Suatu hari Sabtu yang mendung di playgroupnya Sabai kecil. Seorang ibu duduk di samping saya menunggui anaknya juga. Basa-basi sedikit, ngobrollah kita soal macam-macam, terutama tentang anak-anak kita. Sebut saja namanya Bu Bar. Mulanya saya cukup antusias menanggapi obrolan bu Bar yang asik cerita batapa siaran Disney house dan Nickelodeon sangat berguna untuk membuat anak-anaknya duduk manis di depan TV. Saya cuma manggut-manggut aja (eh, ini terhitung antusias kan?), karena omongannya memang benar, anak-anak dijamin terpukau berjam-jam nonton Disney channel. Tapi bagi saya TV di rumah bukan tontonan Sabai kecil, apapun channelnya.
Nah, saat kami menyuapi anak-anak dengan bekal makanan, bu Bar heran menatap bekalnya Sabai kecil yang berupa buah mangga potong. Bertanyalah bu Bar soal makanan si kecil, dan saya jawablah apa adanya kalau pagi kami sarapan buah potong, minum jus wortel dll, kalau masih lapar baru makan roti atau cornflakes (banyak ya? hehehe…) Dan tanpa diminta bu Bar berkomentar kasian anak-anak kok pagi-pagi disuruh makan buah, nanti sakit perut. Katanya pagi tuh harus makan nasi biar sehat.
Batin saya, ini orang kok riwil amat sih. Saya mulai sebel disini. Dan saya pun menjawab dengan datar, Sabai kecil sehat-sehat saja, nggak pernah sakit perut juga. Lalu saya melenggang meninggalkannya begitu saja. Sadis? Biarin. Dari pada sebel berkelanjutan.
Lalu beberapa hari kemudian seorang teman, sebut saja namanya Dian, bercerita dia main ke rumah tetangganya dan mengkonfirmasi dugaannya kalau si tetangga ini ‘kurang baik’ dalam memenuhi gizi anaknya. Dian yang juga punya batita, sudah lama ‘memantau’ batita tetangganya ini. Dian bercerita setiap hari si bocah dikasih makan nasi dengan sup sayuran dan garam saja, tanpa kaldu atau lauk hewani, masih dikasih susu formula buat bayi usia < 6 bulan padahal umurnya sudah 1,5 tahun dan botol dotnya sudah baret-baret karena sejak bayi belum pernah diganti. Oya, batita ini anak adopsi, jadi nggak bisa dapat ASI.
Saya dan Dian sangat gemas. Mereka keluarga berada, mbok ya anaknya dikasih gizi yang lebih baik. Saya sempat mengompori Dian yang kenal cukup akrab sama ibunya batita itu untuk ngomong hati ke hati sama si ibu. Tapi Dian menolak dengan tegas, meski hatinya meronta. Dia menganggap ini wilayah privat si ibu. Saya menganggap Dian sangat individualis dan nggak peduli sama (anak) tetangganya.
Tapi lalu saya jadi ingat obrolan saya dengan bu Bar. Dian benar, ada wilayah-wilayah privat yang semestinya tidak kita masuki tanpa diminta, meskipun kita yakin kita punya informasi yang berguna untuk orang tersebut. Namun di sudut hati yang lain, saya merasa, harusnya kita bisa menemukan cara untuk menyampaikan informasi yang kita yakini berguna tanpa perlu menyinggung lawan bicara. Mungkin dengan nada santai, tanpa menghakimi atau sambil menunjukkan buku bagus yang isinya informasi nutrisi, misalnya.
Menurut Anda, sebaiknya ngomong atau enggak sih?