BLOG Swastika Nohara

Life is the coffee, while jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life.

Matah Ati

21 Komentar

Senang, bangga dan terhibur rasanya menyaksikan pertunjukan tari seelok Matah Ati. Sendra tari delapan babak ini menceritakan perjuangan Rubiyem, seorang gadis keturunan ningrat yang tinggal di desa, memimpin prajurit  perempuan terjun ke medan perang membantu laskar Raden Mas Said melawan tentara Belanda. Pertunjukan dibuka dengan tari perang prajurit perempuan yang bersenjatakan gendewa panah dan pistol. Ya, meskipun berkostum tradisional Mataram, mereka sudah fasih memegang pistol. Para penari yang cantik itu bergerak luwes dan lincah di atas panggung miring.

Pertunjukan tari yang indah sekali saat pernikahan RM Said dan Matah Ati

Khusus untuk Matah Ati, Teater Jakarta di kompleks Taman Ismail Marzuki dipasangi panggung miring yang memberikan perspektif 3D bagi penonton. Kemiringan panggung ini dieksplorasi dengan baik oleh para penarinya, termasuk memanfaatkan lantai panggung yang bisa dibuka untuk mengeluarkan asap dan menampilkan penari. Layaknya pementasan besar, panggung tidak hanya diisi gerak tari yang indah dan dialog yang disampaikan lewat tembang, tapi juga tata cahaya dan permainan multimedia yang disorotkan ke layar sebagai back ground panggung. Sayangnya, penampilan multimedia ini kurang optimal dalam membangkitkan mood pertunjukan.

Alkisah, rombongan Raden Mas Said dan para panglima tengah melintasi desa Matah. Hati Raden Mas bergetar ketika melihat seorang gadis desa bernama Rubiyah. Kemudian ketika Raden Mas bertapa untuk meningkatkan kesaktiannya, dia berjumpa dengan seorang gadis di dimensi yang lain. Cerita pun bergerak ke perlawanan Raden Mas terhadap pendudukan Belanda. Untuk mengobarkan semangat pasukannya, Raden Mas berseru, “Tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh!” Rubiyah yang nama aslinya Matah Ati, akhirnya membantu pertempuran Raden Mas Said dengan menurunkan laskar tentara perempuan yang menyamar jadi petani. Maka serdadu Belanda pun berhasil dienyahkan dan pesta pernikahan kedua sejoli itupun digelar. Sesudah menikah, tentu ada adegan malam pertama yang juga ditarikan di atas panggung. Penasaran bagaimana tariannya?

Bagi penonton yang mengerti bahasa Jawa, tentu akan menikmati pertunjukan ini seutuhnya. Tapi bila tidak mengerti dialog dan tembangnya pun, sebagai pertunjukan tari, Matah Ati sangat indah dilihat. Koreografinya memukau dan penari-penarinya mumpuni.

Nah, satu babak yang unik dan sangat menarik adalah ketika empat orang ‘mbok emban’ tampil. Kalau di babak-babak yang lain tariannya serius dan nyanyiannya merdu menggunakan bahasa Jawa halus, maka mbok emban ini menari dengan gaya banyolan dan dialognya pun berupa celetukan dengan bahasa Jawa ngoko yang mengocok perut. Mereka dengan cerdas dan tangkas melemparkan gurauan yang menyindir berbagai kondisi aktual bangsa Indonesia.. Sungguh sangat menghibur.

Dua penari pecut dalam adegan perang, keren banget!

Sebagai pementasan, para pekerja seni dibalik indahnya Matah Ati bukanlah pemain baru. Karya ini sudah pernah sukses besar dipentaskan di Singapura dan Jakarta, hingga publik mengusulkan diadakan pementasan ulang di Jakarta. Disutradarai oleh Atilah Soeryadjaja, tata artistik oleh Jay Subyakto, penata acara oleh Inet Leimena, sendra tari Matah hati total menampilkan 78 orang penari dan 150 orang pekerja seni. Pementasan di Jakarta kali ini akan berlangsung tanggal 22-25 Juni 2012. Kabar baiknya, mereka tengah mempersiapkan versi Matah Ati yang lebih kolosal dengan 250 lebih penari! Bayangkan! Pentas kolosal tersebut akan digelar di Solo bulan September mendatang.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Iklan

Penulis: Swastika Nohara

I'm a freelance content and script writer for movies, television, commercials and internet-related content. With a team, I also do documentaries, video tutorial, video presentation and corporate video. I'm based in Jakarta but eager to travel anywhere on earth. For me, life is like a cup of coffee. Life is the coffee while jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided…. So, don’t let the cups drive you, enjoy the coffee instead!

21 thoughts on “Matah Ati

  1. bulan September di Solo? #OkeSip *siap siap* 😀

  2. Keren. Baca review nya bikin pengen nonton. Bakal sekeren apa ya di Solo nanti? Jay Subyakto memang gila lah

  3. Huuuaa pengen nonton juga… Belum pernah nonton yang beginian 😦

  4. aku kehabisan tiketnya mbak :(( padahal seminggu lalu cek masih ada giliran hari kamis mau beli udah sold out :(( sumpah bete sekali sayanya…..

    udah pengin dari 2 bulan lalu hiks..hiks….

  5. Terimakasih Sabai atas reviewnya .. Semoga kita dpt berjumpa di pentas KOLOSAL matah ati di SOLO, 8-10 September 2012

  6. Haiyaah..cakep sekali! Kepingin banget nonton show-nya sekiranya show-nya tampil di Surabaya..

  7. Wah, bukan penggemar tari-tarian

  8. konon, dulu digelar di Singapura karena ga ada teater di Jakarta yang berkenan bikin panggung miring beberapa derajat seperti setting yang diinginkan oleh Jay Subyakto. baru setelah sukses di Singapura, dihelatlah di Jakarta..

    *makin pengen nonton* *tapi tiketnya mahal* 😦

  9. pengeeeeeeeeeeeeeeen……..

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s