasan ini jadi lebih ramai. Pertanyaannya adalah, sudah siapkah kita?
Selanjutnya rute lebih berat menuju Atapupu dan Mota’ain, serta cerita penyelundupan yang mencekam. Bersambung ya 🙂
April 18, 2017 pukul 4:27 pm
Baru dari Wini, Napan dan Atambua minggu lalu. Pemandangan memang bagus. Tapi sayang sampai perbatasannya dah sore…semoga bisa ke sana lagi.
April 21, 2017 pukul 12:07 am
amiiin!!!
Ping-balik: Kapitalisme Wisata | About life on and off screen
Ping-balik: Traveling Bikin Kulit Gosong? | About life on and off screen
Ping-balik: Pesona Pulau Lembata | About life on and off screen
Mei 4, 2015 pukul 4:57 pm
keren banget ceritanya
Mei 5, 2015 pukul 6:54 am
Thank you 🙂
Ping-balik: Info: Blogger Trip with Dirjen Bea dan Cukai | dear-ifan
Ping-balik: Penipuan Saat Traveling, Mana Yang Paling Parah? | About life on and off screen
September 8, 2014 pukul 2:03 am
Mba itulah atambua,semua serba minim.biasa pinggiran indo selalu terpinggir.coba nanti ke perbatasan indo malaysia.suku dayak pasti seru, jga sma sprti atmbua
September 8, 2014 pukul 8:37 am
Wah, saya pengin banget ke perbatasan Ind-Malaysia di Borneo… semoga segera tercapai pergi ke sana
Juni 5, 2014 pukul 4:00 pm
makasih atas cerita & foto nya biar gak sampai kesna bisa juga ngebayangin betapa elok alamnya
Juni 6, 2014 pukul 6:59 am
my pleasure Tris
Juni 5, 2014 pukul 8:37 am
Ada banyak lho yang bisa dilihat di sekitaran sini seperti pantai Wini itu pasirnya sebesar kerikil dan berwarna warna, ada yg biru, merah, putih, hijau seperti lagu balonku…. Juga waktu jalan ke atambua pasti liwat tempat yang mereka sebut ” indonesia, tanah air beta ” tempat shooting film sama oleh nia dan ari sihasale.. Pokoknya the beauty is in the roughness..
Juni 5, 2014 pukul 8:45 am
SETUJU banget, the beauty is in the roughness 😉
Juni 3, 2014 pukul 8:56 am
Sepertinya alam di NTT terlihat kering ya? Cerita yang menarik, bikin merenung, galau sekaligus bersyukur. Nggak kebayang kalau harus dinas di perbatasan dengan kondisi minim seperti itu.
Juni 3, 2014 pukul 12:55 pm
memang kering, tapi masih bisa ditanami aneka tanaman penghasil bahan pangan
September 2, 2014 pukul 6:41 pm
Itukan br sbgian kcil NTT,yg kt lhat mngkn cuman kupang dn skitarnya sj,cba jelajahi daerah yg lain di NTT khususnya flores psti km brpndpat lain lagi.bhkan km akn terkagum2 dgn kesuburannya.
September 3, 2014 pukul 5:11 pm
Nah ini ide bagus banget!! Harus segera diagendakan ke Flores, mampir ke Waerebo, trus ke Komodo, Rinca dll
Juni 3, 2014 pukul 7:09 am
cerita yang menarik mbak ^^
Juni 3, 2014 pukul 8:12 am
Terima kasih Didut 🙂
Juni 2, 2014 pukul 9:15 pm
Pengen rasanya ngeliat langsung kehidupan msy kita di daerah “terpuencil banget”,bs dibilang gitu kan mb? Dili,masih ingat sy dgn nama kota ini. Seandainya msh milik indonesia
Juni 3, 2014 pukul 8:12 am
Sayangnya Dili sudah mandiri, meski sekarang kondisinya secara umum tidak lebih baik dibanding sebelum 1999
Juni 2, 2014 pukul 10:05 am
Kalau penat kerja bisa lari ke pinggir laut… #banyakinspirasi
http://chemistrahmah.com
Juni 2, 2014 pukul 10:15 am
Ah, itu ide bagus. Trus di pinggir laut ngapain? Nulis atau mancing?
September 2, 2014 pukul 6:15 pm
Ya brendam di laut mbak,skalian mænçing,ha…ha…
September 2, 2014 pukul 6:28 pm
hahaha.. boleh!
Ping-balik: Garis Depan Indonesia (2) | About life on and off screen
Juni 2, 2014 pukul 5:15 am
Mbak kalo denger cerita temen yg di Bea Cukai perbatasan emang bikin masalah kerjaan yg di sini berasa cemen gitu. Di sana masalah yg menyangkut basic needs aja masih jadi kekuatiran kan. Dikau kayak petualangan ya ke sana hihihi dan aku gak mau bayangin soal si kelelawar itu iya kasian
Juni 2, 2014 pukul 8:42 am
Bayangin di kantor Bea Cukai gak ada telfon, air mesti nimba di sungai, listrik byarpet, mau bilang apa coba? Nah, di sambungan blog post itu, yg bagian 2 ada cerita penyelundupan yg pasti bikin Sondang lebih gak mau bayangin lagi 🙂
Juni 2, 2014 pukul 12:58 am
Duh mbak foto2nya cakep2 banget.. Apalagi foto alamnya itu loh.
