Apa rasanya bila Anda bekerja di sebuah perusahaan yang nyaris semua karyawannya memandang sebelah mata pada Anda hanya karena dandanan Anda tidak ‘selevel’ dengan mereka? Lalu bos Anda yang masih muda, single, dan ganteng punya masalah krisis percaya diri yang parah…
Itu yang terjadi pada Betty Suarez, perempuan Hispanic 23 tahun yang bekerja sebagai asisten bagi Daniel Meade sang Editor in Chief majalah fashion terkemuka di New York, MODE. Awalnya Betty dipekerjakan oleh Bradford Meade, bos besar pemilik Meade Publication tempat majalah MODE bernaung justru karena wajahnya yang nggak cantik menurut ukuran dunia fashion New York. Ini karena reputasi playboy Daniel dengan asisten-asisten cantik sebelumnya.
Nah, mulailah Betty, sang itik buruk rupa, menjalani hari-harinya sebagai PA, personal assistant bagi Daniel di majalah fashion yang penuh intrik, office politic dan tentunya standar super tinggi soal fashion dan body image. Betty selalu dicibir karena nggak modis, sedikit montok dan makannya normal. Yup, ada aturan nggak tertulis bahwa semua perempuan yang kerja di MODE harus kurus kering dan trendy, layaknya model. Alhasil mereka rela makan siang cuma daun selada demi tubuh kurus.
Betty berjuang agar ‘bisa diterima’ di lingkungan kerjanya, tanpa harus mengubah jati dirinya, tanpa harus menjadi budak fashion yang menempeli seluruh badannya dengan barang-barang bermerek. Tentu, dia tetap dicemooh hampir semua orang. Tapi Betty tidak peduli. Selama pekerjaannya sebagai PA berhasil, baginya itu sudah cukup. Dan Betty bertahan karena sebenarnya ia ingin menjadi penulis. Dia berharap suatu saat artikelnya dimuat di MODE.
Dari kacamata kehidupan sehari-hari seorang personal assistant, Uggly Betty sebenarnya menyampaikan satire yang sangat mengena mengenai kehidupan masyarakat urban yang seringnya lebih mementingkan kemasan dari pada isinya. Integritas, kejujuran dan kebaikan hati Betty seolah terhalang oleh kaca mata tebalnya, sweater ngejrengnya atau kawat gigi birunya.
Wooops… saya pun tertegun, karena saya bukan pengecualian. Kadang saya pun masih menilai orang dari penampilan luarnya. Mulai sekarang, saya akan mencoba mengingat si Betty sebagai reminder agar tak keburu menempelkan label hanya karena apa yang terlihat oleh mata.
Nah, ada satu pertanyaan yang tersisa. Kehidupan kantor di Jakarta dan kota besar Indonesia lain, sekeras kisah si Betty ini nggak ya? Sejauh yang pernah saya alami, intrik selalu ada, adu keren penampilan juga kadang ada, cuma nggak sefrontal itu. Di kantor-kantor lain gimana?