BLOG Swastika Nohara

Life is the coffee, while jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life.

Swastika Nohara

Membuat Film Dokumenter Itu Gampang

65 Komentar

Oya? Masa sih? Pasti saya digugat oleh para pembuat film dokumenter karena judul di atas. Sabar sedikit, ada alasannya kenapa judul itu tercipta. Tulisan ini adalah oleh-oleh untuk beberapa orang kawan yang tahu saya mengikuti Strategy Workshop for Producers bersama para pembuat film dokumenter se-Asia Tenggara. Goethe Institut di Kuala Lumpur menjadi tuan rumah, menerbangkan 19 orang pembuat film dokumenter dari berbagai negara, menyediakan hotel dan fasilitas lainnya selama workshop berlangsung 2–5 Oktober lalu. Jadi, kenapa membuat film dokumenter itu gampang sih?

Workshopnya sendiri sebenarnya fokus pada strategi distribusi setelah sebuah film dokumenter selesai dibuat. Tutornya ada dua, Simone Baumann, seorang produser yang khusus film dokumenter dari Jerman, dan Nick Deocampo, seorang filmmaker dan dosen dari Manila, Filipina. Masalah utama bagi filmmaker dokumenter Asia adalah biasanya yang jadi sutradara itu merangkap produser, malah kadang merangkap publisis dan sederet kerjaan lain. Jadi mau nggak mau, workshop ini juga membahas masalah produksinya.

Sebenarnya ada untungnya juga kalau sutradara merangkap produser karena dia akan sangat mengerti film yang dibuatnya dari berbagai sisi. Misalnya nih, ada calon distributor dari luar negeri menghubungi, minta sinopsis dan berbagai materi promo filmnya. Lalu sang distributor itu mau mengemas ulang film tersebut untuk audience tertentu. Nah, kalau produsernya itu merangkap sutradara, tentu diskusi tentang konten film bisa dengan lancar terjadi, sang produser/sutradara bisa dengan gamblang menjelaskan isi filmnya dan segala kemungkinan mengemas ulang tanpa mengurangi isinya.

Ruangan diskusi di gedung Perbadanan Kemajuan Filem Nasional Malaysia (Finas) yang keren tapi kayaknya jarang dipakai, terendus dari aromanya

Ruangan diskusi di gedung Perbadanan Kemajuan Filem Nasional Malaysia (Finas) yang keren tapi kayaknya jarang dipakai, terendus dari aromanya


Di sebelah saya itu KM Lo, si filmmaker gokil yg 4 tahun sengaja homeless di Jepang utk keperluan shootingnya

Di sebelah saya itu KM Lo, si filmmaker gokil yg 4 tahun sengaja homeless di Jepang utk keperluan shootingnya

Dalam salah satu sesi, Simone menggambarkan kalau pasar film dokumenter di Eropa sekalipun sebagian besar masih terpusat di televisi. Sangat sedikit film dokumenter yang menembus laya lebar, dan biasanya itu terjadi pada film-film dengan budget besar yang dibuat bertahun-tahun oleh production company ternama. Sementara small time filmmakers ya sama aja kayak disini, harus berburu commissioning opportunity dan mengais grant yang berserakan diluar sana.

Bicara soal grant atau dana hibah yang biasanya diberikan oleh lembaga nirlaba, memang banyak banget jumlahnya dan ragamnya. Tapi buat dapetinnya juga gak gampang karena sangat kompetitif. Jadi mending bikin film yang bagus, terus dijual sendiri sehingga ada profit, tanpa harus tergantung pada grant. It’s something nice to have but we should not make it a necessity.

Lalu bagaimana caranya memasarkan film dokumenter? Hello… memasarkan film fiksi yang jelas-jelas ada marketnya dan diputar di bioskop aja setengah mati, lah ini ngomongin film dokumenter yang secara umum kurang populer dan medium tayangnya masih didominasi televisi. Karena itulah saya berani bilang bahwa membuat film dokumenter itu (lebih) gampang dari pada memasarkannya. Di sini Nick Deocampo memjelaskan contoh kasus dari film dokumenternya sendiri.

