Seperti sore biasanya, pelataran masjid agung ini selalu penuh pengunjung. Sebagian besar singgah untuk beribadah, tapi banyak pula yang sekedar melepas lelah. Di tempat ini pula aku duduk mengobrol dengan teman-temanku, menikmati senja menjelang. Selain kasus korupsi aparat negara, berbagai hal tentang anak-anak kami selalu menjadi topik utama. Sambil menghirup uap pedas dari inhalernya, Umar bertanya apa benar Arun, anakku, sudah diangkat menjadi associate di firma hukum tempatnya bekerja.
Dengan bangga kubenarkan kabar itu. Arun, putra sulungku sejak lama jadi kebanggaan kami. Dia sudah menempati posisi yang mapan, dengan penghasilan yang bahkan tak sanggup kuhabiskan dalam setahun. Waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin dia masih duduk di TK, mengekor padaku setiap aku ke masjid ini dan mengisi waktu selepas ashar dengan mencoret-coret buku gambarnya. Entah apa yang dia lihat di pelataran masjid ini yang membuatnya betah duduk menggambar hingga menjelang maghrib. Karena aku harus kembali menjaga toko, maka kuminta penjaga mesjid untuk mengawasi Arun selagi dia disana, dengan imbalan uang secukupnya. Arun masih suka menggambar hingga dia kelas 3 SMA, hingga di suatu malam kami bertengkar hebat.
Arun ingin masuk sekolah seni rupa. Sebagai ayah yang baik tentu tak kubiarkan putraku satu-satunya salah langkah. Di negeri ini, tak ada pekerjaan yang lebih bergengsi selain dokter, insinyur atau pengacara. Aku menantangnya untuk menembus sekolah hukum, mengalahkan ratusan ribu lulusan SMA lainnya. Arun bilang, dia mampu menjadi apapun yang kuinginkan. Arun membuktikan ucapannya. Sekolah hukum diselesaikannya tepat waktu dengan gelar cum laude. Firma hukum ternama segera meminangnya. Hari demi hari dia habiskan di kantornya, tak jarang dia bermalam disana. Kasus-kasus besar telah sukses dia tangani. Kadang kutemukan namanya di koran pagi.
Jelas aku bangga akan pencapaiannya. Meski kini aku sering melamun, menatap kanvas dan kertas-kertas gambarnya yang sudah berlapis debu di rumah. Aku rindu Arun-ku yang dulu selalu memamerkan gambar buatannya dan dengan mata terbinar menunggu aku berkomentar. Mata Arun-ku sekarang sayu, sering kurang tidur karena lembur di kantor. Dia tak lagi peduli pada pendapatku. Ah, seandainya aku dapat memutar kembali waktu, akan kubolehkan Arun menjadi apapun yang dia inginkan.
#PeopleAroundUs | Day 14
Ping-balik: Anti Mainstream! Coba 5 Hal Ini Untuk Memudahkan Traveling | BLOG Swastika Nohara
Ping-balik: Penipuan Saat Traveling, Mana Yang Paling Parah? | About life on and off screen
Oktober 4, 2013 pukul 1:38 pm
saya kerja di BUMN dan orang tua saya bangga akan hal, itu, karena diriku masuk tanpa uang dan memang murni. tapi jujur dalam hatiku aku kangen pekerjaan lamaku sebagai orang teknik yang di lapangan
ingin rasanya ku menjelaskan bahwa jiwaku bukan disini. walau aku tahu dia sangat bahagaia melihatku kerja di kantor. entah sampai kapan aku berani mengatakan bahwa tempatku bukan disini. aku cuma jadi profesional tanpa passion dalam setiap pekerjaan yang kulakukan.
salam kenal mbak,
Oktober 4, 2013 pukul 2:00 pm
salam kenal,
Wow…. pasti punya banyak alasan ya utk terus bertahan selain perasaan orang tua. comfort zone mungkin?
September 30, 2013 pukul 11:43 am
Hai mbak , meski ini fiksi tetep aja merinding bacanya . Membayangkan nggak bahagia dalam pekerjaan itu, apalagi cowok ya (yg biasanya aktualisasi dirinya dari kerjaan) itu bikin sedih banget. Aku produk yang ‘dipaksa’ masuk ke kerjaan sekarang. Dan kerja di bidang yang gak kusukai itu membuatku mencari cara bertahan kerja ya dengan mendapat teman yg fun, jadi agak bearable lah working daysnya. Dan karena itu aku nggak pengen anak anakku ngerasain hal yang sama kayak aku. Waktu nonton Three Idiots, I laugh and cry at the same time, terutama untuk yang si fotografer itu loh mbak. aku mewek bngt. Dan sekarang kalo disuruh keluar dr pns, i don’t have the guts. Comfort zone, dan merasa nggak akan bisa lebih baik di luar sana.
