Meneruskan posting sebelumnya tentang Festival Film Solo, ada tiga film yang paling berkesan bagi saya. Tiga film pendek ini secara artistik cantik, ceritanya kuat dan berhasil menjadi tontonan yang menyenangkan (khusus untuk Marni, menegangkan).
MARNI
Sutradara : Kuntz Agus, Produser: Ajish Dibyo. Yogyakarta – 2011.
Tentang seorang perempuan cantik yang berusaha keras menyembunyikan suaminya dari kejaran intel cuma karena sang suami bertattoo. Ya, tattoo. Buat teman-teman yang berumur diatas 25 tahun pasti sudah bisa menebak kalau film ini settingnya jaman orde baru, tepatnya awal dekade 80an. Ketika itu pria bertattoo dianggap sampah masyarakat sehingga bsah ditangkap dan di-dor begitu saja.
Sejak adegan pembukanya Marni sudah langsung menegangkan dan membuat penontonnya penasaran. Planting informasi juga dilakukan dengan apik, misalnya melalui kembang yang layu lantaran lama tidak disiram. Puncak ketegangan terjadi ketika Marni harus bersembunyi di kolong tempat tidur saat rumahnya di geledah dan ketegangan terus bergulir hingga akhir film.
Film ini menarik sekali tata artisitiknya, dan berhasil membawa penontonnya seolah betul berada di tahun 1983. Satu hal yang mengganjal adalah dialek Marni yang sama sekali tidak meyakinkan sebagai perempuan Jawa padahal gesturenya cocok sekali. Sebenarnya hal ini bisa dengan mudah diakali dengan mem-planting informasi bahwa Marni berasal dari kota besar atau luar Jawa.
SAY HELLLO TO YELLOW
Sutradara: BW Purba Negara. Yogyakarta – 2011
Film ini sangat menggemaskan! Menonton film ini membawa saya kembali ke masa kecil dimana penerimaan kawan sebaya bisa menjadi hal paling penting sedunia. Seorang anak SD dari kota pindah ke sebuah desa di kawasan Gunung Kidul. Di sekolah barunya, bocah perempuan penggemar warna kuning ini tak putusnya menceritakan segala hal via ponsel qwerty-nya yang juga berwarna kuning. Awalnya tampak seperti kisak klasik film anak kota pindah ke desa. Tapi cerita jadi makin menarik saat anak-anak desa itu sangat suka pergi ke bukit sepulang sekolah.
Saya jadi bertanya-tanya, ada apa sih di bukit itu? Dan pertanyaan saya ini dijawab dengan cerdik melalui twist cerita menjelang akhir film.
Meskipun pemainnya anak-anak semua, tapi sebenarnya film ini sarat sindiran buat kita semua, orang dewasa masa kini yang seakan tak bisa lepas dari gadget, terutama ponsel.
Satu-satunya kekurangan film ini hanyalah akting anak-anak yang nyaris semua masih agak kaku. Tapi bagi saya itu termaafkan mengingat mereka bukan aktor dan mungkin waktu reading yang terbatas. Overall, film ini sangat menyenangkan.
BERMULA DARI A
Sutradara: BW Purba Negara. Yogyakarta – 2011
Film pendek ini sangatlah lengkap. Caritanya sarat makna baik secara visual maupun dialog, meskipun sebenarnya kedua tokoh utama tidak pernah benar-benar berdialog secara verbal. Bagaimana bisa? Bertukar pesan verbal alias mengobrol mungkin kegiatan paling mudah bagi dua orang manusia normal. Tapi tidak bagi seorang perempuan tuna netra dan seorang pemuda tuna rungu.
Setiap adegan menjadi sarat makna simbolis, termasuk kaos yang dipakai tokohnya dan hiasan yang tergantung di dinding rumah yang menjadi setting kegiatan mereka.
Begitu pula dengan pemanfaatan musik yang sangat minim, dan sama sekali tidak ada audio saat kita diajak melihat isi cerita dari kepala si tuna rungu, penonton benar-benar diajak menyelami dunia mereka. Ketika akhirnya mereka bisa berkomunikasi dengan lebih lancar, film ini diakhiri, pun dengan ending yang cukup mengejutkan.***
Juni 19, 2011 pukul 7:23 pm
Klo mo nonton film2 kayak gini dimana ya? kan ga smua org bisa dtg ke festival, pa lg di luar kota
Mei 8, 2011 pukul 9:34 pm
aaaaa… mau nontoooooooooooon
Mei 9, 2011 pukul 7:10 am
Iya nih, harusnya film2 pendek gini mudah ditonton tanpa harus nunggu ada festival
Mei 8, 2011 pukul 9:48 am
Penasaran deh ama “Bermula dari A”. 😀
Mei 8, 2011 pukul 9:04 pm
Really worth looking for 🙂