Nick, dengan gaya bicaranya yang sangat animated, berapi-api dan penuh ekspresi, secara khusus menyasar dunia pendidikan. Sangat masuk akal, mengingat film dokumenter biasanya punya pesan pendidikan yang kuat. Bukan berarti semua film dokumenter lantas cocok dan dapat diedarkan dalam koridor pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi. Kriteria pertama tentu kelompok umur calon penontonnya, apakah sebuah film cocok untuk semua umur atau hanya cocok untuk penonton dalam rentang umur tertentu. Kriteria kedua adalah materi dalam film itu, apakah temanya tentang lingkungan, land ownership, musik, seni, LGBT atau tentang olah raga. Film tentang LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual & Transgender) mungkin hanya bisa diterima di sebagian institusi.

Kriteria ketiga, adalah standar teknis yang memadai. Paling nggak gambar steady dan jelas, audio juga jelas dan editing rapi. Kriteria keempat, dan sebenarnya ini sebuah siasat distribusi jitu, adalah dengan menyertakan teacher guidance booklet. Booklet kecil ini berisi panduan bagi guru atau dosen, tetang materi apa saja yang bisa didiskusikan dengan sebuah film, baik sebagai pembawa pesan utama maupun sebagai pengantar. Sebenarnya masih sangat banyak materi yang sangat menarik dan luar biasa berharga dari Nick Deocampo. Tapi akan terlalu teknis kalau saya tuliskan di blog ini. You can always contact me on the comment space here for further details.

Nick Deocampo, Anh Xuan Duong, Thantien, Jude, Yati & saya di depan poster acara, di halaman Gd. Finas Malaysia

Nick Deocampo, Anh Xuan Duong, Thantien, Jude, Yati & saya di depan poster acara, di halaman Gd. Finas Malaysia


Documentary rock stars! All participants with tutor Simone Baumann, Nick Deocampo, & organizer Lulu Ratna, David Ngui.

Documentary rock stars! All participants with tutor Simone Baumann, Nick Deocampo, & organizer Lulu Ratna, David Ngui.

Sebagai catatan pinggir, acara ini juga ajang networking yang seru banget dengan para pembuat film dokumenter dari Malaysia, Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Myanmar dan Hongkong. Oke, Hongkong memang bukan bagian dari Asia Tenggara tapi ada seorang filmmaker dari Hongkong yang bikin film di Thailand sehingga berkat projectnya ini dia diundang ke workshop. Namanya K.M Lo, panggilannya KM. Iya, huruf konsonan semua! Orangnya kocak banget, sesuai sama projectnya, sebuah film dokumenter eksperimental berjudul Tuktuk Cinema. Taglinenya: Tuktuk Cinema, documentary school by day, cinema at night. Atau kira-kira gitu deh, saya agak lupa! Hahahaha…

Lalu yang menarik juga adalah Lin Sun Oo dari Yangon, Myanmar. Sejak acara welcome dinner di malam pertama, saya kebetulan duduk disampingnya, dan semesta membawa kami sering duduk sebelahan selama workshop jadi kami cukup banyak bertukar cerita. Lin ini sekolah formalnya jurusan filsafat, sampai S2. Karena dia capek galau terus selama menjadi filsuf, akhirnya dia menemukan kalau bikin film dokumenter itu jauh lebih menarik dan tetep bisa curhat melalui filmnya. Ahay! Salah satu karyanya berjudul (Th)ink sebuah film dokumenter pendek yang puitis sekaligus dalam. Oh, dan dia satu-satunya peserta luar Indonesia yang tahu nama presiden Indonesia lho. Pada sebuah kuis iseng, dia memenangkan hadiah 5 gelas bir gratis karena bisa menyebut nama SBY dengan tepat! Selamat tipsy!