September 30, 2013 pukul 12:21 pm
Hi Sondang, nice to ‘meet’ you here 🙂 Iya, pada usia tertentu, apalagi kalau punya tanggungan yang harus di support, pasti ada sejuta pertimbangan untuk resign dari tempat kerja demi mengejar mimpi yang lain. Aku punya teman yang ada di situasi mirip, dia tetap di PNS tapi dia menyalurkan hobi jalan-jalan dan menulisnya ke dalam blog dan novel. Quite fun sih kayaknya 🙂
September 26, 2013 pukul 3:44 am
Salam kenal Mak… aduh sedih ya.. andai bisa memutar waktu itu lho…
Semoga anak-anak kita kelak mendapatkan pekerjaan yang membahagiakan mereka. Amin
September 26, 2013 pukul 9:07 am
Salam kenal Titi. Ini kisah fiksi kok, but yes, amen to that!
September 25, 2013 pukul 8:24 am
pagi2 jadi mewek baca postingan ini 😥
Bapak dan Ibuku membolehkan aku menjadi apa yang aku inginkan, sampai sekarang… Semua masih sesuai keinginanku, juga hidupku. tapi jadi bertanya2 sudahkan saya membuat mereka merasa bangga? merasa bahagia?
September 25, 2013 pukul 9:04 am
*pukpukIpied Show them that you’re happy and contented with your life. I believe that’ll make our parents happy too, don’t you think so?
September 24, 2013 pukul 9:53 pm
Hmmm…. This happens to most of us. Takut tidak terjamin, takut tidak dihormati, berakhir sebagai robot.
September 25, 2013 pukul 6:41 am
Nah, pilihannya adalah menjadi robot atau melawan ketakutan2 itu?
September 24, 2013 pukul 7:46 pm
Ya…pada saat tertentu kita memang selalu lupa anak juga punya HAM, sebagai orang tua merasa bahwa kitalah penguasa mereka
Semoga kita bisa selalu ingat hal ini bersama-sama 😀
September 24, 2013 pukul 8:38 pm
Amin!!
September 24, 2013 pukul 7:39 pm
Ah, mbak.. aku jd pengen peluk 3 krucilsku, dan akan kubilang mereka boleh jadi apapun yg mereka mau, sepanjang mereka menikmatinha…
Oh, dan buat apa marah dgn coretan di seluruh dinding (???) rumah kami ini…? Tak apa2.. biarkan mereka menikmati masa kanak2nya dgn bahagia.. 😉
September 24, 2013 pukul 7:47 pm
Aaaakk!! Itu benar! Di rumahku nggak cuma dinding, lantai juga kena cat anak2 :)) So, anakmu mau jadi apa?
September 25, 2013 pukul 7:38 am
haha, cita2 mereka masih tentatif sekali. Kadang ada yang mau jadi polisi, dokter, pemadam kebakaran, bahkan pernah ada yang pengen jadi tukang parkir… (????)
September 25, 2013 pukul 9:05 am
Ah, bocah2 yg random… anakku pun cita-citanya mau jadi Rapunzel 😀 Lah kenapa anakmu bisa terpesona sama tukang parkir?
September 26, 2013 pukul 9:00 am
Rapunzel..? Astagaaa… Untung nggak ada yang mau jadi tinker bell..
Tukang parkir nampak keren dimata mereka, mbak. Pake peluit, bisa ngatur2 orang, trus kan kalo malem pake tongkat yang nyala itu… haha..
sesederhana itu ya, keren di mata mereka…
September 26, 2013 pukul 9:22 am
Hahaha… tongkat menyala yg semacam tongkat ajaib krn bisa bikin mobil2 berenti kali ya?
September 24, 2013 pukul 7:24 pm
menangis membaca kalimat terakhir…saya juga selalu gaya bilang ke anak2 kalian boleh menjadi apapun..tetapi tetap saja rasanya ga rela kalo mereka punya hobby aneh….ini koment pertama saya di blog ini..biasanya cuman baca , ga berani koment….hehehe, soalnya ini blog keren kalii….apalagi fotonya…kayak artis…piisss mak Sabai…
September 24, 2013 pukul 7:46 pm
Aduduuuh… silakan komen di sini lho setiap saat! InShaa Allah setiap komen saya baca dgn senang hati. Hayuk atuh komen lagi ya 🙂