Miris ya dengar/baca perbedaan itu padahal cuma sepelempar jarak saja loh (Indonesia vs Timor Leste)
Juni 2, 2014 pukul 8:40 am
betuuuul… sebenernya kalo serius, pemerintah kita bisa lho bikin pos perbatasan yg lebih baik. Btw pernah ke NTT?
Juni 2, 2014 pukul 1:51 pm
Belum pernah mbak tapi denger2 cerita teman yang udah pernah ksana katanya bagus banget.. Pengen deh suatu saat krn suka suasana alam gt, di Bali masih banyak sih pegunungan dan sawah 😀
Juni 2, 2014 pukul 3:24 pm
Aaaak… tempat favoritku di Bali adalah Tulamben 🙂
Juni 3, 2014 pukul 9:14 pm
Yuk mbak kemari lagi 😉
Juni 4, 2014 pukul 9:36 am
Pengin banget serius. Doain semoga abis lebaran ke sana lagi yaaa…
Juni 7, 2014 pukul 10:59 am
Amin ditunggu mbak 🙂 maap baru bales hihi
Juni 1, 2014 pukul 3:11 pm
Cuma bisa bilang “wow”!
#menjura
Juni 1, 2014 pukul 3:25 pm
Terima kasih Paman, akan saya sampaikan ‘wow’-nya pada petugas di perbatasan sana, masih saya simpan nomornya 🙂
Juni 1, 2014 pukul 9:35 am
Indahnya, ada laut di belakang kantor hihihi..
Kalau di JKT belakang kantor itu yaa gedung kantor lagi, atau Apartement 🙂
Juni 1, 2014 pukul 10:26 am
Atau kampung padat penduduk?
Juni 1, 2014 pukul 9:18 am
keren banget cerita en pengalamannya, Mbak. ditungguuu lanjutannya :)) *envy setengah mati*
Juni 1, 2014 pukul 10:25 am
Haaaiii… Terima kasih, lanjutannya lagi di draft, mungkin besok tayang 🙂 Mampir lagi ya?
Juni 1, 2014 pukul 10:27 am
okeee banget :))
Juni 1, 2014 pukul 7:00 am
Aduh kok rasanya saya kena tampar berkali kali baca ini, jujur perbatasan selalu bikin dilema, aku pernah lihat juga di TV yg ngebahas perbatasan dng malaysia jauh jauh jauh sekali indo dengan tu negara, ditambah masalah patok yg selalu bisa pindah. Gimana ngak pindah la wong patok cuma dari kayu..
Indonesia bisa bikin yang terbaik, masalahnya karena kata ketidak pedulian dan banyak di korup sana sini.
kita teriak kalau ketahuan kalau ngak ketahuan ya geser dikit lg…
perjalanan yg menarik kalau aku sukses mabuk darat and janin kelelawar tambah bikin mual..
Juni 1, 2014 pukul 7:45 am
Nah, soal patok perbatasan juga penting itu! Yup, memang ada penumpang bis yg muntah2 karena tikungan tajam menghantam kanan-kiri. Ria pernah liat janin kelelawar?
Juni 1, 2014 pukul 11:36 am
Belum pernah cuma bacanya ada udah merinding, ngebayang plus di campur minuman iyuuuukkk….
Juni 1, 2014 pukul 11:38 am
Dicampur sopi, sebutan utk arak lokal yg konon kadar alkoholnya tinggi… kebayang gak rasanya atau penampakannya?
Juni 1, 2014 pukul 11:54 am
Heeem jadi penasaran 😀
Juni 1, 2014 pukul 5:49 am
*menyimak*
Ditunggu cerita selanjutnya 😀
Juni 1, 2014 pukul 7:41 am
Terima kasih udah menyimak. Cerita selanjutnya lagi di draft 😉
September 4, 2014 pukul 1:10 pm
atambua kab belu, adalah alam nya indah dari pantai, pegunungan, dan budaya yang unik, di atambua kab belu sendiri ada 4 bahasa daerah yaitu, bahasa tetun, bahasa kemak, bahasa bunak dan bahasa dawan. mereka hidup rukun dan membaur dengan suku – suku yang lain.
September 4, 2014 pukul 1:25 pm
atambua kab belu, adalah alam-nya indah dari pantai, pegunungan, dan budaya yang unik, di atambua kab belu sendiri ada 4 bahasa daerah yaitu, bahasa tetun, bahasa kemak, bahasa bunak dan bahasa dawan. mereka hidup rukun dan membaur dengan suku – suku yang lain.
September 6, 2014 pukul 10:52 pm
wah terima kasih informasinya Max 🙂