Wathanak, Lin Sun Oo, me, Nova Goh at 2 am when heartfelt conversation started. My virgin mojitos is nothing compared to bottomless beer & wine that they had :D

Wathanak, Lin Sun Oo, me, Nova Goh at 2 am when heartfelt conversation started. My virgin mojitos is nothing compared to bottomless beer & wine that they had 😀

Nah, masa saya dibilang mirip dengan seorang cewek Vietnam bernama Anh-Xuan Duong! Ini sungguh tuduhan paling ngawur! Si Xuan kulitnya putih bersih kayak marmer gitu, dimana miripnya sama saya? Hahaha… Xuan projectnya juga menarik, tentang kaum gay di Hanoi selama perdebatan untuk meloloskan undang-undang yang akan melegalkan pernikahan sesama jenis kelamin di Vietnam. Kalau lolos, maka Vietnam akan menjadi negara pertama di Asia yang melegalkannya. Ada juga Joseph Israel Laban yang filmnya udah menang festival dimana-mana, Nef Luczon yang juga dosen dan lagi bikin film bertemakan land ownership, Wathanak yang kocak dan kalau habis minum-minum malah jadi lapar dan pengin makan, Waraluck alias Art dengan projectnya tentang musik, Ding Laos yang semangat banget kalau bicara soal sungai Mekong, lalu Thanthien, Heni, Amelia dan Amin yang sama-sama dari Indonesia dan banyak nama lagi yang kalau saya sebut semua blog post ini bakal lebih panjang dari UUD ’45.

Lin, me, Waraluck, Nova Goh, Anh Xuan on a 3 am breakfast when all food would taste amazing. These guys gave me the idea of a Mekong trip next year.

Lin, me, Waraluck, Nova Goh, Anh Xuan on a 3 am breakfast when all food would taste amazing. These guys gave me the idea of a Mekong trip next year.

Tiap hari workshop kelar jam 6 sore, dan tentu sesudahnya kami jalan-jalan gak karuan menyusuri Kuala Lumpur, dengan Bukit Bintang sebagai tempat tujuan utama. Turis banget ya? Biarin deh… soalnya memang gampang kalau di Bukit Bintang semua ada. Mau makan berat, minum-minum doang atau mau joget semua ada, tinggal pilih tempatnya. Lulu Ratna, pengelola DocNet South East Asia sebagai ’emak kami’ selama workshop kompak banget sama Nova Goh, filmmaker dari Kota Kinabalu dan Siti Nurbaiya, filmmaker dari KL yang menjadi guide kami selama jalan-jalan bebas ini. Nah, kenalan sama mereka semua ini bikin saya pengin mewujudkan Mekong Trip tahun depan, sebuah perjalanan menyusuri negara-negara yang dilalui sungai Mekong, mulai dari Myanmar teruuuus ke timur sampai Vietnam, dimana sungai yang menjadi denyut nadi kehidupan jutaan orang ini bermuara ke laut. Ada yang mau ikut?

Penulis: Swastika Nohara

I'm a freelance content and script writer for movies, television, commercials and internet-related content. With a team, I also do documentaries, video tutorial, video presentation and corporate video. I'm based in Jakarta but eager to travel anywhere on earth. For me, life is like a cup of coffee. Life is the coffee while jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided…. So, don’t let the cups drive you, enjoy the coffee instead!

65 thoughts on “Membuat Film Dokumenter Itu Gampang

  1. WAH KEPINGIN DONG FILM MAKER DI AJAK JALAN JALAN,,,,,

  2. saya boleh ikut gabung ka?

