Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata ‘paper frame’? Yup, frame foto dari kertas, itu makna harfiahnya. Saya juga mikir gitu waktu dapat undangan blogger gathering membuat paper frame. Saya pikir, asik nih bisa ngajak si kecil ikut workshop bikin frame foto, sejalan dengan program saya untuk tidak ke mall pada saat week end. Saya pikir kita akan membuat frame foto 2D dengan hiasan kertas warna-warni yang biasa dipajang gitu. Oke sip. Mari berangkat.

Ternyata sampai di lokasi, resto Kopi Tiam Tan di SCBD, yang kami temukan jauh berbeda. Acara dimulai dengan makan siang, lalu presentasi dari Opera sebagai penyelenggara workshop. Iya, Opera yang browser itu! Lho, kok Opera bikin acara workshop bikin paper frame sih? Bingung kan? Hahaha… Saya pun agak kesulitan menemukan missing link antara browser yang versi terbarunya berdesain sangat minimalis dan enak dilihat ini, dengan kegiatan menggunting, melipat dan menempel kertas menjadi paper frame. Anyway, missing link itu nggak penting, nggak sepenting missing linknya teori Darwin-lah.

Begitu kami datang ke lokasi acara, kami disambuat deretan cup cakes, cookies, dan kue-kue cantik berlogo Opera. Terus langsung difoto pakai kamera Polaroid. Bagian ini mengingatkan saya pada acara piknik ke monas jaman saya masih kelas 4 SD, tahun 80-an saat kami di puncak Monas menggunakan jasa tukang foto keliling yang memakai kamera Polaroid. Jepret, kipas-kipas 5 menit fotonya jadi! Nah, foto inilah yang akan diframe di dalam sebuah kardus! Mirip kardus sepatu gitu bentuknya. Setiap peserta dibagikan kardus, kertas-kertas, stiriofoam, penggaris, pensil dan lem Uhu.

Sebenarnya saya sudah sering melihat paper frame macam ini di toko art & craft, tapi saya tidak pernah tertarik untuk meliriknya, apalagi membelinya. Tapi kini saya, anak saya, dan beberapa teman berkomitmen meluangkan waktu 3 jam untuk membuatnya. Huhuhuhu… Ternyata ini komitmen yang berat! Saya tidak menyangka untuk menggambar pola, menggunting, melipat, menyusun dan menempel kertas-kertas ini butuh kesabaran luar biasa… Level kesabaran dan ketekunannya harus tingkat dewa! Pokoknya, kegiatan bikin paper frame ini cocok banget buat training anger management. Hehehe…

Tantangan terbesar saya bukannya kesulitan saat mengolah bahan-bahan itu. Tapi karena kedua telapak tangan saya selalu basah berkeringat. Meskipun di dalam ruang ber-AC. Bayangkan, meski bikin paper craft dengan tangan yang basah dikucuri keringat…. Dulu waktu SD sampai kuliah dimana tiap hari harus menulis di atas kertas, saya selalu mengalasi telapak tangan dengan sapu tangan atau tissue, biar buku tulis saya tidak basah. Jadi laptop adalah dewa penyelamat, karena saya tidak lagi harus menulis di atas kertas.

Untung ada Nat, Eno dan mamah Wiwik yang duduk di pojokan ceria bersama saya dan si kecil. Lagu-lagu cihuy dari iPadnya Nat dan Eno menghibur kami, plus nyanyian tanpa henti dari mulut anak saya yang tak bosannya mengulang lagu “Do you wanna build a snowman” dari film Frozen. Satu demi satu saya gambar, gunting, lipat dan tempel hiasan menjadi paper frame, sambil sesekali membantu anak saya menyelesaikan paper frame karyanya, terutama saat potong-memotong dengan cutter yang tajam. Saya masih belum bisa membiarkannya mengoperasikan cutter sendiri. Akhirnya, tiga jam kemudian, paper frame kami selesai sudah!

Tak disangka, paper frame bikinan saya dinobatkan menjadi ‘Karya Paling Kreatif’ oleh tim juri dari Opera dan kak Amesh sebagai pembimbing kami dalam membuat paper frame. YAY!!! Asiiik… Dapet hadiah puff bundar nan empuk plus voucher MAP senilai Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah), plus cup cake lucu dari Opera. Anak saya emang seneng banget bikin prakarya, jadi sisa-sisa kertas dari kegiatan ini dia minta bawain pulang, dan di rumah langsung bikin satu lagi paper frame memakai kardus sepatu bekas. Saya senang melihat dia senang. Ini kegiatan kami week end kemarin. Apa kegiatanmu di saat akhir pekan?