BLOG Swastika Nohara

Life is the coffee, while jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life.

Memburu Rumah Idaman

36 Komentar

Banyak orang bilang, mencari rumah itu jodoh-jodohan. Menurut saya sih, lebih susah cari rumah dari pada cari jodoh! Jodoh datang sendiri, malah bisa milih dari beberapa options yang menghampiri. Tapi untuk menemukan rumah idaman, harus riset, survey dan rajin cek lokasi yang prosesnya panjang dan melelahkan. Jadi lebih mudah cari jodoh kan? Hehehe… Seriously, memburu rumah idaman itu nggak gampang. Ini yang saya rasakan saat beberapa waktu lalu mau pindah rumah.

Bermula dari ketidakpuasan saya saat tinggal di rumah lama, di sebuah perkampungan di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Rumah lama saya termasuk ‘perkampungan’ di tengah kota. Lokasinya di sebuah gang buntu di Cilandak, Jaksel. Rumah lama saya sebenarnya menyenangkan, dua lantai, bangunannya kokoh dan terasa nyaman karena ada taman kecil di depan dengan pohon mangga dan air mancur kecil. Kekurangannya jalan di depan rumah hanya muat satu mobil, repot kalau ada teman atau saudara yang datang nggak bisa parkir mobil. Udah gitu, keturunan pemilik tanah yang lama masih tinggal di mulut gang, dan dia orangnya nyentrik. Kita panggil dia si Engkong. Bayangkan, ujung gang itu ada portalnya, digembok oleh Engkong tiap jam 12 malam hingga jam 5 pagi, tiap keluarga memegang kunci tersendiri. Terus tanpa pemberitahuan, Engkong pernah mengganti gembok portal tersebut! Lha, beberapa penghuni yang pulang malam ya nggak bisa masuk dong! Tetangga sebelah dan suami saya termasuk yang ngomel karena nggak bisa masuk gang rumah sendiri. Akhrinya suami saya terpaksa putar balik dan memarkir mobilnya di Citos, mal dekat rumah, lalu pulang naik ojek. Repot kan?

Setelah banyak pertimbangan, kami memutuskan harus pindah rumah. Maka saya mulai mencari lokasi di Jakarta Selatan. Saya mempertimbangkan apakah mau cari rumah di lokasi ‘perkampungan’ lagi, di kompleks perumahan atau di cluster. Dalam proses memilih ini saya susunlah semacam list plus-minusnya tinggal di setiap type hunian itu.

Tampak depan rumah kami yg kokoh dan asri

Tampak depan rumah kami yg kokoh dan asri


Perkampungan

Enaknya tinggal di tempat yang tidak dikelola pengembang ini biasanya adalah kawasan ‘lama’ sehingga penghuninya akrab dan rasa kekeluargaannya tinggi. Penghuninya sangat guyub, kenal seluruh anggota keluarga tetangga sampai ke anak-cucunya. Warganya masih suka ngumpul buat kerja bakti dan arisan. Buat orang yang senang bergaul, akan menyenangkan tinggal di tempat macam ini. Kalau mau buka warung atau toko kecil di rumah, juga nggak sulit. Biaya pemeliharaan lingkungan (iuran RT) sangat murah, cuma Rp 20.000 perbulan. Akses pada tukang sayur, tukang roti, tukang bakso dan sejuta pedagang keliling lainnya sangat mudah. Pokoknya kita nggak mungkin kelaparan.

Tidak enaknya adalah karena saking kenalnya sama tetangga, jadi sering ngomongin satu sama lain. Saya sih bukan type yang peduli sama omongan orang, tapi kadang geli juga mendengar satu tetangga membicarakan tetangga yang lain. Di area semacam ini kesenjangan sosial terlihat nyata dari rumahnya. Rumah gedong bisa saja bersebelahan dengan rumah sangat sederhana.

