Dengan Audrey Tatou sebagai pemeran Coco Chanel, film ini sudah banyak mendapat sorotan sebelum peredarannya. Di Jakarta sempat diputar di Jiffest 2009, dan teater kala itu penuh sampai kursi paling depan. Tampaknya, seperti saya, penonton lainpun berharap banyak pada film ini. Sayangnya, bagi saya harapan itu tidak terpenuhi.
Dibuka dengan apik dengan adegan saat Gabrielle Chanel (nama kecil Coco) dan Julia, adiknya, diangkut dengan gerobak oleh ayah mereka dan begitu saja di drop di pintu panti asuhan. Sang ayah tak pernah kembali lagi. Setelah berusia 18 tahun Gabrielle harus keluar dari panti dan hidup susah di salah satu pojok kota Paris. Di siang hari ia bekerja sebagai tukang jahit di sebuah butik dan malamnya sebagai penyanyi di sebuah klub. Gabrielle yang sebenarnya tidak terlalu piawai menyanyi, sering membawakan sebuah lagu sederhana tentang seekor anjing bernama Coco yang hilang di Trocadero.
Maka, ketika dia diperkenalkan dengan seorang tentara pengunjung klub itu, sang tentara pun mengingatnya dengan nama Coco dan terus melekatkan nama itu setelah mereka berpacaran kemudian. Boleh dibilang, hampir seluruh perempuan kelas pekerja di Perancis masa itu bermimpi dipinang oleh pria kaya sehingga mereka bisa naik kelas sosial. Coco pun sempat berpikir dia ingin dinikahi pacar tentaranya yang seorang ningrat kaya. Coco berhenti bekerja di butik, tinggal bersama pacarnya di sebuah rumah megah di luar Paris.
Usai masa dinasnya di ketentaraan, sang pacar ‘hanya’ mengisi harinya dengan berkuda, merawat kuda, berburu, pesta dan menikmati pertunjukan teater atau opera, layaknya bangsawan Perancis. Tentu Coco mis-fit dengan ‘kehidupan’ barunya. Coco hanya punya beberapa helai gaun serta topi sederhana, tidak punya perhiasan, apalagi topi beledu dengan bulu-bulu, busana kebanggaan perempuan Perancis masa itu. Sang pacar pun tampak malu memperkenalkan Coco di pesta dan acara ramah tamah lain. Akibatnya Coco sering hanya membaca buku di kamarnya di lantai atas, sementara pacarnya berpesta di lantai bawah rumah itu.
Di rumah ini Coco berkenalan dengan Arthur, seorang bangwasan Inggris yang juga kaya raya, teman baik Etiene kekasihnya. Dan Boy pun terpikat pesona Coco yang berani, bebas berekspresi dan beda dari perempuan bangsawan yang selama ini dikenalnya. Maka kisah pun bergulir antara kisah asmara Coco dengan Etiene, dan dengan Arthur, dan balik lagi dengan Etiene.
Jadi bolehlah dibilang film ini lebih banyak ngomonging soal kisah asmara Coco. Padahal, saya berharap dapat cerita lebih banyak soal evolusi Coco dari gadis pekerja yang biasa aja, sampai jadi desainer top, ide-idenya yang terhitung revolusioner di masa itu. Intinya, bagi saya lebih menarik perjuangan hidupnya dari pada kisahnya bolak-balik diantara pelukan dua pria kaya, yang membuat Coco terlihat seperti perempuan tidak berpendirian dan tidak berperasaan, kontras dengan karakter yang berusaha diperlihatkan dari awal film.
Terlebih, begitu masuk kisah cinta-cintaan ini, tempo film jadi melambat, sehingga perhatian dan nafsu menonton saya terjun bebas nyaris menyentuk titik nadir. Hanya karena ‘eman-eman’ udah beli tiket Jiffest dan teman-teman yang lain masih menonton, maka saya duduk manis sampai film habis.
Januari 26, 2010 pukul 7:34 pm
beberapa waktu yg lalu sempet beli dvd bajakan film ini, tapi sampe skarang blom sempet nonton, tiap hari pulang malem, sampe kost tidur, wiken sama juga abis dipake buat tidur (curcol).
ditambah dengan review disini, hmmm…kok kayaknya film ini malah nambah napsu tidur saya, hahahaha….
Januari 26, 2010 pukul 7:43 pm
duuuh… jangan kerja terlalu keras, ntar tambah kuruuus!!
dan aku nggak yakin kamu bertahan tidak tidur nonton itu film di DVD player di rumah… 😀
Januari 26, 2010 pukul 5:29 am
Ini ya yang tadi ditanya-tanya gimana caranya bikin lanjutkan baca ? 😀 Selamat ngeblog lagi 🙂
Januari 26, 2010 pukul 12:03 pm
makasih mbah…. makasih banget tipsnya di twitter, now that my problem solved!