1. Pandorum
Karya Christian Alvart ini luar biasa. Dari sebuah imajinasi yang jauh ke depan tentang nasib bumi, terlahirlah sebuah film sci-fi yang mencekam. Saya nyaris kehabisan kata untuk menjelaskan betapa mempesonanya Pandorum. Semua unsur yang wajib dimiliki film bagus, ada disini. Alur cerita yang menarik, mencekam dan twist yang mengagetkan, adegan laga dan kejar-kejaran dengan proporsi yang pas, dan drama mengangkat masalah yang manusia banget.
Film produksi US-Jerman ini juga tampaknya tidak dibuat dengan budget mahal. “Hanya” di sebuah pesawat luar angkasa yang suram karena sudah beberapa dekade mengudara mencari planet lain karena bumi sudah demikian rusak, tak sanggup menopang lagi hidup manusia. Sosok “alien” yang ditampilkan pun sebuah terobosan, karena mereka bukan benar-benar alien dari planet lain, melainkan manusia yang bermutasi saking lamanya menempuh perjalanan luar angkasa. Nah lo!
2. Mammoth
Film karya Lucas Moodysson ini kecil kemungkinannya akan diputar di bioskop Jakarta. Yeah, film produksi kolaborasi Swedia, Denmark dan Jerman kan jarang banget main di sini! Saya menontonnya di Jiffest, random choice yang ternyata luar biasa. Padahal film ini sederhana banget dan mengangkat masalah keharian orang-orang biasa. Justru dalam kesederhanaannya, saya terpukau oleh olah emosi karakter-karakter yang muncul.
Seorang bapak muda (yang ganteng, Gael Garcia Benal gitu lho!) menjadi kaya karena game bikinannya laku keras, seorang istri, ibu muda sekaligus dokter bedah kenamaan dan seorang pengasuh anak asal Filipina yang menjadi tulang punggung keluarganya bertemu dalam sebuah apartemen indah di SOHO, New York. Dan bergulirlah kisah hidup 3 orang ini dengan pergulatannya masing-masing. Cakep banget cara film ini menggambarkan segala kekuatiran, gejolak, harapan dan kebahagiaan tokoh-tokohnya. Sangat emosional. Very moving.
3. City Island
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Raymond de Felitta ini ramuan mantap antara drama dan komedi. Selama 100 menit menontonnya, saya terbawa dalam roller coaster titik ekstrim antara lucu dan terharu. Memperoleh Audience Award di Tribeca Film Festival, City Island mengangkat sebuah keluarga Amerika yang dari luar tampak baik-baik saja tapi sebenarnya masing-masing anggota keluarga punya kebusukannya sendiri.
Suami, istri, anak perempuan, anak lelaki, seorang actor-wannabe dan seorang napi beradu akting dengan kekuatan nyaris setara. Asik banget melihat Andy Garcia menjadi sipir yang up-tight tapi penasaran pengin jadi aktor dan getol ikut audisi, serta istrinya yang mengalami krisis tengah baya versi perempuan, sementara seseorang dari masa lalu mereka mendadak muncul dan memporak porandakan topeng seluruh anggota keluarga ini!
4. Distric 9
Saya angkat topi tinggi-tinggi buat Neill Blomkamp, sutradara dan penulis cerita Distric 9. Film ini gila! Idenya cemerlang, eksekusinya pun gemilang. Sekelompok alien yang digambarkan sebagai makhluk ‘lemah’ yang terdampar di bumi sampai membentuk komunitas yang dianggap kelas dua bernama Distric 9. Film ini pun bisa di interpretasikan sebagai sindiran terhadap perlakuan yang diterima warga kulit hitam dari warga kulit putih di Afsel pada masa apartheid dulu.
Gaya filming yang seolah mockumentary juga pas banget untuk cerita ini. Belum lagi cara dan teknologi mereka menciptakan para alien itu hidup berdampingan dengan manusia. Overall, film produksi US-New Zealand yang diproduseri Peter Jackson ini top banget. Saya sempat tergoda untuk menempatkannya di urutan kedua, namun bagi saya film bagus itu perlu enganging.
5. Avatar
Needless to say, kekuatan utama film ini terletak pada visual yang mempesona, apalagi kalau ditonton di bioskop 3D yang bagus! Setiap detiknya, setiap framenya, saya tergaga-gaga melihat kedasyatan yang terpampang di depan mata! Meski ceritanya bukan barang baru, malah sudah sering diangkat film-film dengan tema menaklukkan tanah baru, saya tetap mengagumi fantasi James Cameron dalam menciptakan suku Na’vi, Pandora dan seisinya.