Satu hal yang perlu diperhatikan kalau mau beli rumah atau tanah di perkampungan adalah keabsahan surat-suratnya, pastikan notarisnya jelas, riwayat kepemilikan tanahnya jelas untuk menghindari akta dobel. Jangan sampai rumah atau tanah sudah kita beli, belakangan ada orang lain yang memegang surat tanah dan mengaku sebagai pemiliknya atau ahli waris dari pemilik awalnya. Ini bikin pusing dan menghabisakan uang untuk membereskannya.

Kompleks Perumahan

Tinggal di kompleks perumahan yang diciptakan oleh developer menyenangkan karena lingkungannya tertata rapi, kesenjangan antar penghuni juga tidak terlihat nyata. Kalau beruntung, kita bisa dapat tetangga yang seumuran, misalnya sama-sama keluarga muda dengan anak kecil, sehingga bisa lebih ‘klik’. Hal ini juga memungkinkan punya kehidupan sosial yang seimbang, artinya tidak terlalu mencampuri urusan tetangga tapi masih saling kenal dan bisa ngobrol. Kompleks perumahan yang baik juga menyediakan taman atau ruang terbuka lain yang bisa dipakai bersama untuk tempat bermain sepeda anak-anak. Bagi saya yang punya anak kecil, public space ini penting. Kompleks perumahan pada umumnya masih bisa dimasuki tukang sayur dan penjual makanan.

Sayangnya mencari kompleks perumahan di Jakarta yang masih punya space kosong itu sangat sulit, kalau pun ada harganya sudah sangat mahal. Kebanyakan pengembang sekarang berlokasi di Depok, Bekasi, Tangerang, Cibubur atau Bogor. Kalau penghuninya bekerja di Jakarta maka rute commuternya akan sangat melelahkan.
Screen shot 2014-03-31 at 7.08.43 PM

Cluster Perumahan

Sepengamatan saya, trend perumahan dalam cluster, dimana sekelompok rumah dalam jumlah sedikit disatukan dengan pagar atau batas area yang jelas lalu dijaga satpam 24 jam, merebak dalam satu dekade ini di kota besar. Tinggal di cluster penghuni merasa lebih aman, lingkungan tertib, bersih, asri, apalagi kalau desain rumah-rumahnya tanpa pagar. Saya suka sekali berada di lingkungan yang setiap rumahnya tidak berpagar, kesannya lega, nyaman dan aman.

Kesenjangan sosial antar tetangga tidak menyolok, kalau beruntung bisa dapat tetangga yang seumuran. Jadi meskipun masing-masing sibuk bekerja, penghuni masih ngumpul dalam acara 17 Agustusan atau lebaran dan masih bisa ngobrol dalam pertemuan antar warga setiap 2-3 bulan sekali. Sebagian warga di tempat tinggal saya malah rajin jalan pagi bareng setiap week end.

Kesulitan bisa timbul karena biasanya pengelola cluster tidak mengijinkan tukang sayur atau pedagang keliling masuk, demi ketertiban. Bagi saya keterbatasan ini malah menjadi alasan untuk jalan pagi ke pasar kecil di luar cluster sekalian berbelanja. Kalau saya lagi males, ya minta tolong PRT. Tapi percayalah bahwa pekerja sektor informal di Jakarta ini kreatif dan jeli melihat peluang. Tahu ada cluster perumahan, abang-abang tukang sayur dan makanan buka lapak diluar cluster (tapi masih dekat) bahkan ada yang melayani delivery via sms. Teman-teman ada yang punya pengalaman delivery dari tukang sayur?

Setahun lamanya kita mensurvery berbagai lokasi di Jakarta Selatan untuk memburu rumah idaman. Ada masanya saya rajin ke pameran property, ngumpulin brosur perumahan, melihat-lihat online dan mendatangi lokasi terpilih satu-persatu untuk survey. Ini proses yang sangat melelahkan… Tapi memang mencari property itu bukan perkara mudah.

