“Jadi, boleh nggak beli tiketnya?” suara suami saya terdengar membujuk, eh, memaksa namun dengan nada membujuk saat kami berjalan di luar stadion entah-apa-namanya di Manchester, tahun 2006 lalu.
“Emang bisa dilarang?” jawab saya pasrah.
“Beli dua ya? Kamu mau juga kan?”
Pletaaaak! Saya menjitak si Babe. Ehm, pelan sih. Tapi dia tahu itu artinya ‘TIDAK’.
Enak aja! Cukup 90 poundsterling (kurs saat itu kira-kira 1,5 juta rupiah bo!) melayang buat beli satu tiket pertandingan sepak bola. Saya sih mending dikasih mentahnya aja, trus bisa menjelajah gerai Miss Selfridges atau Top Shop. *tanduk belanja mulai nongol dikiiit *
Kami berjalan bergandengan tangan *tsaaah!* menjelang derby Manchester United vs Manchester City berlangsung. Stadion udah penuuuh banget sama manusia-manusia penggila bola, dan Babe udah gatel aja pengen cepat-cepat gabung sama mereka.
Maka dalam hitungan detik Babe segera melipir ke pojokan entah mana bareng si calo tiket. Yeah, di Inggris pun ternyata ada juga yang namanya calo tiket. Bedanya, mereka jualannya lebih hati-hati dari pada jual cimeng. Kasak-kusuk berbisik nawarin tiket lalu transaksinya secepat kilat sambil ngumpet di tempat yang nggak keliatan polisi.
Babe pun jejingkrakan memamerkan tiket di tangannya sebelum melesat masuk ke stadion. Hhhm… dua jam lebih nih saya harus nunggu di udara dingin. Apakah saya sengsara? Tentu tidak. Saya pun memacu langkah ke sebuah shopping mall tak jauh dari stadion. Window shopping, lalu duduk di coffee shop. Saya bersedia pergi nemenin Babe ke stadion kan setelah liat peta dan menemukan ada shopping mall dekat stadion! Yay!
Setahun awal pernikahan kami habiskan di London. Tepatnya saya tinggal di London (sepenuhnya atas biaya pemerintah Inggris, alias gratis.. cihuy!) sementara Babe tinggal di Budapest, Hungaria. Ini terpaksa, setelah Babe cari-cari kerja di London malah dapetnya di Budapest. Mungkin pikirnya mending ambil kerjaan di Eropa Timur itu dari pada tinggal di London dengan status ‘ikut istri’. (Ahai… ego laki-laki kah ini?). Alasan yang dia bilang sih karena uang beasiswa yang saya terima memang ngepas banget buat biaya hidup 1 orang. Nah, penerbangan London-Budapest cuma sekitar 2 jam, plus ada Easy Jet yang harga tiketnya murah meriah dan mudah (bookingnya). Okelah. Saya pun setuju.
Jadwal kunjungan kami atur sesering mungkin. Saya yang waktu itu mahasiswa, jelas lebih fleksibel waktunya. Sementara Babe harus cuti atau membujuk rayu rekan kerjanya untuk tukar shift. Dasar namanya gila bola, saban kali datang ke Inggris Babe selalu mengisi waktu dengan nonton sepak bola, mengisi tujuan plesir dengan mendatangi stadion sepak bola, dan pergi ke pub yang ngadain nonton bareng sepak bola!
Baru belakangan saya tahu, Babe SELALU nyocokin jadwal kunjungannya ke Inggris biar pas sama jadwal pertandingan klub yang ia suka. Jadi bertemu dengan istrinya bukan prioritas! Belum juga setahun kawin, saya harus menerima kenyataan kalau saya ternyata adalah istri kedua.
“Please meet my first wife. Her name is football… and darling, just never get jealous if I spend more Saturday nights with her,” kira-kira gitu deh kalimat yang muncul di kepala saya, saat setiap akhir pekan terpaksa rela ‘dikacangin’ Babe yang asik nonton sepak bola. Do’h!