  3. Haii buat kamu para pecinta film dan hobi bikin video atau film ada kabar gembira niiiih. Dalam rangka merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh lima, FIF Group ngadain kompetisi film pendek dari jadi. Untuk tema dari video yang akan diikutsertakan dalam kompetisi ini harus sesuai dengan misi dari FIF Group sendiri yaitu “Better Life, Better Future”. Kompetisi ini sudah berlangsung sejak tanggal 21 April 2014 lalu dan batas pendaftaran/upload video sampai tanggal 30 Juli 2014. So.. buruan upload videomu dan menangkan hadiahnya. Informasi lengkap, silahkan diklik http://bit.ly/1oZis9X

  4. Untuk peralatannya sendiri rumit tidka sih mba untuk bisa membuat film dok yang sederhana tapi bagus?

    • Jaman sekarang sih udah nggak rumit. Tapi sayangnya banyak filmmaker dokumenter yg terlalu fokus pada kamera untuk mendapat gambar yg bagus sehingga mengabaikan suara. Padahal, sama pentingnya

  5. Trims atas artikelnya, akan kami pelajari buat diberikan ke anak didikku SMAN 1 Kawali Ciamis

  6. *nunggu diajak bikin film dokumenter*

  7. difoto pertama kak Tika di pojok kiri baju merah ya??
    Langsung catching deh walaupun liat fotonya cuma sekilas dan ga sampe dipelototin… 😀

  8. hai james! lama tak jumpa :*

  9. Mei ya ke Myanmarnya? Budgetnya berapa, kak? Pengen ikut deh.. Mei kan sudah bisa cuti.. 😀

  10. waaaah….seru banget workshopnya mbaaa…salam kenal et thanks for sharing…such a colorful life dan saya pengeeen banget ngerasain 😀 (dunno when, tho’.. :D)…kebayang proses kreatifnya yang pasti seru ya mbaaa…

  11. Halo..salam kenal,bagaimana caranya saya bisa contact kamu ya..?there’s something I want to ask (soal film dokumenter pastinya) bisa contact saya di klikwawan@gmail.com

  12. tak ada kata selain sangat menarik dunia ini sepertinya 🙂

  13. Apa bener sungai Mekong pernah di jadikan film perang Vietnam dengan Amerika Serikat yang ceritanya Amerika selalu menang padahal dalam sejarah kalau nggak salah Amerika selalu mengalami kerugian besar (kalah) tentaranya banyak yg tewas?

    • Hahaha… AS mmg menangnya kalau di film doang! Nah pertanyaannya adl apakah settingnya di sungai Mekong beneran atau sungai lain yg mirip2?

  14. jadi kita ke myanmar bareng? anyway kalo ngumpul sama temen yg myanmar itu ajak ajak aku dong mbak ^^

  15. itu KM Lo g punya anak istrikah? 😐
    waktu homeless di Jepang gmn keluarganya ya?
    Btw itu ke Mekong berapa hari kah?
    *ngitung jatah cuti*
    jangan mendekati akhir tahunnnnn #rikues

  16. Jadi ingin melihat secara langsung proses pembuatan film dokumenter… Penasaran.. 🙂

  17. mekong trip..haduh pengen, secara muka eike kayak gadis vietnam…#tutupmukapakebantal…:)…budgetnya brpa sih..#ujung2nya emak2 banget…

  18. pengen belajar tuh, membuat film dokumenter

  19. waahhh… ini postingan serius… *minggir pelan2* 😆
    trus itu anak2 nggak dibawa ya, mbak?
    Halah, pertanyaan emak2 pisaaaaannn…! :mrgreen:

  20. mbak, mungkin menarik kali yah mendokumenterkan pekerjaan seseorang yg banyak bergelut di bidang sosmed dalam kesehariannya hihihi~

  21. Wuiiihhhh seru banget mba.
    Workshop sekaligus hura hura berkarya.
    Mau dong ikutan Mekong trip kalo budgetnya sesuai..hehehe

  22. ke Mekong? buat wisata atau bikin film dokumenter?

    saya sih rencananya taun depan adalah taun buat jalan-jalan keluar negeri.. tapi belom tau mau ke mana-nya.. :mrgreen:

  23. Wah saya tertarik banget soal pemasaran dokumenter

Tinggalkan Balasan ke Dewi Indriyani Batalkan balasan