Akhirnya saya memilih tinggal di sebuah cluster di Lebak Bulus karena lokasinya sangat dekat dengan sekolah anak saya, cukup jalan kaki sebentar. Kalau kamu, punya preferensi tinggal di area yang macam apa dan alasannya apa?

Penulis: Swastika Nohara

I'm a freelance content and script writer for movies, television, commercials and internet-related content. With a team, I also do documentaries, video tutorial, video presentation and corporate video. I'm based in Jakarta but eager to travel anywhere on earth. For me, life is like a cup of coffee. Life is the coffee while jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided…. So, don’t let the cups drive you, enjoy the coffee instead!

36 thoughts on “Memburu Rumah Idaman

  1. I am regular reader, how are you everybody? This article posted
    at this site is truly pleasant.

  2. Salam kenal, saudaraku dulu juga susah cari rumah di jkt, tapi akhirnya dikasih tau temen untuk langsung menghubungi ke kontraktor, cuma 1minggu udah langsung dapet, pilihanya jg banyak, kontraktor punya banyak pilihan, baik yg di pinggiran kota maupun dalam kota.

  3. Salam kenal mba. Aku pilih komplek karena lingkungannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Kebetulan tidak harus dekat dengan pusat bisnis jakarta, dan tidak harus rumah baru. Yang penting masih layak huni. Tetapi aku lebih tertarik dengan rumah mbak yang lama. Apakah ada pengalaman menjual rumah yang bisa di share? Ada rencana mau jual rumah nih. 🙂

  4. Jadi kebayang ya, kalo tidak domisili di Jakarta dan ingin beli properti di Jakarta jadi susah buanget, malah mungkin impossible, karena informasi sangat tergantung dari info online….

  5. Dari dua foto diatas yg ilustrasi kompleks dan cluster perumahan, mana yg rumahmu kakak? hahahaha…

  6. Dari kecil tinggal di kompleks perumahan sih. Dulu akrab juga ama tetangga, tapi sekarang sibuk jadi jarang ngobrol. 🙄

  7. Lagi ngtrend banget sekarang cluster2 ini, penghuni nya dikit tapi nyaman. Cuman kalo gw lebih demen tinggal agak2 perkampungan ditengah2 kota macam menteng atas, tebet, pejompingan dll karena deket kemana2 🙂

  8. biar tenang enakan di komplex mmg 😉

  9. Aku suka analoginya lebih susah cari rumah idaman ketimbang cari jodoh. Tapi banyak yg blm dapet jodoh alias lajang. Selamat ya mbak Tika.. 🙂

  10. Salam kenal mbak. Perkenankan saya bertanya, kalau perumahan di area yang mbak sebutkan itu, kisaran harganya berapa ya? Masih ada ndak perumahan baru yang baru dibuka oleh developer, indent juga nggak apa-apa karena kebutuhan kami ndak buru-buru, tapi harus segera diproses soale kalo ditunda lagi takutnya harga makin naik. Kalau masih ada sekalian infonya ya mbak. Makasih mbak.

    • Klo mau apartment, ada tuh, The Alpen di Fatmawati raya yg udah deket pasar Pd Labu. Atau klo mau cari yg lain coba aja cek websitenya Lamudi yg tertulis di artikel blog ini 😀

  11. Aku juga lagi cari-cari rumah nih kak, udah lama juga kayak kakak itu, liat pameran, kumpulin brosur sampe semua website property yang kira-kira bagus udah aku ceki-ceki tapi belum dapet yang klop bener. Tapi webnya Lamudi aku belum cek sih, soalnya belum tau. Untung baca blog kakak ini lha, coba aku liat-liatnya dulu, barangkali ada yang bagus bwt disurvey. Kakak kan di cilandah nih ya, kalau di sekitar situ masih ada yang dibawah 1M gak kak?

