Tanpa perlu berkoar-koar tentang emansipasi dan kesetaraan gender, Zero Dark Thirty adalah film feminis yang sesungguhnya. Film ini berkisah tentang Maya, seorang agen CIA yang ditugaskan untuk melacak keberadaan Usama Bin Laden pasca tragedi 9/11 tahun 2001 yang menewaskan lebih dari 3000 nyawa itu. Maya, diperankan dengan apik oleh Jessica Chastain, memulai tugasnya dengan mendatangi kamp tahanan dan menyaksikan interogasi tawanan yang pernah ikut jaringannya Bin Laden. Sebenarnya Maya tidak setuju dengan adanya penyiksaan tawanan perang saat menginterogasi mereka, tapi itulah satu-satunya cara untuk memperoleh informasi. Berbekal interogasi ratusan tawanan itulah Maya menelusuri keberadaan UBL, singkatan yang mereka pakai untuk menyebut nama pimpinan jaringan Al Qaeda.
Lalu kenapa Zero Dark Thirty saya sebut sebagai film feminis sejati? Bagi yang sudah menonton, pasti tahu kalau tokoh utama film ini adalah seorang perempuan bernama Maya yang teguh, ulet dan keras kepala dalam memperjuangkan keyakinannya bahwa dia mampu menelusuri jaringan Al Qaeda untuk menemukan UBL. Tapi bukan semata itu sebabnya. Sutradara film ini, Kathryn Bigelow, dengan sukses membuat film dengan tema, cerita dan visual yang sangat maskulin dan hasilnya memukau. Pencapaian ini membuat Kathryn sejajar, bahkan lebih keren, di banding nama-nama sutradara pria papan atas Hollywood.
Sebelum ZDT, Kathryn pernah sukses dengan Hurt Locker dan Point Break. Kedua film tersebut juga sangat maskulin, terutama Hurt Locker yang berkisah tentang tentara Amerika Serikat di Irak. Filmmaking is about make believe. Bagi saya, kriteria sebuah film layak disebut sebagai ‘film bagus’ adalah bila film tersebut berhasil meyakinkan penontonnya dan membuat penontonnya duduk menikmati adegan demi adegan hingga detik terakhir. Hal ini telah dilakukan dengan baik oleh Kathryn Bigelow dalam ZDT.
Satu lagi hal menarik dari Zero Dark Thirty adalah cara bertuturnya yang keluar pakem dari gaya film Hollywood dengan format tiga babak dan delapan sekuens. Padahal keputusan sutradara (bekerja sama dengan penulis skenarionya) untuk mengambil gaya bertutur non-mainstream ini punya risiko sulit diterima oleh penonton karena polanya tidak familiar bagi penonton kebanyakan. Saya menilai langkah ini adalah keputusan filmmakernya untuk menyiasati penuturan pencarian Usama Bin Laden yang rentang waktu peristiwa aslinya mencapai 10 tahun itu.
Satu hal yang menarik dari ZDT adalah di film ini agen-agen CIA-nya terlihat ragu, pesimis bahkan nyaris putus asa setelah bertahun-tahun masih saja gagal mencari Bin Laden. Padahal di film Hollywood umumnya kan agen CIA digambarkan sebagai orang-orang yang taktis, percaya diri dan yakin benar saat mengambil keputusan. Dengan segala kelebihannya, apakah film ini bakal menang Oscar 2013? Saya yakin tidak. Karena Hurt Locker sudah pernah menang sebagai film terbaik di Academy Award tahun 2009 silam. Panel juri Oscar pasti memilih memberikan kemenangan pada kandidat lain.
Lalu apakah film ini tanpa kekurangan? Tentu tidak. Satu hal yang mengganjal adalah motivasi Maya yang kurang kuat, mengapa dia begitu terobsesi dengan Bin Laden hingga menghabiskan 12 tahun karirnya di CIA untuk perkara ini. Lalu pemerintah Amerika Serikat yang semula meragukan penyelidikan Maya, mengapa tiba-tiba memberi lampu hijau dan mengirim pasukan dalam 2 helikopter tempur untuk menyerbu tempat yang dianggap sebagai markas Bin Laden. Lalu masih saja ada adegan yang Hollywood banget saat tentara Amerika menyerbu sebuah rumah dan menembaki sepasang suami istri anteknya Bin Laden. Ketika anak-anak di rumah itu menangis melihat bapak-ibunya mati, tentara Amerika itu bilang “It’s okay… it’s okay…” Batin saya, ‘Apanya yang okay, kalian baru saja menembak orang tua mereka?’
Untungnya adegan penyerbuan yang menjadi klimaks film ini disajikan dengan sangat bagus. Aksi tentara Amerika disini terlihat realistis, tidak terlalu sigap bahkan kadang ragu dan temponya lebih lambat dibanding film perang ala Hollywood pada umumnya. Overall, Zero Dark Thirty sets a new standar of war movie.
Maret 8, 2013 pukul 10:16 am
Pengen diskusi aja sih, menurut Mbak Tika, kenapa di akhir film si Maya nangis?
Maret 8, 2013 pukul 12:49 pm
Menurutku si Maya lega, akhirnya kerja keras dia selama 12 thn gak sia-sia dan reputasinya di CIA tetap bagus. She’s overwhelmed. Menurutmu kenapa Dit?
Februari 26, 2013 pukul 5:15 am
Durasinya memang berapa lama, Tika?
Baca ulasan Tika jadi penasaran ingin nonton filmnya.
Btw, mau dong diajarin nulis ulasan film yang bagus seperti tulisanmu ini, boleh ya nanya-nanya 🙂
Februari 26, 2013 pukul 8:27 am
Durasinya 157 menit mbak, jadi itu 2 jam lebih 30 menit… sementara film bioskop rata2 kan ‘cuma’ 90 menit. Haiyaaa… Mbak Indah kan udah nulis buku, ada juga aku yg belajar nulis ke mbak Indah 🙂
Februari 25, 2013 pukul 5:07 pm
another “heavy” movie such as Green Zone, aku enjoy nontonnya walau sempat terkantuk2 berat krn durasi filmnya
Februari 25, 2013 pukul 5:26 pm
Wah iya, durasinya mmg cukup menantang tapi nggak sampai membosankan
Februari 26, 2013 pukul 1:47 pm
soalnya aku nonton jam 9 malam hahahahaha jd selesai jam brp tuh makanya ngantuk hihihi