Pengumuman buat penggemar film dokumenter di Jabodetabek: tontonlah sebanyak mungkin film dokumenter di Chopshots Documentary Film Festival selama pekan ini. Selain nonton film dokumenter berkualitas internasional, kita juga bisa mendatangi fringe events berupa master class dan sesi diskusi seru bareng para filmmaker kelas dunia, dan semua gratis. Misalnya Rabu kemarin, ada sesi diskusi membahas The Future Of Documentary bareng Leonard Retel Helmrich, filmmaker kondang berdarah Indonesia-Belanda yang filmnya sudah mendapat penghargaan di IDFA, Sundance dan banyak lagi. Lalu pembicara satunya lagi adalah Nguyen Trinh Thi dari Vietnam, pendiri dan pengelola DocLab di Hanoi yang sudah merasakan jatuh bangunnya bergerilya mempopulerkan film dokumenter di negerinya yang (menurut Thri sendiri) opresif. Lalu ada saya sebagai moderator diskusi ini. Hehehe…
Secara ringkas, menurut Leonard di jaman digital sekarang ini membuat film memang secara teknis makin gampang. Pakai smart phone aja udah bisa jadi film, dan umumnya menjadi format film dokumenter karena tidak butuh mencari dan mengarahkan aktor. Dengan begitu non filmmaker pun bisa bikin film. Outputnya semakin banyak film yang beredar dan dibagikan melalui internet. Menurut Leonard, dengan demikian film telah menjadi medium untuk berkomunikasi yang lumrah, tidak lagi eksklusif bagi filmmaker.
Pertanyaannya adalah apakah film-film tersebut ada yang nonton? Hal ini akan melalui ‘seleksi alam’, terlepas siapa yang membuat, film yang menarik akan menemukan penontonnya. Tetap saja hanya film-film yang bagus secara content dan kualitas teknis yang mendapat tempat di public screening, termasuk festival atau mendapatkan distributor sehingga pembuatnya layak disebut sebagai filmmaker. Di Indonesia masih sangat sulit bagi film dokumenter untuk bisa tayang di bioskop. Dalam satu dekade ini baru ada 2 film dokumenter yang berhasil melakukannya, yakni The Conductors (2008) dan Jalanan (2014), keduanya mengangkat kisah orang-orang yang punya passion terhadap musik.
Perkembangan ini juga membawa banyak style baru dalam pembuatan film dokumenter, termasuk semakin tipisnya garis antara film dokumenter dan fiksi. Misalnya film-film fiksi yang openingnya menggunakan footage dari film dokumenter karena mengangkat cerita dari kisah nyata (salah satunya dilakukan film Indonesia berjudul Romeo Juliet – 2008), atau sebaliknya, film dokumenter dengan treatment dan tampilan mendekati film fiksi. Leonard juga menunjukkan contoh footage yang dia buat dengan teknik collective shot dimana pergerakan kamera menjadi begitu lancar, mengalir dan luwes menembus dinding atau jendela di dalam film dokumenternya. Sangat menarik!
Sementara Nguyen menyoroti perkembangan film dokumenter di Vietnam dimana kontrol pemerintah tak mungkin dihindari. Katanya sensorship sangat ketat, susah dapet ijin untuk bikin film di ruang publik, apalagi bikin festival film dengan screening yang menghadirkan massa seperti di Jakarta ini, katanya masih ngimpi deh! Nguyen bilang dia iri melihat di Indonesia orang bebas bikin film dokumenter tentang apapun, termasuk yang mengkritik pemerintah, lalu bebas bikin pemutaran film sampai roadshow ke daerah-daerah. Dia belum bisa membayangkan kapan kebebasan berekspresi seperti ini bisa mereka nikmati di Vietnam. Saya seperti ditampar pas mendengar penuturan Nguyen ini. Selama ini saya leluasa blusuk’an ke berbagai pelosok Indonesia buat shooting dokumenter… and I took it for granted.
Konsekuensinya, film-film karya sineas Vietnam lebih banyak yang dikirim ke festival internasional dan ditonton oleh khalayak di luar negeri. Konsekuensi lain, kebanyakan film sineas Vietnam shootingnya dilakukan indoor, untuk menghidari ribetnya perijinan dan campur tangan aparat pemerintahan. Dulu film-film dokumenter Vietnam banyak yang bergaya reportase, menjelaskan kejadian atau fenomena di sekeliling pembuat filmnya. Tapi belakangan, juga karena maraknya media digital dan smartphone, semakin banyak film dokumenter Vietnam yang lebih personal, dimana para filmmaker merekam dan bercerita tentang kehidupan mereka, tentang isu-isu yang sangat personal yang jaman dulu tidak akan berani mereka sampaikan di depan kamera.
Obrolan pun bergulir ke soal distribusi dan market film dokumenter di Asia Tenggara dan dunia, termasuk bagaimana memanfaatkan media distribusi konvensional yaitu TV dan new media, yaitu internet. Peserta diskusi juga semakin panas berkomentar serta bertanya soal banyak hal. Seperti biasa, pas awal dibukanya sesi tanya jawab nggak ada yang mau nanya, eh giliran lima menit lagi diskusi harus ditutup, baru deh pada berebutan angkat tangan buat tanya! Huh! Bikin susah moderatornya aja. Nah, rangkaian Chopshots masih panjang, banyak film keren yang bakal diputar di TIM, Goethe Haus dan kampus Binus fX. Jadwal dan sinopsis filmnya ada di sini, yuk nonton!
