Ditengah ramainya era film animasi 3D masa kini, Walt Disney Pictures kembali merilis feature animation 2D berjudul The Princess and The Frog. Sejak openingnya, gambar-gambar manis ala Disney princess memanjakan mata di layar lebar. Saya pun mendadak merasa 15 tahun lebih muda, seperti nonton film Disney di bioskop di era pertengahan tahun 1990an.
Dengan setting di New Orleans, Lottie, seorang gadis kecil kulit putih kaya raya berteman dengan Tiana, gadis Afro seumuran, anak nanny-nya Lottie. Lottie sangat percaya akan fairy tale, termasuk mencium kodok yang akan berubah jadi pangeran. Sementara Tiana yang dari keluarga miskin sejak kecil dididik ayahnya untuk kerja keras demi mewujudkan impian mereka, membuka restoran. Tiana memang mewarisi bakat memasak ayahnya. Maka Tiana pun menghabiskan seluruh masa mudanya bekerja sebagai waitress, menabung setiap sen yang dia hasilnya untuk modal buka restoran.
Pada saat Tiana dan Lottie sama-sama sudah menjadi gadis muda (tentu Lottie masih kaya raya dan Tiana miskin papa), seorang pangeran dari negeri jauh datang ke New Orleans. Dan petualangan pun dimulai. Berbagai pembalikan dari stereotype Disney fairy tale pun terjadi.
Pertama, tokoh sentral film ini adalah ‘puteri’ berkulit hitam. Kedua, pangeran disini sebenarnya juga lagi bangkrut alias nggak punya uang. Ketiga, gadis kaya yang biasanya dibikin berkarakter snob, sombong dan jahat, disini baik dan tulus membantu Tiana yang afro dan miskin. Paling ekstrim saat Tiana mencium seekor kodok yang bisa ngomong, bukan kodoknya kembali ke bentuk asli sebagai pangeran, malah Tiananya yang berubah jadi kodok! Tapi inti cerita justru dimulai saat dua kodok ini berjuang mengubah diri mereka menjadi manusia kembali.
Jadi, meski wujud visualnya boleh dibilang animasi jadul, ide ceritanya malah progresif, baru dan segar. Cerita yang serius dan pesan penting yang terbungkus dalam kemasan manis adalah kekuatan utama film ini. Apalagi dengan nuansa New Orleans yang kental dan cerita perjuangan seorang gadis miskin kulit hitam dalam meraih mimpinya, sebagai film animasi The Princess And The Frog sangat membumi dan manusiawi. Bertolak belakang dengan film-film Disney princes sebelumnya yang kebanyakan “once upon a time in a place far far away…”
Konsekuensinya, penonton anak-anak di luar Amerika mungkin justru sulit merasakan kekuatan utama film ini. Bila tahun 1994 Disney sukses berat memikat hati anak-anak sedunia dengan Lion King yang legendaris itu, diikuti dengan kisah-kisah klasik mereka macam Beauty and The Beast, Little Mermaid dan lain-lain, saya agak ragu Disney sanggup mengulang sukses itu dengan The Princess And The Frog.