    • Wah, tergantung ukuran juga, tapi gak yakin masih ada yg segitu di Cilandak. Coba deh cek website Lamudi yg linknya ada di artikel blog itu

  12. Ulasan yang menarik! Memang semakin sulit mencari rumah di kota besar, pada awalnya pasti banyak sekali pertimbangan, terutama soal lokasi, karena semua orang pasti inginnya mendapat lokasi yang strategis, dekat dengan tempat kerja atau paling tidak akses transportasi menuju tempat kerja mudah. Setelah semau pencarian itu, ujung-ujungnya adalah pilihan mana yang pas di kantong 🙂

  13. huahaha bner mba lebih susah cari rumah drpd cari jodoh.. aku lagi pusing ini gegara lagi nyari2 rumah yang pas. kadang ada yg udah suka tp harganya gak cocok hahaha kadang ada yg harganya cocok tp ada aja masalah lainnya.. maunya sih di perumahan atau yang lagi hits sekarang di jkt kan rumah cluster, dimana2 cluster sekarang. soalnya pertimbangannya banyak juga jadi agak susah nyarinya..

    • Iya, buat yg baru nyari rumah sekarang ini mmg pilihannya lebih banyak cluster krn tanah yg tersedia bagi pengembang juga tdk terlalu luas. Enjoy aja sih, kalo mmg dapetnya cluster aku rasa no problemo 🙂

  14. Aku anak kos, tinggalnya di tengah kota, kamar dibersiin, tahu beres (manja!!) dan nggak kenal tetangga. Urusan nggak kenal tetangga ini menurutku lebih menyenangkan karena nggak perlu basa-basi dan ngerumpi. Dibesarkan di perumahan, aku nggak demen dengan lingkungan sekitarnya yang hobinya ngerumpi, sirik-sirikan dan memfitnah.

    • Ah, lucky you bisa tinggal di tengah kota dan kamarnya ada yg bersihin 🙂 Jaman aku kos dulu semuanya bersihin sendiri, bibik kos cuma bersihin common room dan dapur bersama.

  15. Bener banget.nyari rumah lebih susah dari cari jodoh… prosesnya cukup panjangggg dan melelahkan. Yg akan kami tempati nanti bertipe cluster kecil. Yg penting ada space buat anak2 bermain diluar dan aman. Belum tau kapan pindahnya. Tapi yg pasti akhirnya setelah sekian lama nunggu..akhirnya jadi juga punya rumah di jakarta ehhh ditangerang mksudnya. Karena eh karena harga property makin hari makin ga masuk akal. :)))
    Sebenernya saya lebih suka diaderah komplek gitu or perumahan yg tukang sayur or pedagang bisa masuk….hidup lebih simple dan berwarna…tp buat keamanan ya lebih enak cluster mungkin 🙂
    Eh iya selamatbya mba buat novel papua berkisahnya.kemaren aku carindi gramedia belum ada. Kalo nemu aku pasti beli 🙂

    • Wah, thank you Joey udh mencari novel Papua Berkisah. Di Gramedia mana yg belum ada? Akan kuinformasikan ke penerbitnya supaya mereka bs memperluas distribusi.
      Nah, itu dia! Harga property di Jakarta emang makin gak masuk akal dan makin bikin pusing kepala! Akhirnya Tangerang, Depok, Bekasi yg jd pilihan.

  16. Aku lbh suka tinggal d komplek Mba, tp apa daya, setelah nikah, kita survey2 sana sini dan harga rmh di dlm komplek ini harganya selangit aja di sekitaran jagakarsa. Akhirnya mencari alternatif ke-2 yaitu rmh di dlm cluster.

    Emang jodoh, ktm deh sm rmh skrg 🙂

    • Wah selamat!! Jaman sekarang pilihannya mmg lebih banyak cluster, krn lahannya yg dikelola pengembang juga lebih kecil 😀

Tinggalkan Balasan ke Swastika Nohara Batalkan balasan