Avatar juga dengan jelas menyerukan ajakan untuk mencintai, merawat dan stop merusak bumi. Ajakan ini disampaikan cukup gamblang tanpa merusak jalan cerita. Plus, Avatar secara subtil menyampaikan ide bahwa pada akhirnya perempuannya yang thoughtful dan compassionate sehingga mampu mengayomi rakyatnya. Aha!
6. The Reader
Karya Stephen Daldry yang dirilis Januari 2009 ini sangat kuat dalam memadukan berbagai unsur emosi. Settingnya di Jerman paska perang dunia ke-2. Bagian awal film sangat menggoda, saat seorang cowok ABG jatuh cinta pada perempuan dewasa yang beda kelas sosial, hingga mereka pacara diam-diam, hingga si cowok kehilangan keperjakaan dan mereka berdua mengeksplorasi gairah seksual di flat sederhana si perempuan. Kate Winslet yang sudah umur 40an, tampil memukau tanpa busana dan tetap elegan. Uniknya, Kate minta dibacakan sebuah buku sebelum mereka have sex.
Bagian setengah berikut menjadi drama yang mencekam karena perempuan itu disidang dengan tuduhan menjadi tentara Nazi yang melakukan pembantaian. Dan sebenarnya si cowok bisa membebaskannya dari tuduhan karena dia tahu rahasia terdalam perempuan itu. Kate sekali lagi bertransformasi dengan gemilang dari perempuan dewasa yang menggelora menjadi perempuan tua yang rapuh.
7. Shinjuku Incident
Kali ini Jackie Chan menjadi jagoan tanpa pamer jurus kungfu atau martial art lain. Mengangkat kisah suram para imigran gelap China yang mencoba lari dari kemiskinan di daratan China dengan masuk secara ilegal ke Jepang, film ini sarat akan kritik yang disampaikan dalam warna-warna cerah distrik Shinjuku di Tokyo dan perkelahian keji antar gang.
Tung-Sing Yee sang sutradara dan penulis naskah berhasil menampilkan kerasnya pekerja-pekerja dari China dalam meraih mimpi mereka di perantauan. Namun ketika sukses finansial diraih, cobaan lain yang lebih berat justru membutakan mereka, dibumbui penggambaran kepolisian yang korup dan intrik antar anggota gang mafia yang licik. Saya yakin ini kisah global daerah urban yang bisa terjadi dimana pun di muka bumi.
8. Balibo
Film yang disutradarai Robert Conolly ini menuai kontroversi di Indonesia. Dilarang putar di Jiffest malah membuat pamor Balibo naik. Beberapa komunitas pun memutarnya. Dan nggak heran kalau dilarang. Film yang mengisahkan kembali peristiwa penembakan 5 jurnalis Australia oleh TNI di Timor Leste tahun 1975 ini pasti bikin gerah pemerintah.
TNI digambarkan menembak begitu saja, meski para jurnalis itu sudah menyerah dan minta ampun. Heartless. Mereka tidak ingin invasi TNI ke Timor Leste waktu itu didengar dunia internasional. Dan pemerintah Aussie pun digambarkan sangat pasif, tidak merespon ‘hilangnya’ jurnalis mereka, seolah tidak peduli sama sekali, karena invasi itu sesungguhnya atas restu Amerika Serikat. Bagi saya, yang tumbuh dengan doktrin Orba semasa sekolah, melihat cerita dari sudut pandang orang luar semacam ini perlu. Dan Connolly pun mengemasnya menjadi tontonan yang memikat, sureal dan menegangkan.
9. Drag Me To Hell
Sam Raimi, sang sutradara sekaligus penulis film ini konon berjanji akan mengembalikan film horror Amerika ke fitrahnya, setelah terlalu banyak dipengaruhi film horror Asia yang beberapa tahun terakhir ini cukup menyita perhatian publik sana. Sam membuktikannya. Jalan cerita disusun dengan apik, ketegangan demi ketegangan muncul perlahan dan mencekam.
Tanpa aktor selebritas ‘A-list’ Hollywood, justru membuat film ini tampil nyaris tanpa cacat. Rasanya seperti melihat warga Amerika kebanyakan yang diteror ketakutan dan kutukan. Lalu mengesampingkan logika dan beralih pada cara-cara pengusiran setan yang dia yakini bisa membantunya. Namun, seolah sang roh jahat pun tak kalah cerdik dalam upayanya menarik sang protagonis ke neraka, literally Drag Me to Hell.
Begitulah daftar film yang paling saya nikmati sepanjang 2009. Daftar Anda, apa saja?
Oya, saya kelewat nonton Law Abiding Citizen, sementara saat nulis ini Sherlock Holmes, Up In The Air, dan Amelia belum diputar di bioskop Jakarta. Padahal kayaknya bagus2…