April 30, 2014 pukul 8:29 pm
Kenapa di film dokumenter susah ditayangkan di bioskop, mbak? apa terkait dengan regulasi atau cuma soal monopoli semata?
Mei 1, 2014 pukul 8:45 pm
Soal monopoli aja kak, pihak pemonopoli bioskop itu merasa film dokumenter kurang komersil, takut nggak laku, takut profit mereka berkurang….
April 28, 2014 pukul 7:17 pm
eeh aku kemarenan dulu itu naik bis yang ada pengamennya, ternyata si pengamen itu si “Ho” yang main di film jalanan itu, dia promosiin filmnya dia itu, tp aku ga nonton filmnya
April 28, 2014 pukul 7:59 pm
Wah, sayang… hehehe… kalau masih ada waktu luang, masih tayang di Blitz sih. 😀
April 28, 2014 pukul 6:55 pm
Kabarnya film Jalanan ini keren ya mbak. Sayang gak nyampe Balikpapan deh keknya.
April 28, 2014 pukul 7:58 pm
Iya, keren. Iya, emg hanya tayang di bioskop terbatas sih.
April 27, 2014 pukul 6:25 pm
The Conductors masih bisa dibeli DVD-nya di Blitz Grand Indonesia. Ada link utk kegiatannya Jalanan itu?
April 27, 2014 pukul 10:35 am
The conductor belum nonton, kira2 ada dvdnya gak ya? Sayang akhir pekan ini konsentrasi difokuskan ke inacraft.
Btw, sutradara film Jalanan lagi ngumpulin uang buat beli rumah bagi tiga orang tersebut, kalau pada mau nyumbang.
April 26, 2014 pukul 4:11 pm
Aku suka film dokumenter kalau pengemasannya bagus.. 😀
Tapi The Conductors dan Jalanan ini aku belum nonton deh… kayaknya seruu ya Chopshots Documentary Film Festival x)
April 27, 2014 pukul 6:18 pm
The Conductors masih bisa dibeli DVD-nya di Blitz Grand Indonesia, kalau Jalanan mungkin msh ada di bioskop… atau tunggu di iTunes?
April 26, 2014 pukul 10:39 am
Waah…ketinggalan pas kak tika jadi moderator…
April 27, 2014 pukul 5:31 pm
Wah, sayang banget. Itu peristiwa langka! 😀
April 26, 2014 pukul 8:31 am
Film Film di atas nangkring di bioskop cuma paling banter 3 hari , tayang juga hari kerja so susah mau nonton mana bioskonya 21 aja kalau XX1 selalu ngak mungkin ada. jauhhhh dari rumahh.
April 27, 2014 pukul 5:28 pm
Waaa… Ria tinggal di mana? Kalau di Jkt, kedua film dokumenter di atas main di bioskop sampai 3 minggu. Entah klo di kota2 lain 🙂
April 28, 2014 pukul 11:44 am
bener nih, di semarang juga kadang gitu. kalo penonton dikit ya langsung diganti film yang “konon” akan lebih banyak mendatangkan penonton. 😦
April 28, 2014 pukul 3:13 pm
Bener banget, krn memonopoli jaringan bioskop, 21 cinepleks bisa seenaknya menurunkan film yg bagus pdhl br tayang 1-2 hari. Sedih -_-
April 29, 2014 pukul 9:33 pm
betul sekali wahyu, tapi tetap kita tidak menyalahkan bioskopnya karena kalau di pertahankan biaya operasionalnya Tinggi jadi ngak nutup kalau pajang film yang ngak laku 🙂
Mei 1, 2014 pukul 8:46 pm
Jadinya seperti vicious circle ya 😦
April 26, 2014 pukul 4:50 am
sayang bgt pas hari balik ke belgia dari indonesia, film jalanan baru aja tayang di bioskop..kelewatan deh 😦
April 27, 2014 pukul 5:22 pm
Waaah… tunggu nanti nongol di iTunes?
April 26, 2014 pukul 12:12 am
Selalu pengen nonton tp ga pernah kesampaian. Yg di Bali, kalo ga jadwalnya bentrok, ya lokasi nontonnya yg jauh hiks 😦
April 26, 2014 pukul 4:51 pm
Hmm… yuk liburan ke Jkt biar bisa ntn chopshots? 😉
April 28, 2014 pukul 9:37 am
Nanti diatur deh mbak hehehe
April 28, 2014 pukul 3:11 pm
Hahaha… atau semoga aku yg bisa ke Bali. Udh lama banget gak ke sana, terakhir ke Bali shooting di Singaraja 🙂
April 28, 2014 pukul 3:53 pm
AMIN! didoain kuat2 hehehe 😀
April 25, 2014 pukul 8:52 pm
Thanks infonya mbak…aku selalu suka film dokumenter.
April 26, 2014 pukul 3:46 pm
Thanks! Wulan biasanya nonton film dokumenter dimana?
April 26, 2014 pukul 8:01 pm
biasanya di youtube sih mbak….karena aku nggak langganan tv kabel. Biasanya film-filmnya National Geographic. Sayangnya udah dapat jadwal tapi belum ke TIM dan Goethe.
April 27, 2014 pukul 6:29 pm
Sayang banget Wulan, hari ini terakhir, penutupan Chopshots