Aku celingak-celinguk di peron 03 stasiun Tawang, mencari sebuah sosok yang lama kunanti. Tiba-tiba kau sudah berdiri di hadapanku. Tinggi badanmu yang diatas rata-rata, membuatmu dengan mudah terlihat di antara kerumunan pemudik lebaran yang menyemut memenuhi peron ini. Kamu tersenyum tipis begitu melihatku, sementara aku masih tertegun menatapmu. Tanganmu tiba-tiba meraih tanganku, menggenggamnya erat sambil menyapa hangat, tanpa peduli desakan orang yang berebut ruang.
Aku hanya mengangguk ketika kamu bertanya basa-basi apakah aku mudik juga. Sudah jelas kita berdua disini, di stasiun kota tempat kita menghabiskan masa remaja. Saat itu dalam balutan seragam putih biru, kamu mengetuk hatiku. Kamu yang dulu badung dan dimusuhi guru, memikatku. Kamu yang langganan tetap untuk disetrap, membuat jantungku berderap. Kamu memberiku berbagai pengalaman pertama. Bolos, berdusta pada guru, melompat pagar sekolah dan mengarang jadwal ekskul dadakan, pertama kali kulakukan denganmu. Toh pas lebaran kita bakal minta maaf pada ortu dan guru, begitu dalihmu
Kini kamu menggamit lenganku, menarikku menepi sambil bicara entah apa aku tak mendengarnya. Aku sibuk mengamati tanda kesatuan yang sedikit terlihat dibalik jaketmu. Aku tak tahu pangkatmu kini apa, tapi belasan tahun tak bertemu, aku sempat mendengar kamu ibarat Kopral Jono… “Oh oh oh Kopral Jono, gadis mana yang tak kenal akan dikau… Alangkah gagahnya, miring pecinya… Aku namakan dia juru terbangku yang istimewa.” Kira-kira begitu tulis Ismail Marzuki dalam lagunya.
Kini kita berdiri begitu dekat di sudut peron. Kamu menangkupkan dua telapak tanganmu di daguku. Aku tak sempat mengelak, juga tak ingin. Degup jantungku berpacu, lebih kencang dari kereta Argo Muria. Kamu bertanya mengapa aku tak pernah membalas surat-suratmu dulu, setelah aku pindah ke ibu kota. Kamu juga cerita, pernah mencari alamatku di Jakarta. Aku waktu itu ingin menghapusmu dari semua sudut ingatanku. Tapi perjumpaan di stasiun kereta ini, membuktikan masih ada relung hati, yang berbalut rindu menanti.
“Mampir ke rumahku yuk?” ajakmu. Aku menggeleng, sekaligus melepaskan tanganmu yang mencungkupi wajahku. “Aku harus pergi.” ujarku ringkas sambil bergegas. Aku mendengar kamu memanggilku, tapi tidak menyusulku. Aku yakin kamu menatapku menyongsong seorang pria yang melangkah turun dari kereta, yang lalu mengecup keningku dan mengusap rambutku. Kamu tidak memberiku kesempatan untuk memberi tahu kalau aku disini menjemput suamiku.