Judul dan poster film ini menggelitik saya untuk melangkahkan kaki ke bioskop, mengharapkan hiburan selama 90 menit bersama seorang bocah usia 4 tahun yang sudah melahap puluhan film di bioskop, mulai dari film anak-anak animasi, live action hingga film dokumenter. Seperti film-film Alenia sebelumnya, Serdadu Kumbang mengeksplorasi dunia anak-anak dengan setting salah satu daerah cantik negeri ini.
Dibuka dengan adegan balapan kuda yang ditunggangi 2 orang joki kecil, harapan saya langsung melambung ingin menyaksikan serunya pacuan kuda dan pergelutan si joki cilik dalam memenangkan sebuah balapan. Namun jauh panggang dari api, nyaris sepanjang film kami dicekoki ceramah pendidikan dan betapa bobroknya sistem pendidikan di Indonesia. Kisah si joki kecil hanyalah entry poin yang tidak diolah lebih dalam. Sayang sekali.
Ari Sihasale sang sutradara dengan cerdik mengolah keelokan pemandangan alam desa Mantar di Taliwang, Nusa Tenggara Barat dan menjalinnya dengan kisah pergelutan warga desa demi pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Sayangnya, film ini jadi berpanjang-panjang ceramah tentang pendidikan dan ‘curhat’ soal betapa bobroknya hal ini. Adegan papin (kakek) yang seorang ustad bercerita dikerubungi anak-anak kecil juga terlalu lama dan terlalu sering diulang. Padahal media visual film lebih tepat untuk menunjukkan dengan gambar ketimbang menceritakan secara verbal.
Bosan juga mendengarkan curhat pendidikan dan ceramah akhlak sepanjang film. Bisa ditebak, beberapa anak usia SD yang nonton di bioskop siang itu tampak bosan. Mereka asik ngobrol, malah ada yang berjalan mondar-mandir menghitung kursi bioskop.
Layar film mulai menarik lagi ketika adegan ayahnya Amek, sang bocah yang menjadi tokoh utama, pulang kampung dari Malaysia. Sang aktor sangat pas membawakan perannya sebagai pria desa yang berlagak sukses dari perantauan. Secara umum casting film ini bagus. Semua tampak pas dan melakoni perannya dengan apik, terutama Amek dan dua sahabat kecilnya. Hanya Lukman Sardi relatif yang datar saja.
Satu hal yang mengganjal.
This movie doesn’t do its characters justice. Minun, siswi SMP yang cerdas, rajin belajar, juara kelas dan digadang-gadang gurunya akan mendapat beasiswa, malah berakhir dengan mati mengenaskan setelah dinyatakan tidak lulus ujian akhir.
Apakah ini secara tidak langsung hendak menyampaikan pada penonton belianya, bahwa segitu bobroknya sistem pendidikan Indonesia sehingga nggak penting lagi deh rajin belajar dan berusaha keras?
I leave it up to you for the answer. I myself, would not let my kids have such a pessimistic point of view.
Juni 21, 2011 pukul 6:56 pm
tonton aja filmnya, yg jelas kumbangnya muncul beberapa kali kok 🙂
Juni 21, 2011 pukul 11:08 am
boleh tau gak arti serdadu kumbangnya sendiri apa sih?
Juni 20, 2011 pukul 12:34 pm
Euh, Minum mati ya? 😥
Juni 20, 2011 pukul 1:56 pm
Eh, spoiler ya? Muuph eaa…
Juni 20, 2011 pukul 9:20 am
Ulasan yang menarik, ntar ntar aja deh kalo gitu nonton nih film hihi
Juni 20, 2011 pukul 1:56 pm
Hey.. nonton sih nonton ajah, ntar bikin review versimu sendiri 🙂
Juni 19, 2011 pukul 8:40 pm
saya yakin review filmnya pasti jauh lebih keren daripada filmnya. Ayo terus pompa optimisme bangsa kita semenjak dini, mulai dari anak-anaknya, melalui filnya, tarinya, lagunya.. Tularkan rindingan bulukudu karena kebanggaan! Ulasan yg keren!
Juni 19, 2011 pukul 8:44 pm
Hai Rudi! Jelas film macam Serdadu Kumbang ini perlu lebih banyak dibuat, biar lama-lama film2 pocong itu kegeser, nggak kebagian tempat di bioskop 🙂
Juni 19, 2011 pukul 8:20 pm
Setuju sama sabai. Gak jadi ngajak damai nonton
Juni 19, 2011 pukul 8:40 pm
Yup, imho itu film untuk audiens dewasa meskipun karakter utamanya adl anak-anak 😐
Juni 19, 2011 pukul 7:47 pm
Hehehe… bebas komentar kok. Itulah, sebenernya pohon itu udah jadi property menarik di film ini sih
Juni 19, 2011 pukul 7:19 pm
emang sedih bgt sih pas Minun jatuh dr pohon sampe meninggal… menurut aq sih malah jadinya kayak ga boleh menggantungkan cita-cita setinggi langit, setinggi pohon ajah! hheheeh.. *peace